Abstract
Inclusive education serves as a cornerstone in promoting equitable learning opportunities for all, especially for Children with Special Needs (ABK). In Gresik Regency, the implementation of Regent Regulation No. 42/2013 reflects a local commitment to this ideal. However, despite formal policies, significant challenges persist. A lack of teacher training, inadequate infrastructure, and entrenched social stigma continue to obstruct meaningful inclusion. Existing studies have yet to comprehensively explore the interplay between these constraints and the policy’s intended outcomes, exposing a critical knowledge gap. This study aims to analyze the challenges and opportunities inherent in implementing inclusive education in Gresik and evaluate the effectiveness of support programs. Using a qualitative literature review approach, the findings reveal that while barriers are significant, notable opportunities exist through the empowerment of Special Guidance Teachers (GPK), enhanced training, strong policy backing, and multisectoral collaboration. The novelty lies in the synthesis of policy analysis with community and educational dynamics to propose an integrated strategic framework. The implications underscore the necessity of strengthening educator capacity, infrastructure, and social attitudes to achieve inclusive education goals—providing a foundation for developing future policies and localized best practices.
Highlights:
-
Highlights policy gaps and challenges in inclusive education.
-
Emphasizes the role of Special Guidance Teachers (GPK).
-
Proposes strategic collaboration for better policy outcomes.
Keywords: Inclusive Education, Regional Policy, Special Needs Children, Educational Equity
Pendahuluan
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan setara bagi semua peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk belajar bersama di sekolah reguler tanpa diskriminasi. Tujuannya adalah memastikan hak pendidikan ABK terpenuhi, meningkatkan kualitas hidup melalui pembelajaran holistik, dan menciptakan lingkungan sosial yang inklusif. Manfaatnya mencakup peningkatan toleransi siswa reguler, pengembangan keterampilan guru, dan pengurangan stigma sosial terhadap ABK. Dampak positifnya terlihat pada peningkatan partisipasi ABK di masyarakat dan penguatan prinsip education for all. Pendidikan inklusif menjadi kunci penting dalam mewujudkan kesetaraan akses pendidikan dan mengurangi diskriminasi terhadap ABK. Untuk itu, diperlukan komitmen berkelanjutan dari pemerintah, sekolah, dan masyarakat dalam memperkuat infrastruktur, pelatihan guru, serta sosialisasi program guna memastikan tujuan pendidikan inklusif tercapai secara optimal.
Pendidikan inklusif di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan utama, seperti keterbatasan fasilitas yang menyebabkan hanya sekitar 18% Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat mengakses pendidikan inklusif secara optimal, serta kurangnya kompetensi guru yang belum terlatih secara memadai untuk menangani kebutuhan khusus siswa tersebut [1]. Selain itu, stigma negatif masyarakat terhadap ABK juga menjadi hambatan signifikan dalam proses integrasi mereka di lingkungan sekolah dan social [2]. Pemerintah telah mengambil langkah strategis, seperti Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013 yang mewajibkan sekolah menerima ABK dan menyediakan Guru Pendamping Khusus (GPK), serta program HaTiku Padamu (HTM) yang mendukung mobilitas dan pelatihan guru [3]. Peran masyarakat sangat penting dalam mendukung pendidikan inklusif melalui partisipasi aktif dalam sosialisasi, pendampingan ABK, dan kolaborasi dengan sekolah untuk penyediaan sumber daya yang memadai [4]. Meningkatkan kesadaran dan mengubah paradigma masyarakat terhadap ABK menjadi kunci agar penerimaan dan dukungan sosial dapat tumbuh, sehingga pendidikan inklusif dapat berjalan efektif [5]. Dengan sinergi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, tantangan pendidikan inklusif di Indonesia dapat diatasi demi terciptanya lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi semua anak [6].
Beberapa kajian terdahulu menjelaskan bahwa di SDN Banyuajuh 2, siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menunjukkan peningkatan akademik dan sosial, namun guru masih mengalami kesulitan dalam mengelola kelas inklusif [7]. Kajian lain di PAUD Talenta Semarang mengungkap bahwa meskipun infrastruktur umum sudah memadai, alat khusus untuk ABK masih sangat minim, sehingga membatasi efektivitas pembelajaran inklusif [8]. Fenomena di daerah pedesaan menunjukkan akses pendidikan inklusif yang lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan, yang menjadi tantangan tersendiri dalam pemerataan layanan pendidikan. Selain itu, kajian menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kebutuhan individual ABK secara optimal [9]. Kasus bullying juga masih menjadi masalah serius, di mana sekitar 30% ABK di Gresik mengalami diskriminasi di lingkungan sekolah [10]. Pelatihan guru yang memadai juga masih terbatas, dengan hanya sekitar 40% guru inklusif di Gresik yang mengikuti pelatihan khusus untuk menangani ABK (Jurnal Pendidikan Dasar, 2024). Dukungan pemerintah dari segi anggaran juga masih kurang memadai, terlihat dari alokasi dana APBD untuk pendidikan inklusif yang masih di bawah 5% [11]. Keseluruhan kajian ini menegaskan bahwa meskipun ada kemajuan, masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif dan merata. Dengan itu, Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia telah menjadi perubahan paradigma penting yang menuntut sinergi kebijakan, pelatihan, fasilitas, dan peran aktif masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang adil dan berkualitas bagi semua anak.
Pendidikan inklusif secara ideal bertujuan memberikan kesempatan setara bagi semua anak, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), untuk belajar bersama di sekolah reguler tanpa diskriminasi. Dengan sistem ini, diharapkan kualitas hidup, toleransi, dan partisipasi sosial ABK dapat meningkat, serta tercipta lingkungan pendidikan yang adil dan ramah bagi semua. Namun, di lapangan, implementasi pendidikan inklusif di Gresik masih jauh dari harapan. Beberapa kendala utama yang dihadapi antara lain: kekurangan Guru Pendamping Khusus (GPK) dengan rasio 1:10 ABK (standar ideal 1:3), minimnya fasilitas pendukung terutama di daerah terpencil, rendahnya tingkat pelatihan guru, serta sosialisasi kebijakan yang belum menjangkau mayoritas masyarakat. Akibatnya, layanan pendampingan dan dukungan terhadap ABK belum optimal, sehingga tujuan pendidikan inklusif yang adil dan merata masih sulit tercapai. Sosialisasi Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013 juga belum menjangkau lebih dari 30% masyarakat, sehingga pemahaman dan dukungan terhadap pendidikan inklusif masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan analisis yang komprehensif menggunakan kerangka Mazmanian & Sabatier untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan, sehingga solusi yang tepat dapat dirumuskan untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif di Gresik.
Penelitian ini menawarkan kebaruan dengan dua pendekatan utama. Pertama, penelitian ini mengaplikasikan metode literature-based policy analysis pada level kebijakan daerah (kabupaten), serta penelitian ini secara eksplisit menggunakan kerangka Mazmanian & Sabatier untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan hambatan implementasi Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013. Pendekatan ini mendeskripsikan secara mendalam terhadap tantangan dan peluang pendidikan inklusif, serta memberikan rekomendasi berbasis teori kebijakan yang relevan untuk pengembangan kebijakan di daerah lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Implementasi Kebijakan Daerah dalam Program Inklusif. Dengan mengidentifikasi gap penelitian, menawarkan kebaruan metodologis, dan berfokus pada analisis kebijakan tingkat daerah, studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baru yang signifikan dalam pengembangan kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia—sekaligus menjadi rujukan strategis bagi daerah lain yang tengah berupaya mewujudkan pendidikan tanpa batas bagi semua anak.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan literature review atau kajian pustaka. Metode ini dipilih karena bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis secara mendalam berbagai literatur, artikel ilmiah, jurnal, dan dokumen terkait yang membahas implementasi Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013 serta aspek pendidikan inklusif. Penelusuran literatur dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis untuk memperoleh sumber-sumber yang relevan dan mutakhir terkait implementasi pendidikan inklusif, khususnya di Kabupaten Gresik. Proses penelusuran dilakukan melalui database utama, yaitu Google Scholar. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian meliputi: “pendidikan inklusif”, “kebijakan pendidikan inklusif”, dan “implementasi kebijakan daerah”. Pemilihan kata kunci ini bertujuan untuk mendapatkan literatur yang spesifik membahas kebijakan dan praktik pendidikan inklusif di tingkat daerah.
Literature review merupakan suatu metode sistematis yang memungkinkan peneliti mengumpulkan, mengorganisasi, dan mensintesis hasil-hasil penelitian terdahulu untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai topik yang diteliti [13], [14]. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, yang menitikberatkan pada pemaparan secara sistematis, kritis, dan objektif terhadap isi literatur yang dikaji [15], [16]. Melalui metode literature review, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teori dan praktik implementasi kebijakan, mengevaluasi faktor-faktor pendukung dan penghambat, serta merumuskan rekomendasi berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menilai kualitas setiap sumber literatur dengan menggunakan checklist CASP (Critical Appraisal Skills Programme) karena checklist ini menyediakan panduan sistematis untuk mengevaluasi kejelasan tujuan, kesesuaian metodologi, transparansi data dan proses analisis, relevansi hasil, serta kekuatan dan keterbatasan suatu artikel atau dokumen ilmiah, sehingga hanya sumber-sumber yang kredibel, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang diikutsertakan dalam sintesis akhir untuk mendukung validitas hasil kajian literature review mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Gresik.
Dalam studi literature review, triangulasi dilakukan untuk meningkatkan validitas hasil kajian dengan beberapa cara. Salah satunya adalah melakukan validasi hasil sintesis literatur melalui diskusi atau konsultasi dengan para ahli, seperti dosen, praktisi pendidikan inklusif, maupun pembuat kebijakan di daerah, agar interpretasi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Selain itu, triangulasi teori juga diterapkan dengan menganalisis data literatur menggunakan lebih dari satu sudut pandang atau teori, misalnya tidak hanya memakai kerangka Mazmanian & Sabatier, tetapi juga teori implementasi kebijakan lain guna memperkaya analisis. Di samping itu, triangulasi sumber dilakukan dengan membandingkan temuan dari beragam jenis literatur, seperti jurnal, laporan penelitian, dokumen kebijakan, dan buku, sehingga informasi yang diperoleh lebih konsisten dan tidak bergantung pada satu sumber saja. Melalui penerapan berbagai bentuk triangulasi ini, hasil kajian literature review menjadi lebih kredibel dan komprehensif.
Figure 1.Implementasi Kebijakan Inklusif di Gresik
terdahulu. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran teoritis tetapi juga relevansi praktis yang dapat menjadi dasar pengembangan kebijakan dan strategi pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Gresik.
Hasil dan Pembahasan
Menurut Mazmanian dan Sabatier, implementasi kebijakan yang efektif memerlukan struktur yang terintegrasi dengan dukungan penuh sumber daya, termasuk tenaga pendidik yang memadai, fasilitas lengkap, dan koordinasi antar lembaga yang baik. Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan ke dalam tiga dimensi utama. Pertama, tractability of the problem atau mudah tidaknya masalah yang ingin diatasi, yang mencakup hambatan teknis, keragaman perilaku kelompok sasaran, persentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk, dan ruang lingkup perubahan perilaku yang diharapkan. Kedua, ability of statute to structure implementation atau kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, yang meliputi kejelasan dan konsistensi tujuan, penggunaan teori kausal yang memadai, alokasi awal sumber daya keuangan, keterpaduan hierarki di dalam dan di antara lembaga pelaksana, rekrutmen para pelaksana, dan akses formal oleh pihak luar. Ketiga, non-statutory variables affecting implementation atau dimensi-dimensi di luar kebijakan yang mempengaruhi implementasi, yang mencakup kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber daya kelompok konstituen, dukungan dari pihak berwenang, serta komitmen dan kemampuan kepemimpinan dari para pejabat pelaksana kebijakan. Dimensi-dimensi di atas sebagai konsep dasar untuk menganalisis Implementasi Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Figure 2.Alur Layanan Program LPABK dan HTM
UPT Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kabupaten Gresik bertujuan menjadi pusat layanan anak disabilitas secara holistik dan pendidikan inklusif yang berkarakter, terampil, serta mampu berperan aktif dalam masyarakat. Layanan yang diberikan mencakup screening sistematis terhadap anak yang diduga mengalami hambatan khusus, intervensi terpadu sebagai tindak lanjut konkret, pelatihan vokasi untuk mengoptimalkan potensi anak, advokasi bagi yang membutuhkan pendampingan, serta kerjasama riset di bidang disabilitas dan pendidikan inklusif. Semua layanan ini diupayakan agar anak berkebutuhan khusus memperoleh hak pendidikan yang setara dan mendapat dukungan maksimal dari lingkungan sekitar.
Salah satu program unggulan yang dijalankan adalah HTM (HaTiku padaMu), yaitu layanan antar jemput bagi klien intervensi UPT LPABK serta peserta didik penyandang disabilitas (PDPD) di sekolah inklusi se-Kabupaten Gresik. Program ini juga mencakup pendidikan berjenjang kelas Mahir bagi Guru Pendamping Khusus (GPK) magang di bawah Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik. Melalui program HTM, proses identifikasi, intervensi, dan pendampingan anak berkebutuhan khusus dapat berjalan lebih efektif dan terstruktur, sekaligus mendukung pengembangan kompetensi GPK dalam memberikan layanan pendidikan inklusif yang optimal.
Figure 3.Alur Layanan Program HTM
Alur layanan Program HTM dimulai dengan identifikasi murid yang diduga berkebutuhan khusus oleh Guru Pendamping Khusus (GPK), kemudian sekolah mendaftarkan murid tersebut ke LPABK, dan verifikasi kuota dilakukan oleh GPK di masing-masing kecamatan sebelum jadwal antar jemput inklusi diumumkan. Setelah proses rekrutmen, sekolah dan LPABK menandatangani MOU pelayanan, lalu pada trimester pertama peserta didik penyandang disabilitas (PDPD) memperoleh fasilitas antar jemput serta intervensi untuk pembuatan Program Pembelajaran Individual (PPI) di LPABK, sedangkan pada trimester kedua, PDPD mendapatkan layanan di sekolah asal dengan pendampingan dari GPK HTM, Tim LPABK, dan Pengawas Sekolah sebagai tim monitoring dan evaluasi untuk memastikan keberlanjutan pendampingan bersama pihak sekolah.
Hari | Waktu | Wilayah/Sesi | Jumlah Anak | Jumlah GPK |
---|---|---|---|---|
Rabu | 08.00-09.00 | 5 tengah + 3 Kota | 16 | |
09.00-10.00 | 5 utara + 3 Kota | 16 | ||
10.00-11.00 | 8 Kota | 24 anak | 16 | |
Kamis | 08.00-09.00 | 5 tengah + 3 Kota | 16 | |
09.00-10.00 | 5 utara + 3 Kota | 16 anak | 16 | |
Jumat | 08.00-09.00 | 10 anak + 5 GPK | 10 anak | 5 |
09.00-10.00 | 10 anak + 5 GPK | 10 anak | 5 | |
KOTA | 60 anak | 90 | ||
Wilayah Selatan | 2 Sesi | 7/8 GPK, 8 PDPD | 8 PDPD | 07-Aug |
Senin-Jumat | Monev oleh Tim UPT LPABK | |||
GPK 39 | Antar Jemput Senin & Selasa |
Berdasarkan tabel di atas menyatakan bahwa pelaksanaan antar jemput dan layanan Program HTM UPT LPABK Gresik dilakukan setiap hari kerja sesuai jadwal dan wilayah yang telah ditentukan, sehingga memastikan seluruh peserta didik penyandang disabilitas (PDPD) di sekolah inklusi mendapatkan akses layanan secara merata dan terstruktur. Selain itu, monitoring dan evaluasi secara mingguan oleh Tim UPT LPABK dilakukan untuk menjamin keberlanjutan serta kualitas pendampingan di setiap sekolah. Dengan sistem identifikasi, pelaporan, dan monitoring.
Rasio Guru Pendamping Khusus (GPK) 1:10 pada pendidikan inklusif di Gresik bertahan karena adanya sejumlah hambatan struktural yang belum teratasi. Pertama, keterbatasan alokasi anggaran pendidikan inklusif di APBD Gresik yang masih di bawah 5% menyebabkan rekrutmen dan pelatihan GPK baru berjalan lambat. Kedua, proses rekrutmen dan penugasan GPK masih sangat terbatas, sehingga tidak sebanding dengan jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang terus meningkat. Ketiga, pelatihan khusus bagi guru inklusif juga masih minim—hanya sekitar 40% guru yang telah mengikuti pelatihan khusus ABK—sehingga distribusi GPK yang kompeten belum merata di seluruh sekolah. Selain itu, koordinasi antar lembaga pelaksana (sekolah, Dinas Pendidikan, UPT LPABK) belum optimal, sehingga integrasi dan penataan kebutuhan GPK di tingkat sekolah berjalan kurang efektif. Hambatan lain adalah minimnya sarana dan prasarana pendukung, serta masih kuatnya stigma sosial terhadap ABK yang berpengaruh pada minat guru untuk mengambil peran sebagai GPK.
Dinas Pendidikan perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi hambatan struktural tersebut. Pertama, perlu ada peningkatan alokasi anggaran khusus untuk pendidikan inklusif, baik untuk rekrutmen GPK, pengadaan fasilitas, maupun pelatihan berkelanjutan. Kedua, pelatihan daring (online training) dapat menjadi solusi untuk memperluas akses pelatihan bagi guru di wilayah terpencil, sehingga kompetensi GPK dapat ditingkatkan tanpa terkendala jarak dan waktu. Ketiga, sistem monitoring dan evaluasi harus diperkuat, misalnya dengan optimalisasi aplikasi seperti LADIKA untuk pelaporan perkembangan ABK secara real-time. Keempat, perlu didorong kolaborasi lintas sektor, baik dengan komunitas, lembaga profesional, maupun masyarakat, untuk memperluas dukungan terhadap pendidikan inklusif. Terakhir, sosialisasi kebijakan harus lebih masif agar pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap pendidikan inklusif semakin kuat dan stigma terhadap ABK dapat berkurang.
Studi ini memiliki keterbatasan utama karena hanya menggunakan sumber sekunder berupa literatur, dokumen kebijakan, dan hasil penelitian terdahulu. Risiko publication bias cukup tinggi, karena data yang tersedia cenderung berasal dari publikasi yang berhasil diakses dan belum tentu merepresentasikan seluruh realitas di lapangan. Selain itu, kurangnya data primer dari wawancara langsung dengan pelaksana kebijakan, GPK, atau ABK sendiri dapat membuat analisis kurang menangkap dinamika aktual di sekolah. Keterbatasan ini dapat memengaruhi interpretasi hasil, sehingga temuan dan rekomendasi perlu dianggap sebagai gambaran umum yang masih memerlukan validasi lebih lanjut melalui penelitian lapangan atau triangulasi data primer yang terintegrasi dan melibatkan GPK, sekolah, serta LPABK, program ini tidak hanya memberikan layanan antar jemput, tetapi juga intervensi pendidikan yang komprehensif bagi anak berkebutuhan khusus. Jadwal layanan yang diatur per wilayah dan hari mendukung efektivitas program, sementara output yang dihasilkan berupa sertifikat, PPI (Program Pembelajaran Individual), dan hasil screening menjadi bukti nyata keberhasilan layanan. Dalam pelaksanaannya, GPK memegang peran penting mulai dari identifikasi, pembuatan PPI, hingga pelaporan perkembangan peserta didik secara berkala melalui aplikasi LADIKA, sehingga seluruh proses berjalan optimal dan terpantau dengan baik.
Dimensi / Faktor yang Dianalisis | Hasil Analisis ( Tantangan dan Peluang ) |
---|---|
A. Tractability of the Problem | |
Kesulitan teknis (Technical Difficulties) | Tantangan: Guru belum terlatih khusus menangani ABK, minimnya sarana/prasarana, kesulitan mengelola kelas inklusi. |
Peluang: Pelatihan guru dan program pendampingan khusus dapat meningkatkan kemampuan teknis. | |
Keberagaman perilaku kelompok sasaran (Diversity of target groupbehavior) | Tantangan: ABK memiliki karakter beragam (slow learner, hiperaktif, autis), sehingga metode pembelajaran harusbervariasi. |
Peluang: Pendekatan pembelajaran berdiferensiasi dan kolaborasi guru kelas-GPK dapat mengakomodasi keberagaman ini. | |
Kelompok sasaran sebagai persentase dari populasi (Targetgroup as a percentage of the population) | Tantangan: ABK jumlahnya signifikan namun belum semua terlayani secara optimal. |
Peluang: Kesadaran dan regulasi inklusif membuka peluang peningkatan akses bagi ABK. | |
Tingkat perubahan perilaku yang diperlukan (The extent of behaviorchange required) | Tantangan: Paradigma medical mindset dan stigma sosial masih kuat di lingkungan pendidikan dan masyarakat. |
Peluang: Edukasi dan sosialisasi dapat mengubah paradigma menjadi lebih inklusif dan menghargai keberagaman. | |
B. Ability of Statute to Structure Implementation | |
Alokasi awal sumber daya keuangan (Initial Allocation of Financial Resources) | Tantangan: Dana untuk pendidikan inklusi masih terbatas, sarana dan pelatihan guru kurang memadai. |
Peluang: Kebijakan pemerintah mulai mengalokasikan dana dan mendukung program inklusi secara bertahap. | |
Integrasi hirarkis antar-lembaga pelaksana (Hierarchical Integration) | Tantangan: Koordinasi antar lembaga (sekolah, Dinas Pendidikan, komunitas) belum optimal. |
Peluang: Peran guru pembimbing khusus sebagai penghubung antar lembaga dapat memperkuat integrasi. | |
Akses formal bagi pihak eksternal (Formal access by outsider) | Tantangan: Keterbatasan akses masyarakat dan ahli profesional dalam mendukung pendidikan inklusi. |
Peluang:Kolaborasi dengan komunitas dan lembagaprofesional dapat memperluas dukungan. | |
C. Non-Statutory Variables Affecting Implementation | |
Kondisi sosial-ekonomi danteknologi (Socio-economic Conditions & Technology) | Tantangan : Keterbatasan fasilitas di daerah terpencil dan rendahnya teknologi pendukung. |
Peluang : Pemanfaatan teknologi sederhana dan pelatihan dapat mengatasi hambatan geografis. | |
Dukungan publik (Public Support) | Tantangan : Stigma negatif dan kurangnya kesadaran |
Peluang : Kebijakan seperti Perbup Gresik No. 42 Tahun 2013 menjadi landasan kuat untuk pengembangan pendidikan inklusi. | |
Dimensi / Faktor yang Dianalisis | Hasil Analisis ( Tantangan dan Peluang ) masyarakat terhadap ABK. |
Peluang : Kampanye inklusif dan sosialisasi dapat meningkatkan dukungan masyarakat. | |
Sikap dan sumber daya kelompok konstituen (Attitudes & Resourcesof Constituency Groups) | Tantangan: Sikap negatif guru dan orang tua, serta kurangnya sumber daya pendukung. |
Peluang : Pelatihan dan pemberdayaan orang tua serta guru dapat memperbaiki sikap dan meningkatkan sumber daya. | |
Dukungan dari pemimpin dan pemerintah (Support fromSovereigns) | Tantangan: Komitmen pemerintah belum sepenuhnya merata dan implementasi kebijakan belum maksimal. |
Peluang : Kebijakan seperti Perbup Gresik No. 42 Tahun 2013 menjadi landasan kuat untuk pengembangan pendidikan inklusi. |
Berdasarkan matriks analisis implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier, tantangan dan peluang dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dimensi Tractability of the Problem, terdapat tantangan teknis berupa kurangnya pelatihan guru dan fasilitas pendukung yang memadai, sementara keberagaman karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menuntut pendekatan pembelajaran yang berbeda- beda. Namun, peluang muncul dari adanya pelatihan dan program pendampingan yang dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menghadapi keberagaman ini. Pada dimensi Ability of Statute to Structure Implementation, kendala utama adalah keterbatasan sumber daya keuangan dan kurangnya integrasi antar lembaga pelaksana, sementara peluang terletak pada peran guru pembimbing khusus yang dapat memperkuat koordinasi dan pelaksanaan kebijakan secara efektif. Selanjutnya, pada dimensi Non-Statutory Variables Affecting Implementation, kondisi sosial-ekonomi yang beragam dan stigma negatif terhadap ABK menjadi hambatan, namun dukungan publik yang terus meningkat dan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat menjadi peluang penting untuk memperkuat pendidikan inklusi. Secara keseluruhan, meskipun terdapat berbagai hambatan teknis, struktural, dan sosial, sinergi antara kebijakan yang jelas, sumber daya yang memadai, dan dukungan komunitas dapat menjadi kunci keberhasilan implementasi pendidikan inklusi di Gresik dan wilayah sejenis.
Keberhasilan pelaksanaan kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan teknis, struktural, dan sosial yang signifikan. Gresik masih mengalami kekurangan pelatihan dan kompetensi guru dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), serta keterbatasan fasilitas pendukung di sekolah inklusif, terutama di wilayah terpencil. Dari sisi struktural, integrasi antar lembaga pelaksana dan alokasi sumber daya keuangan yang terbatas menjadi hambatan utama dalam mengoptimalkan implementasi Peraturan Bupati Nomor 42 Tahun 2013. Selain itu, stigma sosial dan rendahnya kesadaran masyarakat di Gresik terhadap pendidikan inklusif turut memperlambat pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Namun, terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan, seperti penguatan peran Guru Pembimbing Khusus (GPK), peningkatan pelatihan guru, serta kolaborasi aktif antara sekolah, keluarga, dan komunitas lokal. Oleh karena itu, sinergi antara kebijakan yang tegas, peningkatan sumber daya, dan perubahan sikap sosial di Gresik menjadi kunci utama untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif dan berkelanjutan di daerah ini.
Hasil penelitian ini memperkuat temuan dari beberapa penelitian terdahulu memperkuat temuan mengenai tantangan dan peluang pendidikan inklusif di Indonesia. [17] menjelaskan bahwa tantangan utama yang dihadapi meliputi kurangnya pelatihan guru, infrastruktur yang tidak memadai, serta stigma sosial, namun terdapat peluang dari meningkatnya kesadaran masyarakat dan penerapan teknologi dalam pembelajaran inklusif. Ampun Bantali, Achmad Arjuna, Munadia [18] melaporkan adanya persepsi negatif di lingkungan kampus terhadap mahasiswa difabel serta kesulitan dosen dalam mengajar ABK, sehingga diperlukan paradigma inklusif yang lebih arif. Kinarina [19] mengidentifikasi kurangnya kesiapan sekolah dan kompetensi tenaga pendidik sebagai kendala utama, dengan peluang kolaborasi antara guru, orang tua, dan pemangku kepentingan lain. Aswad [20] menyoroti minimnya pelatihan guru, keterbatasan fasilitas, dan sikap negatif masyarakat sebagai hambatan, serta perlunya
kolaborasi dan sosialisasi untuk meningkatkan mutu pendidikan inklusif. C. N. Sari & Hendriani [21] mengungkapkan bahwa guru mengalami kesulitan menghadapi keberagaman jenis ABK dalam kelas inklusif sehingga membutuhkan pelatihan metode pembelajaran yang sesuai. Tasya [22] menekankan keterbatasan akses informasi dan kesiapan orang tua sebagai tantangan signifikan dalam pendidikan inklusif. Suvita et al. [23] menemukan kurang terlatihnya tenaga pendidik dan minimnya sarana prasarana sebagai hambatan utama pelaksanaan pendidikan inklusif. Agustin [24] mengemukakan kendala dalam pemahaman konsep, kebijakan sekolah yang belum optimal, dan sistem pendukung yang belum terintegrasi. Maryam et al. [25] menyoroti keterbatasan keterampilan guru, minimnya sarana, serta rendahnya partisipasi orang tua dan masyarakat. Terakhir, Kinarina [19] menjelaskan bahwa stigma negatif terhadap ABK memperburuk kondisi pendidikan inklusif. Keseluruhan temuan ini menegaskan bahwa meskipun terdapat berbagai hambatan, peluang untuk memperkuat pendidikan inklusif tetap terbuka melalui peningkatan pelatihan, fasilitas, dan perubahan paradigma sosial.
Penelitian terdahulu memberikan rekomendasi penting untuk pengembangan kebijakan pendidikan inklusif di masa depan. [17] merekomendasikan pelatihan guru yang komprehensif, peningkatan infrastruktur, pengurangan stigma sosial, dan penerapan teknologi sebagai langkah strategis untuk memperkuat pendidikan inklusif. Selaras dengan itu, Kinarina [19] mengusulkan pengembangan sekolah yang ramah inklusi, peningkatan pelatihan tenaga pendidik, serta penyediaan fasilitas pendukung yang memadai. Aswad [20] menekankan perlunya perubahan paradigma masyarakat melalui sosialisasi dan kolaborasi antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat guna meningkatkan penerimaan terhadap ABK. C. N. Sari & Hendriani [21] menganjurkan pelatihan guru yang lebih fleksibel dan berkelanjutan serta pengembangan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tasya [22] menyarankan peningkatan akses informasi bagi orang tua dan kesiapan sekolah dalam mendukung pendidikan inklusif. Suvita et al. [23] menekankan pentingnya pelatihan guru, peningkatan sarana prasarana, serta pemberdayaan masyarakat sebagai kunci keberhasilan. Agustin [24] mengusulkan integrasi sistem pendukung dan optimalisasi kebijakan organisasi sekolah untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan inklusif. Maryam et al. [25] merekomendasikan peningkatan keterampilan guru serta partisipasi aktif orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan. Kinarina [19] mendorong kampanye anti-stigma dan edukasi publik untuk mengubah persepsi negatif terhadap ABK. Selain itu, Woodcock & Hardy [26] dalam Darwis [27] menunjukkan bahwa bantuan sumber daya dan pelatihan guru secara fleksibel memiliki dampak signifikan terhadap keberhasilan pendidikan inklusif. Keseluruhan rekomendasi ini menegaskan perlunya pendekatan holistik yang melibatkan peningkatan kapasitas pendidik, penyediaan fasilitas memadai, penguatan kolaborasi antar pemangku kepentingan, serta perubahan paradigma sosial untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif dan berkelanjutan di masa depan.
Implementasi Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam upaya memberikan akses pendidikan yang setara bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Kabupaten Gresik. Peraturan ini telah menjadi landasan hukum yang kuat untuk mewajibkan setiap satuan pendidikan inklusif menerima ABK dan menyediakan tenaga pendidik khusus, seperti Guru Pembimbing Khusus (GPK), guna mendampingi dan mendukung proses belajar mereka. Program-program pendukung seperti "Hatiku Padamu" (HTM) yang diluncurkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik semakin memperkuat pelaksanaan kebijakan ini dengan memberikan layanan antar jemput dan pelatihan berjenjang bagi GPK, sehingga meminimalisir penolakan dan meningkatkan kualitas pendampingan. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah kendala seperti kekhawatiran sekolah dalam memberikan pelayanan optimal, keterbatasan fasilitas di wilayah terpencil, serta kebutuhan peningkatan koordinasi antar lembaga pelaksana. Rencana pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Layanan Pendidikan ABK di wilayah utara Gresik menjadi langkah strategis untuk memperluas akses dan pemerataan layanan pendidikan inklusif. Secara keseluruhan, Peraturan Bupati ini telah memberikan fondasi yang kokoh dan arah yang jelas bagi pengembangan pendidikan inklusif di Gresik, namun keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada peningkatan sumber daya manusia, sarana prasarana, serta dukungan aktif dari seluruh pemangku kepentingan di daerah.
Untuk mengoptimalkan implementasi pendidikan inklusif, diperlukan strategi yang menyeluruh meliputi peningkatan kompetensi guru, penyediaan fasilitas memadai, penguatan koordinasi antar lembaga, serta perubahan paradigma sosial melalui edukasi dan sosialisasi. Pemanfaatan teknologi dan pemberdayaan komunitas juga menjadi
kunci penting dalam mengatasi kendala geografis dan sosial. Dukungan kebijakan yang kuat harus diikuti dengan alokasi sumber daya yang memadai agar pendidikan inklusif dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.
Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pendidikan inklusif di Kabupaten Gresik serta mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam pelaksanaannya. Temuan menunjukkan bahwa implementasi pendidikan inklusif di Gresik masih menghadapi berbagai kendala signifikan, seperti keterbatasan kompetensi guru, minimnya sarana dan prasarana, serta stigma sosial yang masih melekat pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Selain itu, koordinasi antar lembaga pelaksana dan alokasi sumber daya yang belum optimal turut menghambat pelaksanaan kebijakan inklusi secara menyeluruh. Namun, terdapat peluang besar melalui pelatihan guru, penguatan peran Guru Pembimbing Khusus, serta dukungan kebijakan yang jelas seperti Peraturan Bupati Gresik Nomor 42 Tahun 2013. Kesadaran masyarakat yang semakin meningkat dan pemanfaatan teknologi juga menjadi faktor pendukung penting dalam memperkuat pendidikan inklusif.
Studi ini memberikan peta jalan implementasi pendidikan inklusif berbasis kerangka Mazmanian-Sabatier yang belum banyak diangkat pada level kabupaten, sehingga menjadi kontribusi baru dalam memahami dinamika dan strategi penguatan kebijakan inklusi di tingkat daerah. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan inklusif, disarankan agar pemerintah daerah dan lembaga pendidikan di Gresik meningkatkan pelatihan dan pengembangan kompetensi guru secara berkelanjutan, serta memprioritaskan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama di wilayah terpencil. Selain itu, sosialisasi dan kampanye edukasi perlu digalakkan untuk mengubah paradigma masyarakat dan menghilangkan stigma negatif terhadap ABK. Penguatan koordinasi antar lembaga pelaksana serta pemberdayaan peran Guru Pembimbing Khusus juga sangat penting. Terakhir, pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran dan komunikasi harus dioptimalkan untuk mendukung keberhasilan pendidikan inklusif yang berkelanjutan.
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dan terima kasih kepada Universitas Negeri Surabaya, Program Studi Manajemen Pendidikan, serta semua pihak yang telah mendukung penulisan artikel ini.
References
- A. Jogbakci, N. Aliya, I. K. Pratiwi, N. Surbakti, P. Bahasa, and U. N. Medan, "Aksesibilitas Sarana Dan Prasarana Pendidikan Bagi ABK: Studi Terhadap Implementasi Sekolah Inklusi Accessibility of Educational Facilities and Infrastructure for Children With Disabilities: A Study on the Implementation of Inclusive Schools," JIIC J. Intelek Insa. Cendikia, vol. 2, no. 3, pp. 4678–4687, 2025.
- E. M. Sari and O. Andriani, "Stigma Masyarakat Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Umum," J. Nakula Pus. Ilmu Pendidikan, Bhs. dan Ilmu Sos., vol. 2, no. 2, pp. 62–67, 2024.
- S. Ngadiman and B. L. Pradana, "Pengaruh Hedonic Shopping Motives, Sales Promotion, Fashion Involvement Terhadap Impulse Buying Shopee," Reviu Akuntansi, Manajemen, dan Bisnis, vol. 4, no. 1, pp. 13–31, 2024.
- H. Thaibah et al., "Hasil Sosialisasi Pengembangan Kesadaran Masyarakat Dengan Tema: 'Bersama Mewujudkan Inklusi: Peran Sekolah, Masyarakat, dan Keluarga untuk ABK' di SDN 2 Sungai Besar," J. Pendidik. Inklusif, vol. 8, no. 11, pp. 46–54, 2024.
- R. S. Samudero, "Abdul Mu'ti Ungkap Dua Masalah Pendidikan Inklusif," Detikbali, 2025. [Online]. Available: https://www.detik.com/bali/berita/d-7905330/abdul-muti-ungkap-dua-masalah-pendidikan-inklusif
- F. S. Tanggur et al., "Tantangan dan Solusi Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar," J. Pendidik. Inklusif, vol. 9, no. 1, pp. 171–174, 2025.
- A. N. S. Azmy, "Strategi Inklusif: Pembelajaran Untuk Anak Berkebutuhan Khusus di UPTD SDN Banyuajuh 2," Kompasiana, 2024. [Online]. Available: https://www.kompasiana.com/028anggunnaflasyarifatulazmy4319/675ff348ed641563694bba24/stategi-inklusif-pembelajaran-untuk-anak-berkebutuhan-khusus-di-uptd-sdn-banyuajuh-2
- R. Kurniawati et al., "Kurikulum dan Pembelajaran Program Pendidikan Inklusi PAUD," AKSARA J. Ilmu Pendidik. Nonform., vol. 9, no. 02, pp. 1307–1312, 2023.
- H. J. Persada and M. Efendi, "Studi Kasus Implementasi Layanan Pendidikan Inklusif di Kota Madiun," J. Ortopedagogia, vol. 4, no. 1, pp. 7–11, 2018.
- J. Purwandianto, "Mata Siswi SD di Gresik Ditusuk Hingga Buta: 'Perundungan di Indonesia Sudah Darurat'," BBC Indonesia, 2023. [Online]. Available: https://www.bbc.com/indonesia/articles/czr1xkdvk8jo
- F. A. Rofiq, "SMP Negeri di Gresik Dapat Pembekalan Pendidikan Inklusi, Dispendik Minta Semua Sekolah Punya Guru Pendamping," Radar Gresik, 2024. [Online]. Available: https://radargresik.jawapos.com/pendidikan/834929635/smp-negeri-di-gresik-dapat-pembekalan-pendidikan-inklusi-dispendik-minta-semua-sekolah-punya-guru-pendamping
- M. & Sabatier, Implementation and Public Policy. Glenview, IL: Scott, Foresman, 1983.
- H. Snyder, "Literature Review as a Research Methodology: An Overview and Guidelines," J. Bus. Res., vol. 104, pp. 333–339, 2019.
- J. F. Rowley and G. Slack, "Conducting a Literature Review: Management Research News," Manag. Res. News, vol. 27, no. 6, pp. 31–39, 2004.
- M. A. Jamil et al., "Analisis Deskriptif Tingkat Kemampuan Literasi Digital pada Pembelajaran Biologi," J. Teach. Educ., vol. 4, no. 2, pp. 640–648, 2022.
- O. R. Saleh et al., "Analisis Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Peserta Didik Kelas III-B SDN 4 Menteng Palangka Raya," Pedagog. J. Pendidikan, vol. 18, no. 1, pp. 25–32, 2023.
- R. Melinda et al., "Pendidikan Inklusif di Indonesia: Tantangan dan Peluang dalam Implementasi," Harmon. Pendidik. J. Ilmu Pendidik., vol. 2, no. 1, pp. 337–343, 2025.
- A. S. A. Bantali et al., "Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar: Tantangan dan Peluang di Era Digital di Jawa Tengah," Arzusin J. Manaj. dan Pendidik. Dasar, vol. 5, no. 2, pp. 690–710, 2025.
- H. Kinarina, "Kemendikdasmen: Stigma Masih Jadi Tantangan Pendidikan Inklusif," Antara News, 2025. [Online]. Available: https://www.antaranews.com/berita/4703557/kemendikdasmen-stigma-masih-jadi-tantangan-pendidikan-inklusif
- Aswad, "Pendidikan Inklusif di Indonesia: Tantangan dan Peluang," Berita Edukasi, 2024. [Online]. Available: https://www.beritaedukasi.id/2024/12/pendidikan-inklusif-di-indonesia.html
- C. N. Sari and W. Hendriani, "Hambatan Pendidikan Inklusi dan Bagaimana Mengatasinya: Telaah Kritis Sistematis dari Berbagai Negara," J. Ilm. Psikol. Terap., vol. 9, no. 1, p. 97, 2021.
- Tasya, "Hetifah Tekankan Pentingnya Pendidikan Inklusif untuk Difabel," EMedia DPR RI, 2024. [Online]. Available: https://emedia.dpr.go.id/2024/08/22/hetifah-tekankan-pentingnya-pendidikan-inklusif-untuk-difabel/
- Y. Suvita et al., "Kelengkapan Sarana dan Prasarana dalam Mendukung Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif," J. Pendidik. Kebutuhan Khusus, vol. 6, no. 2, pp. 155–164, 2022.
- I. Agustin, "Permasalahan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di SDN Se Kecamatan Soko Kabupaten Tuban," Else (Elementary Sch. Educ. Journal), vol. 3, no. 2, 2019.
- Maryam, A. Nasrullah, and S. R. Aliyah, "Implementasi Pendidikan Inklusif pada Siswa Berkebutuhan Khusus," J. Instr. Dev. Res., vol. 4, no. 5, pp. 418–430, 2024.
- S. Woodcock and I. Hardy, "Beyond the Binary: Rethinking Teachers' Understandings of and Engagement With Inclusion," Int. J. Incl. Educ., vol. 21, no. 6, pp. 1–20, 2016.
- A. A. Darwis, "Penguatan Kompetensi Profesional Guru Sekolah Inklusif Melalui Pelatihan Kompensatoris," Wahana Dedik. J. PKM Ilmu Kependidikan, vol. 7, no. 1, pp. 169–176, 2024.