Abstract
General Background: The era of disruption—driven by technological advancement, globalization, and social transformation—has significantly impacted education. Specific Background: In this context, the erosion of core character values among students, such as responsibility, honesty, and social concern, has become a critical concern, exacerbated by the digital environment and a culture of instant gratification. Knowledge Gap: Despite ongoing educational reforms, limited empirical attention has been given to the adaptive role of teachers in preserving and revitalizing character education within contemporary challenges. Aims: This study aims to analyze the strategic roles played by teachers in fostering student character development amidst disruptive change. Results: Employing a qualitative method through literature review and targeted field observations in several high schools, findings highlight that teachers act as role models, facilitators of moral values, and cultivators of character-based school culture. Novelty: The study identifies the integration of character values in teaching, digital media, and extracurricular reinforcement—combined with collaboration among teachers, parents, and communities—as a comprehensive and adaptable strategy. Implications: These insights underscore the necessity for educators to commit to character education while evolving in tandem with societal and technological progress.
Highlights:
-
Teachers are key agents in shaping student character amid disruption.
-
Integration of values into learning and extracurriculars is essential.
-
Collaboration with parents and communities strengthens outcomes.
Keywords: Character Education, Teacher Role, Digital Disruption, Moral Values, Educational Strategy
Pendahuluan
Perkembangan zaman yang begitu pesat, khususnya di era disrupsi saat ini, telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Kondisi ini membuat tugas pembangunan karakter yang diemban oleh guru tidaklah ringan, mengingat selain berhadapan dengan pilar-pilar yang sudah ada sejak lama, era disrupsi juga merubah pola sosial yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi digital yang begitu signifikan. Masyarakat, termasuk anak usia sekolah dasar tengah dibawa dalam formatasi perubahan yang deras, baik informasi maupun pola interaksi sosial yang terjadi kini. Selain itu, tantangan dalam pembentukan karakter juga semakin kompleks akibat kondisi penuh informasi dan serapan kemajuan teknologi yang terjadi [1].
Budaya luhur semisal jujur, bertanggung jawab, kerjasama, dan menghargai semakin terpinggirkan oleh budaya instan, individualis, hingga konsumtivisme digital. Sekolah dasar sendiri, sebagai lembaga pendidikan formal yang pertama kali dilewati anak-anak memiliki sejumlah peran strategis, salah satunya ialah sebagai lembaga pembentukan karakter anak [2]. Posisi ini membuat guru tidak hanya berperan sebagai pengajar belaka, lebih dari itu, mereka juga merupakan pendidik dan teladan dalam hal karakter[3].
Pada dasarnya, Guru akan mendapat teman dalam pembentukan karakter, melalui pembelajaran, keteladanan serta interaksi sejamunya. Namun disisi lain, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguatan karakter siswa di sekolah dasar mengalami cukup banyak hambatan. Integrasi nilai karakter yang kurang dalam proses pembelajaran, keterbatasan waktu, hingga pendekatan kognitif yang masih lebih dominan dalam evaluasi pembelajaran adalah tantangan yang mesti dihadapi. Untuk itu, revitalisasi nilai karakter dalam pendidikan dasar tentu sangat diperlukan, dan itu hanya mungkin terjadi jika guru mampu memainkan perannya sebagaimana mestinya[4].
Di era disrupsi ini, peran teknologi digital dalam kehidupan anak semakin besar. Anak-anak sekolah dasar kini tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan gawai, media sosial, dan akses informasi tanpa batas. Meski teknologi dapat memberikan manfaat dalam proses pembelajaran, di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak terkontrol juga dapat berdampak negatif terhadap pembentukan karakter anak[5]. Banyaknya konten yang tidak sesuai usia, budaya populer yang cenderung permisif, serta kurangnya interaksi sosial secara langsung, menjadi tantangan tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada siswa. Oleh karena itu, revitalisasi nilai karakter harus dilakukan secara adaptif, tanpa mengabaikan konteks digital yang menjadi bagian dari kehidupan siswa masa kini.
Dalam kondisi tersebut, guru dituntut untuk memiliki kompetensi lebih dari sekadar kemampuan akademik. Guru perlu mengembangkan pendekatan pedagogis yang integratif, kreatif, dan relevan dengan tantangan zaman. Penguatan karakter tidak bisa dilakukan hanya melalui penyampaian materi, tetapi harus diwujudkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan penciptaan budaya sekolah yang mendukung nilai-nilai positif [6]. Dengan peran sentral guru sebagai agen perubahan, diharapkan sekolah dasar tidak hanya menjadi tempat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi ruang yang subur untuk menumbuhkan karakter kuat pada generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan [7] [8].
Program revitalisasi dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Proses revitalisasi di dalam pendidikan terutama di lingkungan sekolah dasar tidak mudah untuk diterapkan, perlu ada usaha yang harus di lakukan oleh guru untuk merevitalisasi siswa dengan menggunakan metode atau cara yang sesuai dan dapat diterapkan. Untuk itu perlu membangun karakter siswa yang berada di SD Negeri Kabupaten Simalungun agar siswa dapat memahami dan belajar untuk semangat [9] [10]. Pembentukan karakter melalui revitalisasi akan menjadi proses yang membantu siswa SD di Simalungun meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat belajar dengan giat [11].
Adaptasi digital merupakan bentuk transformasi teknologi dengan mengubah budaya dalam kesehariannya menggunakan perantara digital [12]. Penggunaan teknologi digital dapat membuat pengusaha dalam menciptakan bisnis dengan jangkauan yang lebih luas sebelumnya, melalui sebuah jaringan yang dapat langsung menghubungkan konsumen, produsen dan pihak penyedia [13] [14]. Transformasi budaya menjadi digital biasa disebut dengan digitalisasi. Menurut Brennen & Kreiss dalam [15], digitalisasi dimungkinkan dengan meningkatnya ketersediaan data digital melalui kemajuan dalam pembuatan, transmisi, penyimpanan, dan analisis data digital dan berpotensi untuk menyusun, membentuk, dan memengaruhi dunia masa kini.
Membangun pendidikan karakter di sekolah membutuhkan prinsip-prinsip yang konsisten dipahami oleh masyarakat sekolah. Menurut kementerian Pendidikan, prinsip-prinsip tersebut adalah berkelanjutan, termuat dalam semua mata pelajaran, nilai bukan untuk diajarkan tetapi selalu terdapat dalam proses pembelajaran, serta menggunakan strategi pendidikan yang menyenangkan dan student based learning, [16] Prinsip-prinsip tersebut apabila dijalankan secara maksimal di sekolah akan membentuk karakter peserta didik dengan baik.
Sebagaimana fungsi pendidikan karakter yang dimuat dalam panduan pelaksanaan pendidikan karakter, bahwa pendidikan karakter berfungsi untuk membangun suatu ekosistem yang multikultural, membangun peradaban masyarakat yang berbudaya luhur, cerdas, dan mampu berkontribusi dalam pengembangan berpikirnya, serta dapat membangun pribadi yang kreatif, cinta damai, mandiri dan cakap hidup berdampingan membangun kehidupan yang harmonis. [17]
Pendidikan karakter akan mencetak generasi berkarakter yang mampu bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma atau etika yang berlaku. Mereka akan mencerminkan seseorang yang berbudi luhur dan sopan santun dalam bergaul di lingkungannya. Berbeda dengan peserta didik yang tidak dibekali dengan nilai-nilai karakter, mereka akan mudah terbawa oleh lingkungannya, tidak bisa membedakan hal positif dan negative. Melalui pengetahuan dan keteladanan dari guru dan orang tua akan pendidikan karakter, peserta didik mampu memilah tindakan yang seharusnya dilakukannya. [18]
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai peran guru dalam mengembangkan pendidikan karakter pada siswa di era digital, dengan fokus pada bagaimana guru dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran yang berbasis teknologi. Penelitian ini juga akan menyoroti tantangan yang dihadapi oleh guru dalam melaksanakan peran ini serta strategi yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi tantangan tersebut. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menciptakan pendidikan yang tidak hanya mengedepankan pengetahuan, tetapi juga pengembangan karakter yang berkualitas di era digital.
Penulisan jurnal ini berfokus pada menganalisis bagaimana guru dapat berperan aktif alam mengembangkan karakter siswa di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Pustaka yang digunakan mencakup sumber-sumber yang relevan dalam bidang pendidikan karakter dan pengaruh teknologi dalam pendidikan.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dengan memanfaatkan jurnal sebagai referensi yang relevan terkait pendidikan karakter. Studi literatur merupakan kegiatan penelitian yang mengumpulkan informasi dan data dari berbagai sumber, seperti buku referensi yang memuat informasi penting yang perlu dianalisis. Penelitian dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data menggunakan metode atau program yan sesuai guna menemukan solusi atas permasalahan yang dikaji (Melinda & Zainil, 2020).
Proses pengumpulan data kami dengan melakukan pencarian data memalui googe scholar dengan key word “Pendidikan karakter di era digital” dari tahun 2019 sampai 2024 terdapat 1 artikel dan yang sesuai dengan tema penelitian sebanyak 4 artikel. Dimulai dengan membaca, mencatat dan meninjau setiap artikel ilmiah yang relevan dengan topik penelitian untuk menemukan penelitian yang berkaitan. Setelah itu, menganalisis dan menarik kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, pendekatan penelitian tersebut dipilih karena tujuannya ingin memahami secara mendalam peran guru dalam membentuk dan merevitalisasi nilai-nilai karakter siswa di sekolah dasar dalam konteks era disrupsi. Dengan pendekatan tersebut, peneliti dapat menggali makna, persepsi, serta strategi yang diterapkan guru dalam pembelajaran karakter, yang tidak dapat diukur secara kuantitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan pada penggambaran fenomena layaknya sosial pada situasi naturalistik, sebagaimana adanya di lapangan, tanpa ada manipulasi atau intervensi dalam arti variety.
Dalam penelitian deskriptif kualitatif ini, peneliti berperan sebagai instrumen utama yang melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk memperoleh data bagi pembelajarannya. Fokus utama penelitian ini adalah observasi praktik pembelajaran karakter, interaksi guru siswa, dan pendekatan exit yang digunakan guru dalam membina karakter siswa di sekolah dasar. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai strategi, tantangan, dan potensi dalam upaya revitalisasi nilai karakter oleh guru dan dapat menjadi dasar dalam merumuskan rekomendasi praktis bagi penguatan pendidikan karakter di sekolah dasar.
Pada tahap awal, peneliti melakukan studi literatur dan observasi awal ke sekolah dasar untuk memahami konteks permasalahan serta menentukan fokus penelitian. Tahap ini juga mencakup identifikasi nilai-nilai karakter yang menjadi perhatian utama dalam konteks era disrupsi. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik analisis menggunakan model interaktif Miles dan Huberman, yang menekankan proses analisis secara berulang sampai ditemukan pola dan tema utama.
Dalam penelitian kualitatif ini, teknik pengumpulan data dilakukan secara langsung di lapangan untuk menggali informasi yang mendalam mengenai peran guru dalam pembentukan karakter siswa. Adapun teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan Wawancara Mendalam (In-depth Interview), Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur dengan guru, kepala sekolah, dan jika relevan, juga dengan siswa. Pandangan guru terhadap pentingnya nilai-nilai karakter di era disrupsi.
Selanjutnya dengan observasi, observasi dilakukan secara langsung terhadap kegiatan pembelajaran di kelas maupun aktivitas siswa di lingkungan sekolah dengan cara mengamati: Interaksi antara guru dan siswa yang mencerminkan proses pembentukan karakter, Praktik keteladanan yang ditunjukkan oleh guru dalam perilaku sehari-hari selanjutnya Program sekolah atau kegiatan yang mendukung nilai-nilai karakter seperti upacara, kegiatan keagamaan, kerja bakti, dan lain-lainnya. Sehingga dilakukan studi dokumentasi yang terdiri dari RPP yang memuat nilai karakter, buku panduan karakter , agenda kegiatan sekolah yang bernilai dengan karakter.
Rencana pengujian dalam penelitian kualitatif ini tidak melibatkan pengukuran variabel kuantitatif, melainkan berfokus pada penggalian data kualitatif yang mendalam Dalam penelitian kualitatif, pengujian tidak dilakukan melalui statistik, tetapi melalui upaya untuk memastikan kredibilitas, keabsahan, dan keandalan data. Pengujian ini dilakukan secara menyeluruh dengan berbagai strategi untuk menjamin bahwa data yang diperoleh benar-benar merepresentasikan realitas yang diteliti. Rencana pengujian ini bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mencerminkan realitas yang terjadi di lapangan Dalam tahapan analisisnya meliputi reduksi data melalui ringkasan catatan lapangan dan transkripsi wawancara, pengkodean data untuk mengidentifikasi pola dan tema yang relevan dengan pertanyaan penelitian, pembentukan tema-tema yang lebih luas berdasarkan kode-kode yang saling terkait, dan interpretasi tema-tema tersebut dalam konteks teori dan literatur yang relevan. Keabsahan dan keandalan data akan ditingkatkan melalui triangulasi sumber data (observasi, wawancara, dokumen), triangulasi metode analisis, dan member checking dengan partisipan fokusnya adalah pada pemahaman mendalam dan interpretasi makna dari data naratif. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk deskripsi naratif mendalam, kutipan langsung dari partisipan, dan interpretasi tematik yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai pembentukan karakter di sekolah dasar
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar, yang terletak dikabupaten deli serdang ini memiliki jumlah siswa sebanyak 320 orang dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam. Sejak diberlakukannya Kurikulum Merdeka, sekolah ini berupaya mengintegrasikan penguatan karakter dalam setiap aktivitas pembelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Era disrupsi telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk pola interaksi sosial, gaya belajar, dan pola pikir generasi muda. Teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan sangat cepat, menciptakan transformasi besar dalam proses pendidikan. Di satu sisi, disrupsi membawa efisiensi dan akses luas terhadap informasi, tetapi di sisi lain, menimbulkan tantangan serius bagi pembangunan karakter siswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kini berada dalam situasi dilematis: kemudahan akses informasi tidak selalu dibarengi dengan kemampuan menyaring nilai. Banyak guru yang mengeluhkan bahwa siswa lebih terpengaruh oleh tokoh-tokoh populer di media sosial daripada oleh sosok guru atau orang tua mereka. Ini menciptakan ruang kosong dalam pendidikan nilai yang perlu segera diisi kembali. Dalam konteks ini, revitalisasi nilai karakter bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak. Guru, sebagai aktor kunci dalam dunia pendidikan, harus memposisikan diri bukan hanya sebagai pengajar akademik, melainkan sebagai agen pembentuk moral dan etika siswa.
1. Tantangan dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Era Digital
Meskipun teknologi memiliki banyak manfaat dalam pendidikan karakter, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh guru, di antaranya:
a. Paparan Informasi Negatif
Siswa, terutama yang berada di usia remaja, sangat rentan terhadap pengaruh informas yang tidak terfilter di dunia maya. Guru perlu berperan aktif dalam mendidik siswa agar bijak dalam menyaring informasi dan menggunakan internet dengan bertanggung jawab.
b. Keterbatasan Keterampilan Teknologi Guru
Tidak semua guru memiliki keterampilan digital yang memadai. Keterbatasan ini menjadi salah satu kendala dalam memanfaatkan teknologi untuk mendukung pendidikan karakter secara efektif.
c. Kurangnya Waktu untuk Pendampingan Pribadi
Pembelajaran daring atau penggunaan teknologi dalam pembelajaran dapat mengurangi interaksi sosial antara guru dan siswa. Hal ini membuat guru kesulitan dalam memberikan pendampingan pribadi yang efektif dalam pengembangan siswa
2. Tantangan Pembentukan Karakter di Era Disrupsi
Wawancara dan observasi mengungkap bahwa guru menghadapi tantangan signifikan dalam membentuk karakter siswa di era disrupsi digital. Tantangan tersebut antara lain: Kecanduan gadget dan game online, Banyak siswa kelas atas (kelas 4–6) menunjukkan penurunan fokus belajar dan mudah marah karena terlalu sering bermain game online. Kurangnya interaksi sosial langsung, Siswa cenderung lebih tertarik pada dunia digital dibandingkan berinteraksi dengan teman secara langsung. Ini berdampak pada kemampuan bersosialisasi dan empati. Minimnya peran keluarga dalam penguatan karakter, Beberapa guru menyampaikan bahwa nilai-nilai karakter tidak lagi banyak ditekankan di rumah, sehingga sekolah harus mengambil peran lebih besar.
3. Upaya Guru dalam Revitalisasi Nilai Karakter Upaya Guru dalam Revitalisasi Nilai Karakter
Guru SD menggunakan pendekatan yang lebih sederhana, kontekstual, dan langsung agar nilai-nilai karakter dapat tersampaikan dengan efektif. Strategi yang digunakan antara lainnya ialah : Pembiasaan harian, Kegiatan seperti berdoa bersama, menyapa guru dan teman, membersihkan kelas, serta antre dengan tertib digunakan sebagai sarana menanamkan disiplin, sopan santun, dan tanggung jawab. Storytelling dan Dongeng Bermuatan Nilai, Guru kelas rendah menggunakan cerita rakyat dan fabel untuk menyampaikan pesan moral seperti kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati. Keteladanan dalam Sikap dan Ucapan, Guru menjadi panutan langsung. Misalnya, guru menunjukkan sikap sabar saat menghadapi siswa sulit diatur, atau mengucapkan terima kasih kepada siswa yang membantu. Kolaborasi dengan Orang Tua, Guru mengajak orang tua untuk terlibat aktif dalam penguatan karakter anak di rumah, melalui grup WhatsApp kelas dan pertemuan rutin. Refleksi Harian, Di akhir hari, beberapa guru memberi waktu bagi siswa untuk menceritakan perasaan atau perbuatan baik yang telah dilakukan hari itu.
4. Respons Siswa Terhadap Pembentukan Karakter
Berdasarkan wawancara singkat dengan siswa kelas 5 dan 6, mereka merasa senang ketika guru memberikan pujian atas perilaku baik mereka. Mereka juga lebih menyukai pembelajaran yang disisipkan cerita atau permainan yang mengandung pesan moral. Siswa juga mengaku lebih mudah memahami karakter melalui contoh konkret dan kegiatan bersama seperti gotong royong atau piket kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru SD memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter siswa di tengah derasnya arus disrupsi digital. Anak-anak usia sekolah dasar sangat mudah menyerap nilai, baik positif maupun negatif, sehingga intervensi dari guru harus bersifat langsung, konsisten, dan menyentuh keseharian siswa.
Temuan ini selaras dengan pendekatan pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) yang menekankan pada 5 nilai utama penguatan pendidikan karakter (PPK), yaitu:
a. Religius
b. Nasionalis
c. Mandiri
d. Gotong Royong
e. Integritas
5. Peran Guru Dalam Pembentukan Karakter di Sekolah Dasar
Guru berperan sebagai pengarah, panutan, sekaligus fasilitator dalam menanamkan nilai-nilai tersebut dengan cara yang sesuai dengan perkembangan psikologis anak SD. Era disrupsi ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, yang memengaruhi hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan dasar. Guru SD menghadapi realitas baru di mana siswa sejak usia dini sudah akrab dengan gawai dan media sosial. Hal ini menggeser proses pembentukan karakter dari yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan sekitar menjadi lebih dipengaruhi oleh konten digital yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai budaya dan moral bangsa.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa siswa SD, khususnya kelas 4–6, mengalami ketergantungan pada gadget. Hal ini memengaruhi perilaku sehari-hari seperti mudah marah, kurang disiplin, dan menurunnya rasa tanggung jawab. Guru-guru menyadari bahwa peran mereka tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembentuk karakter yang harus merespons disrupsi digital secara adaptif. Guru di sekolah dasar ini secara konsisten menerapkan kegiatan pembiasaan sebagai media menanamkan nilai karakter. Kegiatan seperti memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, dan antre masuk kelas menjadi ruang nyata untuk menanamkan:
1. Nilai disiplin dan tanggung jawab
2. Nilai sopan santun
3. Nilai gotong royong
Pembiasaan ini bukan hanya dilakukan karena instruksi, tapi dijelaskan maknanya agar siswa memahami alasan di balik tindakan mereka. Guru kelas rendah (kelas 1–3) secara aktif menggunakan cerita rakyat seperti Kancil dan Buaya atau Malin Kundang sebagai sarana menanamkan nilai seperti kejujuran, kesombongan, dan kasih sayang terhadap orang tua. Sementara itu, guru kelas tinggi lebih sering memberikan contoh nyata dari kehidupan sehari-hari, termasuk menyebutkan tokoh nasional atau cerita inspiratif dari siswa lain. Keteladanan guru menjadi faktor paling berpengaruh. Siswa yang melihat guru sabar, jujur, dan adil lebih mudah meniru perilaku tersebut. Sebaliknya, guru yang tidak konsisten dalam bersikap menjadi kendala dalam pembentukan karakter. Guru tidak hanya mengajarkan nilai secara eksplisit, tetapi juga mengintegrasikannya dalam mata pelajaran tematik. Misalnya:
1. Saat pelajaran IPS, siswa diajak memahami pentingnya kerja sama dalam masyarakat.
2. Dalam Bahasa Indonesia, siswa membuat cerita pendek bertema kepedulian terhadap teman.
3. Dalam Matematika, siswa diajarkan jujur saat mengoreksi pekerjaan sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa era disrupsi membawa tantangan serius terhadap pembentukan karakter siswa. Kemajuan teknologi, khususnya penggunaan media sosial dan digitalisasi pendidikan, telah mempengaruhi nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, empati, dan kedisiplinan siswa. Para guru yang menjadi partisipan dalam penelitian di sekolah ini menyebutkan bahwa ada juga Sebagian siswa yang lebih condong pada sifat individualis dan kurang sopan kepada orang tuanya di sekolah, namun guru berupaya untuk menunjukkan integritas kepada siswa, agar menjadi contoh untuk siswa tersebut
Maka dari itu, revitalisasi nilai-nilai karakter menjadi penting dan mendesak. Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa guru masih memainkan peran krusial sebagai agen pembentukan karakter siswa. Peran guru tidak hanya terbatas pada pengajaran akademik, melainkan meliputi fungsi sebagai teladan (role model), fasilitator nilai, dan motivator internalisasi karakter.
1. Sebagai teladan, guru yang konsisten menunjukkan sikap jujur, adil, dan bertanggung jawab terbukti memberi dampak positif terhadap perilaku siswa. Hal ini sesuai dengan konsep teori sosial-kognitif Bandura [19], yang menekankan pentingnya observasi dan peniruan dalam pembentukan perilaku.
2. Sebagai fasilitator, guru mengintegrasikan nilai-nilai karakter seperti toleransi, kerja sama, dan tanggung jawab dalam proses pembelajaran, baik melalui diskusi reflektif, studi kasus, maupun project-based learning. Praktik ini mendukung pendekatan pendidikan karakter kontekstual yang dikembangkan oleh Lickona [20], yang menekankan bahwa karakter harus diajarkan secara eksplisit dan diinternalisasi melalui pengalaman belajar bermakna.
3. Sebagai motivator, guru berperan dalam membangkitkan kesadaran internal siswa untuk menumbuhkan nilai karakter secara sadar. Motivasi yang diberikan tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga melalui pendekatan personal dan afektif.
Strategi pembentukan karakter yang digunakan guru dalam penelitian ini meliputi:
1. Integrasi nilai karakter dalam kurikulum dan pembelajaran, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
2. Pembiasaan kegiatan positif, seperti program literasi pagi, kegiatan keagamaan, kerja bakti, dan mentoring.
3. Penggunaan teknologi digital secara selektif, yaitu dengan menghadirkan konten edukatif yang menguatkan nilai-nilai moral dan sosial.
4. Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat dalam membentuk lingkungan belajar yang kondusif secara moral.
Pembelajaran untuk membangun karakter peserta didik dapat memperhatikan beberapa poin, yaitu moral knowing untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik, moral modelling untuk memberikan teladan kepada peserta didik, moral feeling dan loving untuk menumbuhkan perasaan cinta dan sayang terhadap hal baik, moral acting untuk mendorong peserta didik mengaktualisasikannya, serta pembiasaan dan pembudayaan yang mengantarkan peserta didik melakukan hal baik secara natural.
Pendidikan karakter sebagai poin penting dalam penanaman nilai pada peserta didik selalu menjadi salah satu muatan dalam kurikulum. Melalui pendidikan karakter dapat mengembalikan seseorang pada kesadaran moral. Guru sebagai seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam ranah pendidikan harus terlebih dahulu memiliki kesadaran dan menjadi insan
Temuan ini sejalan dengan penelitian oleh Zubaedi [21], yang menekankan pentingnya sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mendukung pendidikan karakter. Guru yang terlibat dalam penelitian ini mengembangkan beberapa strategi yang dinilai efektif dalam konteks sekolah, di antaranya:
1. Storytelling Inspiratif: Guru menggunakan kisah-kisah tokoh lokal, nasional, maupun internasional yang menunjukkan nilai-nilai karakter, sehingga siswa memiliki model yang dapat diteladani.
2. Penguatan Kegiatan Ekstrakurikuler: Melalui kegiatan seperti pramuka, OSIS, dan komunitas sosial, siswa belajar mengorganisasi, bertanggung jawab, dan bekerja sama.
3. Proyek Sosial: Beberapa guru melibatkan siswa dalam proyek sosial seperti kampanye kebersihan, kunjungan ke panti, atau bazar amal. Ini menjadi wadah untuk menumbuhkan nilai empati dan tanggung jawab sosial.
4. Refleksi Harian dan Jurnal Karakter: Sebuah pendekatan inovatif yang melibatkan siswa menulis refleksi harian mengenai tindakan baik yang mereka lakukan atau nilai apa yang mereka pelajari hari itu.
Dalam menghadapi masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi dengan eranya bernama disrupsi, yang ditandai dengan masif kemajuan teknologi, digitalisasi informasi dan perubahan budaya yang disertai dengan berkembangnya komunikasi lintas iklim, budaya dan nilai dengan tingginya skala transnasional yang memberikan kebebasan akan eksistensinya tidak lepas dari beberapa cobaan bagi dunia pendidikan. Salah satu cobaan paling krusial adalah bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang mampu mempertahankan serta menanaman nilai ancapan karakter kepada generasi muda yang sedang tumbuh dewasa dalam serba instan, serba ada dan begitu terbuka aksesnya kepada berbagai pengaruh eksternal yang belum seluruhnya bernilai moral dan tidak sejalan dengan nilai-nilai bangsa, Menjadi dalam konteks ini bahwa peran guru sebagai pembentuk karakter siswa menjadi lebih tajam, signifikan dan tidak tergantikan. Penelitian ini menyimpulkan tentang sejauh mana pendidikan yang masuk dalam pada dunia kelas teknologi informasi sekarang bahkan hampir seluruh elemennya mulai digantikan oleh teknologi, fungsi guru sebagai pendidik karakter masih menjdi fondasi yang utama dalam pembentukan individu yang berintegritas, bertanggung jawab dan beretika.
Hal ini guru bukan hanya sekadar penyampai materi ajar, tetapi juga sosok yang secara sadar dan konsisten mampu memberikan teladan hidup bagi siswa. Keteladanan guru dalam bersikap jujur, disiplin, tangguh, dan penuh empati menjadi cerminan konkret nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada peserta didik. Di era disrupsi ini, keteladanan menjadi lebih penting dibanding sekadar ceramah moral. Hal ini disebabkan oleh menurunnya efektivitas pendekatan normatif semata, dan meningkatnya pengaruh figur publik digital yang sering kali menyampaikan nilai-nilai yang bertolak belakang dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, menjadi teladan berarti guru harus benar-benar “hidup” di tengah siswa, hadir secara nyata dalam tutur kata, tindakan, dan hubungan interpersonal sehari-hari.
Selanjutnya, guru berperan sebagai fasilitator nilai. Ini berarti bahwa guru tidak hanya mentransmisikan informasi, tetapi juga mendesain pembelajaran yang mampu menghidupkan nilai-nilai karakter dalam pengalaman nyata siswa. Melalui metode pembelajaran aktif seperti diskusi nilai, studi kasus, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), maupun integrasi nilai dalam kurikulum tematik, guru mengajak siswa untuk tidak hanya memahami, tetapi juga merefleksikan dan mengalami langsung bagaimana nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan kepedulian sosial dapat diinternalisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di sinilah tampak pentingnya pendekatan pembelajaran yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga menyentuh dimensi afektif dan psikomotorik siswa.
Sebagai motivator, guru juga berperan dalam membangkitkan kesadaran siswa terhadap pentingnya nilai karakter bagi masa depan pribadi maupun bangsanya. Di era digital yang sangat permisif ini, banyak siswa mengalami kebingungan moral, kehilangan panutan, dan mengalami distorsi nilai akibat paparan media sosial yang tidak terkontrol. Guru hadir sebagai penyeimbang yang membantu siswa mengenali jati diri mereka, membentuk prinsip hidup, dan menumbuhkan orientasi hidup yang lebih bermakna. Dalam banyak kasus, guru yang menunjukkan perhatian emosional, memberi dukungan positif, dan membangun relasi yang manusiawi dengan siswa terbukti mampu menciptakan transformasi karakter yang lebih mendalam dibandingkan instruksi moral yang bersifat verbal atau formalistik.
Namun, meskipun guru memiliki peran sentral, proses revitalisasi karakter tidak bisa berdiri sendiri. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat sejumlah kendala yang signifikan dalam upaya pembentukan karakter, antara lain: kurangnya dukungan sistemik dari sekolah dan kebijakan pendidikan, tekanan kurikulum yang lebih menekankan pencapaian akademik daripada penguatan karakter, perbedaan nilai antara lingkungan rumah dan sekolah, serta minimnya pelatihan dan pendampingan bagi guru dalam menerapkan pendekatan pendidikan karakter yang kontekstual dan berbasis teknologi. Selain itu, dominasi media sosial dalam kehidupan siswa, dengan konten yang muncul menyimpang dari nilai luhur, turut menjadi tantangan serius yang harus dihadapi guru dalam mendidik karakter.
Tantangan-tantangan ini mengisyaratkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan sistemik. Pendidikan karakter tidak dapat diserahkan hanya kepada guru secara individu, melainkan harus menjadi bagian dari ekosistem pendidikan yang terintegrasi, mulai dari perencanaan kebijakan, kurikulum, budaya sekolah, hingga keterlibatan orang tua dan masyarakat. Revitalisasi nilai karakter menuntut adanya sinergi antarpihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas lokal, dan dunia digital. Sekolah harus menjadi komunitas pembelajar yang tidak hanya mencetak siswa cerdas secara intelektual, tetapi juga bermartabat secara moral dan sosial. Kebijakan pendidikan juga perlu mengakomodasi ruang yang cukup bagi pembinaan karakter, bukan hanya dalam bentuk materi ajar, tetapi dalam bentuk kebijakan evaluasi, manajemen sekolah, dan pengembangan profesional guru.
Dalam kerangka yang lebih luas, penanaman nilai karakter sejalan dengan upaya membangun ketahanan budaya dan moral bangsa di tengah gempuran globalisasi. Karakter tidak bisa dibentuk dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam interaksi antara nilai, lingkungan, dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, upaya revitalisasi karakter harus membumi dan kontekstual, sesuai dengan realitas sosial yang dihadapi siswa. Teknologi, alih-alih dipandang sebagai ancaman, harus dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk memperkuat pendidikan karakter. Guru perlu diberdayakan agar mampu menggunakan teknologi secara bijak, memproduksi konten edukatif yang bermuatan nilai, serta membimbing siswa dalam bermedia secara etis dan bertanggung jawab.
Akhirnya, penelitian ini menegaskan bahwa meskipun era disrupsi membawa berbagai tantangan, ia juga membawa peluang. Disrupsi dapat menjadi momentum untuk merefleksikan ulang praktik pendidikan, dan memperkuat kembali akar moral dari proses pembelajaran di sekolah. Guru, dengan segala kompleksitas peran dan tanggung jawabnya, tetap merupakan aktor utama dalam proses ini. Ia tidak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi menanamkan nilai kehidupan. Ia tidak hanya mendidik akal, tetapi juga hati dan tindakan. Dalam guru yang berpikir jernih, bersikap bijak, dan bertindak dengan integritas, siswa akan menemukan panutan. Dalam guru yang mampu menjembatani dunia digital dan dunia nyata, siswa akan menemukan arah. Dan dalam guru yang percaya bahwa setiap siswa adalah benih masa depan bangsa, akan tumbuh generasi yang cerdas, berkarakter, dan berdaya tahan menghadapi zaman.
Demikian, revitalisasi nilai karakter tidak bisa ditunda atau dianggap sebagai pelengkap semata dalam pendidikan. Ia adalah inti dari pendidikan itu sendiri. Guru, sebagai agen utama dalam proses tersebut, perlu terus didukung, diberdayakan, dan dihargai. Upaya membangun karakter bangsa dimulai dari ruang kelas, dari interaksi sederhana antara guru dan siswa, dari keteladanan sehari-hari, dan dari keyakinan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu mengubah manusia, bukan hanya pikirannya, tetapi juga hatinya dan perilakunya.
Simpulan
Di tengah era disrupsi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan arus informasi global, nilai-nilai karakter siswa mengalami tantangan serius. Era ini seringkali menyebabkan tergerusnya nilai moral dan etika, terutama di kalangan generasi muda. Dalam konteks ini, peran guru menjadi sangat penting sebagai agen utama dalam membentuk dan merevitalisasi karakter siswa. Guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan, pembimbing, dan fasilitator nilai-nilai kehidupan yang berintegritas. Pendidikan karakter tidak cukup dilakukan melalui mata pelajaran tertentu, melainkan harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam setiap aspek kegiatan belajar-mengajar dan budaya sekolah. Revitalisasi nilai karakter juga memerlukan pendekatan yang adaptif dan relevan dengan tantangan zaman, termasuk pemanfaatan teknologi secara bijak. Selain itu, pembentukan karakter siswa akan lebih efektif apabila didukung oleh kolaborasi yang kuat antara guru, orang tua, dan masyarakat. Dengan demikian, guru memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa nilai-nilai karakter tetap menjadi fondasi utama dalam perkembangan siswa, bahkan di tengah derasnya arus perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi nilai-nilai karakter menjadi kebutuhan mendesak di tengah era disrupsi yang membawa berbagai tantangan terhadap pembentukan moral dan etika generasi muda. Penelitian ini menunjukkan bahwa peran guru sangat krusial dalam membentuk karakter siswa, tidak hanya melalui proses pembelajaran formal, tetapi juga melalui keteladanan, pendekatan personal, serta integrasi nilai-nilai karakter dalam setiap aspek kegiatan sekolah. Guru terbukti mampu menjadi aktor utama dalam menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, disiplin, jujur, kerja sama, dan toleransi melalui pendekatan pedagogis yang kontekstual dan adaptif. Selain itu, hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa keberhasilan pembentukan karakter siswa memerlukan sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, peran aktif guru dalam merevitalisasi nilai karakter harus didukung oleh kebijakan sekolah yang konsisten serta keterlibatan semua pihak dalam proses pendidikan karakter secara berkelanjutan.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sekolah dalam penelitian ini, terutama kepada Bapak Kepala Sekolah, Bapak/Ibu guru, dan siswa-siswi yang telah berpartisipasi aktif dan memberikan kontribusi yang berharga selama proses pengumpulan data. Dukungan dan kerjasama dari seluruh komunitas sekolah dasar ini sangat esensial dalam keberhasilan penelitian ini. Peneliti sangat berterima kasih atas bantuan dan dukungan teknis maupun non-teknis yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian mengenai peran guru dalam membentuk karakter di era disrupsi ini
References
- A. N. Al Inu, D. Fitriani, E. A. S. Bani, and M. L. Winandar, “Peran Guru Sebagai Agen Pembaharu Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar di Era Digital,” Jurnal Pendidikan Tambusai, vol. 6, no. 2, p. 3972, 2023, doi: 10.31004/jptam.v6i2.3972.
- F. Inmandari, N. Yusuf, and T. Handayani, “Revitalisasi Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Peneguhan Kesadaran Nasional Pada Siswa SMAN 01 Batu,” Jurnal Civic Hukum, vol. 5, no. 1, pp. 1–11, 2020, doi: 10.22219/jch.v5i1.9367.
- J. Jupriani and R. Rofpi, “Implementasi Nilai-Nilai Religi untuk Memperkuat Karakter Siswa di Era Disrupsi,” Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, 2020.
- F. Maulan, N. Mayalibit, A. Abdurrahman, and D. Husna, “Aksentuasi Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Revitalisasi Kepribadian Peserta Didik di Tengah Pandemi,” Instructional Development Journal, vol. 1, no. 2, p. 11, 2021, doi: 10.21070/halaqa.v1i2.1243.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Strategi Nasional Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemendikbud RI, 2020.
- C. R. Ningsih, E. Y. Siagian, E. N. Hutabarat, P. O. Simbolon, and N. C. Pardede, “Peran Guru Bahasa Indonesia dalam Membangun Karakter Siswa yang Berlandaskan Nilai Kristiani di Era Digital di SMA Swasta Parulian 1 Medan,” Jurnal Budi Pekerti Agama Kristen dan Katolik, vol. 2, no. 4, p. 756, 2022, doi: 10.61132/jbpakk.v2i4.756.
- M. H. Nuryadi and P. Widiatmaka, “Peran Guru PPKn dalam Menjaga Eksistensi Nilai-Nilai Kearifan Lokal sebagai Kepribadian Bangsa di Era Digital,” Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 2022. [Online]. Available: https://waskita.ub.ac.id/index.php/waskita/article/view/419/0.
- M. U. Ridwanulloh and A. D. W. Wulandari, “Peran Pendidikan Agama di Era Modernisasi Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Baik,” SITTAH: Journal of Primary Education, 2020.
- N. Zahirah and E. A. Ramadhani, “Nilai Budaya dan Tutur Bahasa dalam Perkembangan Karakter Siswa di Era Disrupsi,” Panrita Inovasi: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, vol. 2, no. 2, 2023.
- R. Kasali, Disruption: Tak Ada yang Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Jakarta: Gramedia, 2018.
- S. N. Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
- Y. Yang, Y. Hu, L. Zheng, and X. Li, “AI-Enabled Reflective Learning for Moral Education in Primary Schools,” Journal of Educational Technology Development and Exchange, vol. 13, no. 1, pp. 1–16, 2020.
- J. W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
- L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
- M. Ross, B. Van Dusen, and V. Otero, “Becoming Agents of Change Through Participation in a Teacher-Driven Professional Research Community,” arXiv preprint arXiv:1408.2502, 2014. [Online]. Available: https://arxiv.org/abs/1408.2502.
- O. Viberg et al., “What Explains Teachers’ Trust of AI in Education Across Six Countries?,” arXiv preprint arXiv:2312.01627, 2023. [Online]. Available: https://arxiv.org/abs/2312.01627.
- A. Yuliyanto and S. Indartono, “The Role of Teachers in Strengthening Character Education to Prepare Students to Enter the Age of Disruption and Abundance Technology,” in Proc. 2nd Int. Conf. on Social Science and Character Educations (ICoSSCE 2019), pp. 142–146, Atlantis Press, 2020, doi: 10.2991/assehr.k.200130.030.
- X. Zhai, “Transforming Teachers’ Roles and Agencies in the Era of Generative AI: Perceptions, Acceptance, Knowledge, and Practices,” arXiv preprint arXiv:2410.03018, 2024. [Online]. Available: https://arxiv.org/abs/2410.03018.
- B. Van Dusen and V. Otero, “Changing Roles and Identities in a Teacher Driven Professional Development Community,” arXiv preprint arXiv:1209.1369, 2012. [Online]. Available: https://arxiv.org/abs/1209.1369.
- M. Q. Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 4th ed., Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2019.
- K. Natalia and N. Sukraini, “Pendekatan Konsep ‘Merdeka Belajar’ dalam Pendidikan Era Digital,” Digitalisasi Pendidikan Sekolah Dasar, vol. 3, 2021.