Abstract
General Background: In an increasingly globalized society, fostering multicultural competence and global diversity character in primary education is critical for shaping tolerant and inclusive citizens. Specific Background: However, educational institutions often lack contextual, engaging materials to cultivate these competencies effectively, particularly through culturally rooted experiences. Knowledge Gap: Despite the potential of local culture as a medium for learning, studies rarely examine its integration through structured project-based modules in primary education. Aims: This study aims to evaluate the effectiveness of a project-based learning module focused on traditional Bogor food in enhancing students’ multicultural competence and global diversity character within the Pancasila Student Profile (P5) framework. Results: Using a quasi-experimental design, the experimental class achieved a high average N-Gain score (0.74) for multicultural competence, surpassing the control class (0.60), and outperformed the control group by 7.5% in global diversity character scores. Novelty: The study introduces a novel instructional strategy that integrates traditional culinary practices into project learning to develop cultural awareness, empathy, and adaptability among elementary students. Implications: These findings suggest that embedding local cultural elements in project-based learning modules is a promising pedagogical approach to enrich multicultural and global character education in primary schools.
Highlight :
-
The traditional food project effectively improves students' multicultural competence and global diversity character.
-
Learning through local food enhances cultural understanding, empathy, and inclusive attitudes.
-
The experimental class showed significantly higher N-Gain and global diversity scores than the control group.
Keywords : P5 Project Module, Traditional Food, Multicultural Competence, Global Diversity, Primary Education
Pendahuluan
Penting bagi unit pendidikan untuk berupaya mengenalkan dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya pengenalan budaya wilayah Jawa Barat atau budaya Sunda. Menurut Wali Kota Bogor, tugas terbesar saat ini untuk periode 2019/2024 adalah bagaimana budaya lokal dapat terhubung dengan dunia nasional dan internasional. Pasalnya, budaya Sunda tidak hanya terbatas pada peninggalan fisik atau artistik, tetapi memiliki nilai yang perlu digali lebih dalam (DetikNews, 2021). Kompetensi multikultural dalam Proyek Penguatan Profil Siswa Pancasila (P5) di sekolah dasar penting untuk membentuk sikap toleran, inklusif, dan menghormati perbedaan sejak dini. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan budaya, menghilangkan bias, mengintegrasikan pengetahuan yang beragam, dan membina hubungan yang harmonis [1] Melalui kegiatan P5, mahasiswa diajak untuk mengenal keanekaragaman budaya, salah satunya dengan mengenal makanan tradisional Bogor. Mahasiswa diajak untuk mengenal berbagai makanan tradisional Bogor seperti doclang, talas Bogor, dan mie soto. Dengan adanya kegiatan ini, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa pangan tradisional merupakan kekayaan yang harus dijaga bersama. Pendidikan multikultural terdapat pada siswa meliputi perbedaan sikap multikultural, keyakinan, dan pengetahuan berdasarkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, etnis, dan latar belakang agama[2]. Hal ini merupakan fondasi yang kuat dalam membangun karakter mahasiswa yang berwawasan nasional dan siap menjadi warga global. Sementara itu, dalam karakter keberagaman global siswa sekolah dasar dalam konteks globalisasi dan kemajuan teknologi, siswa SD harus memahami nilai-nilai kebangsaan dan merangkul keberagaman yang lebih luas. Penanaman budayadalam konteks pendidikan dan sosial yang berbeda memperluas perspektif siswa, membuat mereka lebih mudah beradaptasi dan menarik secara global [2]. Manifestasi awal intoleransi dan diskriminasi menyoroti perlunya menumbuhkan kebanggaan global sejak usia dini. Selain itu, penanaman nilai-nilai kearifan lokal dapat diimplementasikan melalui proyek penguatan profil mahasiswa Pancasila (P5). Pembelajaran berbasis proyek sangat penting dalam meningkatkan keragaman kompetensi dan karakter, salah satunya kompetensi multikultural dan karakter keragaman global, karena memberikan ruang bagi siswa untuk memahami, menghargai, dan hidup selaras dalam keberagaman. Melalui kegiatan kontekstual dan kolaboratif, mahasiswa dilatih untuk berpikir terbuka, berempati, dan mampu berinteraksi secara inklusif dengan berbagai latar belakang budaya, baik di lingkungan lokal maupun global. Dalam pelaksanaan P5, mahasiswa masih menghadapi keterbatasan, yaitu ketersediaan bahan ajar yang beragam dan menarik untuk meningkatkan kompetensi multikultural. Kompetensi multikultural dalam Proyek Penguatan Profil Siswa Pancasila (P5) di sekolah dasar penting untuk membentuk sikap toleran, inklusif, dan menghormati perbedaan sejak dini. Melalui kegiatan P5, mahasiswa diajak untuk mengenal keanekaragaman budaya, salah satunya dengan mengenal makanan tradisional Bogor. Mahasiswa diajak untuk mengenal berbagai makanan tradisional Bogor seperti doclang, talas Bogor, dan mie soto. Dengan adanya kegiatan ini, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa pangan tradisional merupakan kekayaan yang harus dijaga bersama. Sementara itu, tentang karakter keberagaman global pada siswa SD Dalam konteks globalisasi dan kemajuan teknologi, siswa SD harus memahami nilai-nilai nasional dan merangkul keberagaman yang lebih luas. Manifestasi awal intoleransi dan diskriminasi menyoroti perlunya menumbuhkan kebanggaan global sejak usia dini. Hal ini merupakan landasan yang kuat dalam membangun karakter siswa yang berpikiran nasional dan siap menjadi warga global berdasarkan hasil kuesioner dalam penelitian pendahuluan yang dilakukan terhadap siswa kelas 4 SDS Muhammadiyah Bojonggede terhadap 20 siswa mengenai kompetensi multikultural dan karakter keragaman global, diketahui bahwa dalam kompetensi multikultural 85% siswa mengalami kesulitan menyebutkan beberapa makanan khas, tarian dan pakaian tradisional dari daerah lain. dan 75% tidak mengalami kesulitan belajar bahasa daerah, 75% siswa mengalami kesulitan bekerja sama dalam kegiatan diskusi. Sementara itu, dalam karakter yang beragam secara global, 70% mahasiswa mengalami kesulitan untuk bersikap adil dalam kegiatan diskusi kelompok. Selain itu, 55% siswa mengalami kesulitan mengungkapkan pendapat mereka dengan latar belakang budaya yang berbeda. Berdasarkan hasil kuesioner dalam penelitian pendahuluan yang dilakukan terhadap 20 guru di berbagai sekolah dasar di Kabupaten Bogor, diketahui 85% mengalami kesulitan dalam membuat modul proyek untuk memperkuat profil siswa Pancasila (P5). Selanjutnya, mengenai kurangnya pemahaman modul proyek penguatan profil mahasiswa Pancasila (P5). Kebaruan dalam penelitian ini terletak pada pemanfaatan aktivitas membuat makanan tradisional khas Bogor sebagai strategi pembelajaran inovatif untuk menumbuhkan kompetensi multikultural serta berkebhinekaan global pada siswa. Pada implementasi modul proyek ini memberikan warna baru dalam praktik Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di satuan pendidikan dasar dengan menghadirkan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna. Melalui kegiatan diskusi, tanya jawab, bermain permainan tradisional engklek modifikasi,kartu hiji dan demontrasi mendorong rasa ingin tahu, empati, dan toleransi, siswa diajak untuk mengenal, menghargai, dan melestarikan makanan tradisional Bogor. Penelitian ini memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan, khususnya dalam merancang pembelajaran yang responsif terhadap tantangan global sekaligus berakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Dengan demikian, permasalahan yang harus dipecahkan adalah: "Bagaimana pembelajaran proyek penguatan profil siswa Pancasila menggunakan modul untuk membuat pangan tradisional Bogor meningkatkan kompetensi multikultural dan karakter keragaman global siswa sekolah dasar?
Metode
Penelitian dilakukan dengan mengembangkan modul proyek untuk memperkuat profil mahasiswa Pancasila menggunakan metode quasi-eksperimental dengan desain kelompok kontrol pasca tes pretest. Desain kuasi-eksperimental, seperti evaluasi pra-tes dan pasca-tes, biasanya digunakan untuk mengukur efektivitas intervensi Pendidikan [3]. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 4 dari salah satu sekolah dasar swasta di Kabupaten Bogor, sebanyak 24 siswa dari total 48 siswa kelas 4. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non-random yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel yang bertujuan meningkatkan kualitas data dengan berfokus pada individu yang dapat memberikan informasi yang kaya dan relevan [4] Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan peneliti atau evaluator tentang sampel mana yang paling berguna dan representatif. Subjek tes berada di kelas yang beragam budaya. Untuk melihat efektivitas hasil pengembangan yang melibatkan subjek untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen. Perlakuan untuk kelas kontrol terdiri dari pembelajaran menggunakan modul proyek untuk membuat keripik umbi yang bersumber dari ruang GTK/PMM (platform merdeka mengajar), sedangkan kelas eksperimental mengikuti pembelajaran proyek dengan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor untuk meningkatkan kompetensi multikultural dan karakter keragaman global. Sementara itu, kelas kontrol hanya menggunakan modul proyek pembuatan keripik ubi jalar makanan tradisional. Instrumen pretest-post-test untuk kompetensi multikultural menggunakan tes deskripsi sepuluh pertanyaan, sedangkan karakter yang beragam secara global menggunakan kuesioner, yang semuanya divalidasi oleh tim ahli. Kegiatan pretest dilakukan sebelum dimulainya pembelajaran, sedangkan post-test dilakukan setelah pembelajaran dilakukan selama empat sesi. Untuk mengukur efektivitas pembelajaran yang dilakukan, dilakukan tes n-gain untuk kelas kontrol dan percobaan berdasarkan hasil uji kompetensi multikultural, sedangkan variabel karakter yang beragam secara global dianalisis dengan menghitung persentase di masing-masing kelas. Penelitian dilakukan berdasarkan lima fase prosedural, antara lain: perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan analisis data, pelaporan dan diseminasi hasil penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pembelajaran berbasis proyek menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor dalam bentuk pembelajaran datar, meningkatkan kompetensi multikultural siswa, karakter keragaman global, dan respon siswa terhadap pembelajaran proyek dengan menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor di salah satu sekolah dasar swasta di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada semester genap tahun akademik 2024/2025 dan dibagi menjadi kelas kontrol pada kelas IV-A dan kelas eksperimen di kelas IV-B. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa hasil pre dan post-test dan data kualitatif berupa jurnal mahasiswa. Ikhtisar data yang diperoleh meliputi rata-rata, median, mode, standar deviasi, dan persentase. Data survei ini dilengkapi dengan data dari pengamatan pelaksanaan pembelajaran proyek menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor, kuesioner karakteristik keragaman global, dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran proyek dengan membuat makanan tradisional Bogor. Di bawah ini adalah hasil perhitungan data pra-uji dan pasca-uji pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pelaksanaan pembelajaran P5 menggunakan modul pembuatan makanan tradisional Bogor kegiatan pembelajaran dilakukan masing-masing tiga kali di kelas kontrol dan kelas eksperimental (empat sesi). Pada setiap pertemuan, guru diamati oleh guru lain (pengamat) untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran yang direncanakan. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam beberapa langkah, antara lain:
Fase Persiapan Pada tahap ini, peneliti merencanakan pembelajaran dengan membuat modul pengajaran. Modul pengajaran terdiri dari perencanaan pembelajaran, bahan ajar, media pembelajaran, lembar kegiatan siswa, bahan bacaan dan penilaian. Modul pengajaran disusun berdasarkan unsur-unsur dimensi profil mahasiswa Pancasila yang ingin dicapai. Selain itu, modul yang digunakan adalah modul proyek untuk pembuatan Makanan Tradisional Bogor. Budaya baik dari dalam maupun luar negeri dan yang diperkenalkan kepada mahasiswa termasuk dalam penyusunan modul proyek untuk memainkan peran yang komprehensif dalam proyek pembelajaran untuk memperkuat profil mahasiswa Pancasila. Implementasi proyek penguatan profil pelajar Pancasila terintegrasi dengan beragam pendekatan, kurikulum independen mengambil dari berbagai teori pendidikan, termasuk pendekatan progresivisme dan humanistik, untuk menciptakan kerangka kerja pembelajaran yang komprehensif [5]
Tahap Implementasi Tahap pelaksanaan ini terdiri dari kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya. Pada tahap ini dalam melaksanakan pembelajaran sesuai dengan modul proyek yang telah dibuat. Implementasi dilakukan dengan memperhatikan gaya belajar dan kebutuhan siswa, berdasarkan isi, proses dan hasil, untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip student-centered, holistik, eksplorasi dan kontekstual sebagaimana direkomendasikan dalam kurikulum merdeka. Pelaksanaan pembelajaran dibagi menjadi empat pertemuan yang masing-masing memiliki tahap proyek. Pada tahap pengenalan proyek, guru memperkenalkan tema proyek, yaitu tema kearifan lokal, menjelaskan dimensi profil siswa Pancasila, dan membangun rasa ingin tahu, melalui diskusi atau kegiatan pembukaan mengenai pelaksanaan kegiatan P5, mengidentifikasi perbedaan budaya, dan permasalahan yang berkaitan dengan keberagaman global. Pada tahap kontekstualisasi, siswa mengeksplorasi pembuatan makanan tradisional dengan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari, mengalami budaya lokal atau global secara langsung melalui cerita, video, atau bermain peran. Pada tahap aksi, siswa bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan makanan tradisional Bogor, sambil menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Pada tahap refleksi dan tindak lanjut, siswa merefleksikan pengalaman belajar, mengevaluasi proses dan hasil, serta merencanakan langkah-langkah tindak lanjut sehingga nilai-nilai proyek diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fase Evaluasi dan Refleksi Setelah kegiatan pembelajaran dilakukan, langkah selanjutnya adalah guru mengevaluasi dan merenungkan apa yang telah dipelajari. Hal ini dilakukan untuk melihat kinerja pembelajaran dan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran yang dilakukan sehingga dapat dijadikan catatan sebagai rencana tindak lanjut perbaikan di masa mendatang. Modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor hanya dilakukan di kelas eksperimen. Kegiatan observasi dilakukan per pertemuan dengan total 17 aspek observasi. Adapun hasil pengamatan penerapan modul proyek pembuatan pangan tradisional Bogor adalah sebagai berikut:
Tidak. Aktivitas | 1 Iya | Tidak | 2 Iya | Tidak | Ya | 3 Tidak |
---|---|---|---|---|---|---|
1. Perkenalan | 4 | 0 | 4 | 0 | 4 | 0 |
2. Inti | 9 | 0 | 9 | 0 | 9 | 0 |
3. Penutupan | 4 | 0 | 4 | 0 | 4 | 0 |
Jumlah | 17 | 0 | 17 | 0 | 17 | 0 |
Persentase | 100% | 0% | 100% | 0% | 100% | 0% |
Berdasarkan tabel di atas, pelaksanaan kegiatan pembelajaran proyek menggunakan modul proyek untuk membuat makanan tradisional Bogor sesuai dengan aspek yang dirasakan oleh guru tercapai 100%. Selain data checklist, komentar pengamat terhadap pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Gurunya terbuka dan menawan serta memiliki gaya berbicara yang sangat jelas.
- Semua pelajaran disampaikan dengan pendekatan inklusif.
- Selama pelajaran, guru membantu siswa saat mereka memecahkan masalah selangkah demi selangkah.
- Guru menawarkan ruang yang menyenangkan, nyaman, dan aman bagi siswa untuk belajar.
- Keterlibatan aktif siswa didorong melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang guru.
- Saya mengagumi dan menghargai keterampilan mengajar yang menginspirasi dari para instruktur.
- Instruktur dapat memotivasi siswa untuk mengajukan beberapa pertanyaan terkait kegiatan berbasis proyek.
- Panduan guru untuk proyek ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi, merenungkan, dan menyajikan materi yang dikembangkan.
Pembelajaran berlangsung dalam kelompok. Setiap kelompok memecahkan masalah yang tercantum pada lembar kegiatan siswa. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan modul untuk membuat makanan tradisional Bogor diimplementasikan sebagai berikut:
1. Pemahaman Tentang Perbedaan Budaya
Figure 1.Indikator pengenalan keanekaragaman budaya pada tahap pengenalan proyek
Memahami perbedaan budaya merupakan landasan penting dalam implementasi P5, terutama melalui modul "Membuat Makanan Tradisional Bogor". Dalam kegiatan ini, mahasiswa diajak untuk mengenal dan membuat makanan tradisional Bogor seperti doclang, soto mie Bogor, dan lapis talas, yang mencerminkan kekayaan budaya lokal dari berbagai etnis dan sejarah interaksi antarbudaya. Proses ini membantu siswa menyadari bahwa setiap makanan memiliki latar belakang budaya yang unik, serta nilai-nilai sosial yang menyertainya. Dengan membandingkan makanan tradisional dari daerah lain di Indonesia, siswa dapat memahami bahwa perbedaan budaya bukanlah pemisah, melainkan kekuatan yang memperkaya identitas bangsa. Mengatasi perbedaan budaya dalam pendidikan adalah seni melibatkan penerapan metode pengajaran yang mengaitkan budaya dan desain kurikulum inovatif untuk mempromosikan integrasi dan pengembangan siswa yang komprehensif [6]. Pada tahap pengenalan proyek ini, ada prinsip-prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa, kontekstual, holistik dan eksplorasi [7].Dalam pelaksanaan proyek ini, siswa dihadapkan pada permasalahan kontekstual mengenai peran siswa di sekolah dan di rumah. Selanjutnya, dalam kegiatan ini, siswa menyanyikan lagu dimensi profil mahasiswa Pancasila. Dalam kegiatan eksplorasi tersebut, mahasiswa menyaksikan video tentang proses pelaksanaan kegiatan P5 di SDS Muhammadiyah Bojonggede tahun lalu. Selanjutnya, siswa melaksanakan kegiatan tanya jawab yang dipandu oleh guru. Dalam kegiatan ini, mahasiswa dilatih untuk membentuk kelompok diskusi untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan budaya dan penerapan keberagaman global. Dalam kegiatan diskusi ini, mahasiswa juga diajak bermain untuk mengenal keragaman pangan tradisional lokal dan global melalui kartu HIJI, kartu yang memperkenalkan makanan tradisional. Dalam kegiatan diskusi tersebut, mahasiswa secara berkelompok mengerjakan LKPD. Pada hasil akhir diskusi, siswa dapat memilih hasil produk berupa poster, gambar atau video tentang pentingnya memahami perbedaan budaya. Selanjutnya, siswa dalam kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dengan penuh percaya diri. Pada sesi ini, siswa memberikan sesi untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan tanggapan. Pada tahap ini, siswa menyanyikan lagu tentang mencegah perundungan dengan percaya diri. Pada kegiatan akhir, siswa mengisi lembar refleksi pembelajaran. Selanjutnya, guru dan siswa membuat kesimpulan pada pertemuan hari ini dan memberikan informasi tentang pembelajaran selanjutnya.
2. Sikap Positif Terhadap Keagamaan
Figure 2.Pada tahap sikap positif terhadap keberagaman pada tahap kontekstualisasi
Pada indikator sikap positif terhadap keanekaragaman, mengakui dan menghargai perbedaan budaya menumbuhkan lingkungan yang lebih inklusif [8]. Pada tahap kontekstualisasi, proyek ini membentuk kelompok berdasarkan minat dan gaya belajar. Pada tahap selanjutnya, mahasiswa dihadapkan dengan permasalahan kontekstual dalam LKPD tentang perbedaan budaya dan cara melestarikan makanan tradisional. Pada sesi ini, siswa mendapat kesempatan untuk bergiliran bermain engklek untuk mengenal makanan tradisional. Setelah diskusi dan bermain kegiatan engklek, siswa bergiliran mempresentasikan kegiatan. Selanjutnya, siswa mengerjakan soal latihan tentang mengenal makanan tradisional Bogor. Pada tahap ini, siswa melakukan tanya jawab dan memberikan tanggapan kepada kelompok lain. Selanjutnya, guru memberikan penjelasan tentang pengaruh budaya asing di Indonesia, perbedaan budaya Jepang dan Indonesia, baik dari norma sikap, kebiasaan makanan dan gaya komunikasi, maupun makanan tradisional. Guru memberi siswa kesempatan untuk mengerjakan tanya jawab. Pada sesi terakhir, siswa dan guru membuat kesimpulan dengan bimbingan guru. Selanjutnya, guru meminta tanggapan siswa tentang pelajaran hari ini. Pada sesi penutup, guru menyampaikan apa yang harus disiapkan dalam sesi tahap aksi pembuatan makanan tradisional. Pada tahap sikap positif terhadap keragaman budaya pada siswa sekolah dasar dapat ditinjau melalui kemampuannya untuk menghargai perbedaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menerima teman yang memiliki latar belakang adat istiadat, bahasa, atau adat istiadat yang berbeda.
3. Pengetahuan dan Keterampilan Budaya Pengetahuan dan Keterampilan tentang budaya, yaitu siswa memiliki pengetahuan tentang berbagai praktik budaya dan keterampilan yang diperlukan untuk komunikasi yang efektif lintas budaya [9] . Dalam pengalaman belajar yang kontekstual dan menyenangkan pada tahap ini adalah inti dari kegiatan proyek, di mana siswa mengambil tindakan nyata berdasarkan rencana yang telah diatur sebelumnya. Aksi dapat berupa pembuatan produk, dengan tema kearifan lokal. Siswa bekerja secara kolaboratif, menerapkan keterampilan abad ke-21 seperti komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah. Guru bertindak sebagai fasilitator dan pendamping untuk memastikan bahwa setiap siswa aktif dan belajar sesuai dengan gaya belajarnya. Pada tahap ini, mahasiswa diperkenalkan dengan upaya pengawetan pangan tradisional, salah satunya dengan membuat makanan tradisional Bogor. Siswa dibagi menjadi empat kelompok dengan 6 siswa. Setiap kelompok diberi pilihan untuk memasak makanan tradisional Bogor seperti mie Doclang, mie soto Bogor, dan talas Bogor. Doclang merupakan makanan tradisional Khas Bogor yang terdapat di Indonesia. Komposisi yang terdapat pada doclang yaitu: lontong atau pesor dalam Bahasa Sunda, tahu goreng, telor rebus dan kentang kukus yang digoreng serta bumbu kacang sebagai pelengkap [10]. Soto Mie Bogor, merupakan simbol keanekaragaman kuliner Indonesia, dengan variasi bahan dan metode persiapan di seluruh wilayah. Biasanya termasuk kaldu yang dibumbui dengan rempah-rempah, sayuran, dan protein seperti ayam atau daging sapi [6]. Hidangan penutup tradisional Indonesia, menggunakan talas Bogor sebagai bahan utama mampu meningkatkan daya jual dan keragaman kuliner [11]. Selama proses pembelajaran, siswa diamati oleh guru, jika ada kendala dalam proses pembuatannya, siswa akan dibimbing oleh guru. Dalam proses ini, peserta telah menerima tugas individu di setiap kelompok seperti memotong, memotong, memasak, mendekorasi, dan sebagainya. Pada prinsip-prinsip holistik dan eksplorasi, siswa dilatih untuk memahami manfaat makanan tradisional yang dibuat dan proses pembuatannya. Mahasiswa juga dilatih untuk menugaskan tugas masing-masing individu agar produk yang disajikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dalam aksi ini, mahasiswa melakukan presentasi kelompok yang mempresentasikan bagaimana proses pembuatannya, apa tantangan dan harga tetap dalam produk yang disajikan. Pengetahuan budaya dan keterampilan sosial sangat penting untuk ketahanan masyarakat, memungkinkan kelompok untuk menafsirkan dunia mereka dan menanggapi kesulitan. Pengetahuan dan keterampilan tradisional menggambarkan pentingnya praktik budaya dalam pengelolaan sumber daya dan keseimbangan ekologis. Praktik-praktik ini sangat penting untuk mempertahankan identitas budaya dan kesehatan lingkungan, namun mereka menghadapi ancaman dari modernisasi [12]
Figure 3.Indikator pengetahuan dan keterampilan pada tahap aksi
4. Kemampuan Beradaptasi Indikator kemampuan beradaptasi dan keterbuka, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dengan konteks budaya yang berbeda dan keterbukaan terhadap pengalaman budaya baru adalah komponen penting dari kompetensi budaya [9] Proses Pada tahap ini, guru menghadirkan masalah mengenai apa saja kendala dalam pembuatan makanan tradisional Bogor. Pada tahap ini, siswa dibimbing oleh guru untuk melakukan asesmen antar teman dan penilaian antar kelompok dan memahami apa saja yang harus ditingkatkan dalam melaksanakan proyek selanjutnya. Pada sesi selanjutnya, diadakan diskusi untuk saling membuka diri tentang bagaimana proses pembuatan makanan tradisional Bogor. Selanjutnya, siswa menggali informasi tentang bagaimana merefleksikan dengan model 4 F (fakta, perasaan, temuan, masa depan). Pada tahap ini, siswa mengerjakan pertanyaan paling tepat tentang kompetensi multikultural dan instrumen karakter keragaman global. Pada tahap ini, mahasiswa dibimbing untuk menyampaikan pendapatnya selama proses tindakan dalam pembuatan makanan tradisional. Di akhir kegiatan, mahasiswa mempresentasikan hasil penilaian antar teman dan kelompok serta membacakan hasil evaluasi selama proses pembuatan makanan tradisional Bogor. Nilai-nilai ini diupayakan oleh para guru melalui tahapan- tahapan yakni menjelaskan, mencontohkan dan menampilkan kepribadian yang baik agar bisa ditiru oleh para siswanya menjadi hal yang penting dalam melatih kemampuan beradaptasi siswa [13].
Figure 4.Indikator kemampuan beradaptasi pada tahap refleksi dan tindak lanjut
Berdasarkan penjelasan di atas, pertanyaan penelitian pertama menyangkut implementasi pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan pengajaran yang responsif secara budaya dalam sosok sarana pembelajaran yang berjalan dengan sangat baik. Menerapkan pendidikan yang baik akan berdampak pada hasil belajar siswa. Oleh karena itu, capaian belajar siswa lebih lanjut terkait dengan peningkatan kompetensi multikultural dalam hasil pembelajaran.
Capaian belajar siswa terkait dengan peningkatan kompetensi multikultural
Kurikulum multikultural menantang konstruksi pengetahuan tradisional dengan menggabungkan perspektif yang beragam, memberdayakan siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan terlibat dalam tindakan sipil untuk peningkatan sosial [14] . Menyelidiki pembelajaran berbasis masalah dengan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor dengan tema kearifan lokal untuk meningkatkan kompetensi multikultural siswa kelas IV dan disposisi yang beragam secara global menggunakan metode quasi-eksperimental dengan desain kelompok kontrol pretest-posttest yang tidak merata. Penelitian ini dilakukan di kelas eksperimental dan kontrol, dan perawatan yang berbeda digunakan. Kelas eksperimental menggunakan modul proyek untuk membuat makanan tradisional Bogor, sedangkan kelas kontrol menggunakan modul proyek untuk membuat keripik umbi yang bersumber dari ruang GTK atau PMM. Sebelum belajar, siswa diberikan pretest untuk menentukan keterampilan awal mereka. Setelah belajar, siswa ditanyai pertanyaan pasca-tes untuk menentukan peningkatan hasil pembelajaran. Pretest dan posttest diberikan dengan pertanyaan yang sama di kelas eksperimental dan kelas kontrol. Statistik deskriptif diperoleh dari hasil pre-test dan post-test, yang ditunjukkan pada Tabel 2. bawah:
Data | Kelas eksperimental | Kelas kontrol | ||
---|---|---|---|---|
Membela | Pasca-tes | Membela | Pasca-tes | |
Min | 24 | 74 | 38 | 72 |
Maks | 56 | 96 | 76 | 90 |
berarti | 42.08 | 85 | 53.33 | 81.75 |
median | 35 | 84 | 31 | 69 |
Standar Deviasi | 8.88 | 5.44 | 9.56 | 4.77 |
Varians | 78.78 | 29.57 | 91.36 | 22.72 |
Peningkatan kompetensi multikultural bagi siswa kelas lima dapat dilihat sebagai berikut berdasarkan hasil tes n-gain:
Grafik. Hasil pengujian N-gain untuk kelas kontrol dan kelas eksperimental. Selain itu, data dapat dibaca melalui diagram tabel berikut:
Figure 5.Grafik hasil tes kompetensi multikultural
Berdasarkan uji penguatan yang dilakukan, kelompok percobaan mencapai kriteria tinggi, sedangkan kelas kontrol mencapai kriteria rata-rata. Dari hasil tes, dapat dikatakan bahwa kelas yang menerima pembelajaran proyek menggunakan modul proyek untuk membuat makanan tradisional Bogor mengalami peningkatan kompetensi multikultural yang lebih besar dibandingkan kelas yang belajar menggunakan modul pembuatan keripik umbi yang bersumber dari PMM (Platform Merdeka Mengajar) atau Ruang GTK (Tenaga Kependidikan Guru). Efektivitas penggunaan modul membuat makanan tradisional Bogor di kelas eksperimen cukup efektif, dengan tingkat n-gain 74% pada kategori tinggi. Di sisi lain, kelas kontrol yang menggunakan modul pembelajaran proyek Krupuk Yam Cemilan Daerahku mencapai level n-gain sebesar 60% pada kategori menengah, yang cukup efektif. Di kelas eksperimen 14% lebih baik dalam hal persentase n-gain yang diperoleh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelas yang menggunakan modul membuat makanan tradisional Bogor lebih efektif dibandingkan kelas yang menggunakan modul Kerupuk Jajanan Ubi Cemilan ku.
Berdasarkan hasil analisis untuk masing-masing indikator kompetensi multikultural, dapat disajikan pada tabel berikut:
Tidak ada pertanyaan | Indikator | Menguasai | Percobaan | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Pra-tes | Pasca tes | N-Gain | Ket | Pra-tes | Pasca tes | N-Gain | Ket | ||
1 | Pemahaman tentang perbedaan budaya | 47.92 | 85 | 0.71 | Tinggi | 41.67 | 85.00 | 0.74 | Tinggi |
1b | |||||||||
2a | Sikap Positif terhadap keragaman | 55 | 76.67 | 0.48 | Menyimpan | 42.08 | 87.50 | 0.78 | Tinggi |
2b | |||||||||
3a | Pengetahuan dan keterampilan tentang budaya | 53.33 | 80 | 0.57 | Menyimpan | 46.25 | 84.58 | 0.71 | Tinggi |
3b | |||||||||
4a | Adaptasi | 55.21 | 83.54 | 0.63 | Menyimpan | 40.21 | 83.96 | 0.73 | Tinggi |
4b | |||||||||
5a | |||||||||
5b |
Hasil posttest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen kompetensi multikultural pada indikator pemahaman tentang perbedaan budaya memiliki perbedaan yang signifikan. Kedua kelas menerima skor N-gain dalam kategori tinggi. Kelas kontrol menuliskan jawaban secara singkat dan kurang detail, sedangkan siswa di kelas eksperimen cenderung menuliskan jawaban yang cukup lengkap dan lancar yang ditunjukkan dengan menuliskan jawaban secara lengkap dan relevan. Indikator sikap positif terhadap keberagaman dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas eksperimen 10,83% lebih unggul dari kelas kontrol. Kelas eksperimen dapat menghasilkan berbagai jawaban. Dalam proses pembelajaran, siswa mampu mencurahkan jawaban atau solusi alternatif atas permasalahan yang disajikan. Sikap positif terhadap keragaman budaya yang terkait dengan keragaman budaya di P5 sangat membantu siswa untuk menghargai perbedaan, dan menumbuhkan semangat persatuan. Sikap ini mendorong siswa untuk mau menerima dan terbuka terhadap berbagai latar belakang budaya, etnis dan kebangsaan serta menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan budaya Indonesia. Pada pemahaman tentang perbedaan Budaya, yaitu siswa menunjukkan kesadaran akan budaya mereka sendiri dan budaya orang lain, yang sangat penting untuk interaksi antar budaya yang efektif [15]. Indikator pengetahuan dan keterampilan budaya bagi siswa sekolah dasar mencerminkan kemampuan siswa untuk mengenali dan memahami keragaman budaya yang ada di lingkungan sekitar, baik dari perilaku, komunikasi maupun pangan tradisional. Perbedaan persentase hasil mencapai 4,58%, unggul untuk kelas eksperimen. Nilai n-gain menunjukkan bahwa kelas kontrol berada dalam kategori sedang sedangkan kelas kontrol berada dalam kategori tinggi. Indikator kemampuan beradaptasi dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas eksperimen lebih unggul pada hasil postest sebesar 0,42% dibandingkan kelas kontrol. Perlu dipahami kompetensi multikultural menekankan keragaman budaya sebagai dasar untuk pembelajaran kolaboratif, menginformasikan pengembangan komponen pendidikan seperti tujuan, konten, proses, dan penilaian, sambil memanfaatkan budaya sekitarnya sebagai sumber daya untuk meningkatkan pemahaman siswa dan menumbuhkan sikap social [16]. Kelas eksperimen dapat menghasilkan berbagai jawaban. Dalam proses pembelajaran, siswa mampu mencurahkan jawaban atau solusi alternatif atas permasalahan yang disajikan.
Hasil kuesioner karakter keragaman global pasca-pembelajaran
Karakter berkebhinekaan globaltidak hanya memperkaya pengalaman belajar tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara siswa dalam konteks global [17]. Memiliki pemahaman yang sangat luas dalam menghadapi budaya yang berbeda, sehingga dapat mengedepankan sikap saling menghormati dan mengembangkan sikap luhur [18]. Salah satu tujuan penelitian terkait pelaksanaan proyek menggunakan modul proyek untuk membuat makanan tradisional Bogor adalah untuk mengetahui karakter mahasiswa dengan keberagaman global. Hasil yang diperoleh berdasarkan kuesioner adalah sebagai berikut:
Tidak. | Elemen | % Kelas kontrol | % Kelas eksperimental |
---|---|---|---|
1. | Mengenal dan Menghargai budaya | 90,83 | 91,67 |
2. | Antarbudaya Komunikasi dan interaksi | 59,17 | 76,67 |
3. | Refleksi dan tanggung jawab untuk Pengalaman keragaman | 90 | 97,50 |
4. | Keadilan sosial | 90,00 | 94,17 |
Rata-rata (%) | 82,50 | 90 |
Di luar capaian belajar yang diukur dalam penelitian ini, salah satu pertanyaan penelitian adalah tentang keragaman global karakter siswa setelah belajar dengan modul pembuatan makanan tradisional Bogor. Berdasarkan hasil analisis data kuesioner karakter keragaman global, terdapat perbedaan persentase pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Secara keseluruhan, kelas kontrol mencapai persentase 82,12%, sedangkan kelas eksperimen mencapai 93,46%. Dengan demikian, perbedaan persentase untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah 11,34%, yang lebih unggul dari kelas eksperimen. Perbedaan persentase terjadi per elemen. Unsur-unsur yang diuji karakter keragaman global terdiri dari empat elemen berikut:
Mengenal dan Menghargai Budaya
Dalam organisasi, mengenali dan menghargai budaya sangat penting untuk mencapai tujuan dan menumbuhkan lingkungan kerja yang positif [19].Elemen ini terdiri dari lima pernyataan yang diuji. Perbandingan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dilihat berdasarkan persentase pencapaian. Dalam pernyataan "Saya telah mencicipi dan mengenali makanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia" dan "Saya tertarik untuk melestarikan dan melestarikan makanan tradisional agar dikenal oleh generasi mendatang, saya setuju 100% untuk kelas eksperimen. Berbeda dengan pernyataan tersebut, kelas kontrol mendapatkan persentase 95,83%. Ada selisih 4,17%. Dalam pernyataan "Saya dapat menyebutkan beberapa jenis makanan tradisional dari daerah saya" pada kelas eksperimen adalah 95,83% sedangkan pada kelas kontrol 91,67% terdapat selisih 4,16%. Selanjutnya, dalam pernyataan "Saya memahami sejarah atau asal usul makanan tradisional yang sering saya temui" pada kelas kontrol dan eksperimen, persentasenya adalah 70,83%, persentase yang ditemukan pada pernyataan "Saya merasa bangga saat memperkenalkan makanan tradisional kepada orang lain" adalah 100% pada kelas kontrol dan pada kelas eksperimen 91,67% terdapat selisih 8,33%.
Komunikasi dan interaksi antarbudaya
Komunikasi antar budaya melibatkan interaksi individu dari budaya yang berbeda, yang dapat mencakup variasi dalam bahasa, adat istiadat, dan norma sosial [20] Unsur komunikasi dan interaksi antar budaya terdiri dari beberapa pernyataan. Pernyataan "Saya telah mencoba makanan tradisional dari berbagai daerah" dan "Saya percaya bahwa memperkenalkan makanan tradisional kepada orang lain dapat meningkatkan pemahaman antarbudaya" memiliki persentase 95,83% dan 91,67% dan di kelas kontrol memiliki persentase 87,5%. Pernyataan rata-rata unsur komunikasi dan interaksi budaya memiliki nilai 76,67% pada kelas eksperimen sedangkan pada kelas kontrol memiliki rata-rata 59,17%, ada perbedaan 17,5%.
Refleksi dan tanggung jawab atas pengalaman keragaman
Pendidikan berfungsi sebagai elemen dasar dalam membentuk sikap terhadap keragaman, terutama pada anak-anak dan dewasa muda [21]. Elemen ketiga yang diuji terkait refleksi dan tanggung jawab atas pengalaman keragaman memperoleh persentase rata-rata 90% untuk kelas kontrol dan 97,50% untuk kelas eksperimen. Perbedaan antara kedua kelas adalah 7,5% lebih unggul dari kelas eksperimental. Berdasarkan hasil analisis, unsur ini merupakan capaian dengan kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol.
Keadilan sosial
Siswa memiliki keterampilan sosial mendorong advokasi yang kuat untuk keadilan sosial, dipengaruhi oleh program satuan pendidikan [22].Unsur keadilan sosial merupakan unsur dengan rata-rata pencapaian tertinggi pada kelas kontrol sebesar 90% sedangkan kelas eksperimen sebesar 94,17%. Pernyataan dengan pencapaian terendah pada elemen ini adalah dalam pernyataan "Saya percaya tidak semua budaya harus dihormati". Ini berlaku untuk kedua kelas, baik kelas kontrol maupun kelas eksperimental. Hasil untuk indikator tertinggi di kelas eksperimen dengan pernyataan "Kita harus saling menghormati perbedaan budaya dan saya berteman dengan semua siswa di kelas ini." Sedangkan di kelas kontrol pada pernyataan "Saya percaya bahwa setiap orang harus diperlakukan adil"
Hasil kuesioner pembelajaran menggunakan modul proyek membuat makanan tradisional
Di akhir kegiatan penelitian, yaitu setelah menyelesaikan empat kali rapat pembelajaran proyek penguatan profil mahasiswa Pancasila menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor, salah satu tes yang dilakukan adalah pembagian kuesioner atas respon siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Tujuan dari penyaluran kuesioner adalah untuk mengetahui reaksi siswa terhadap apa yang telah mereka pelajari. Ringkasan kuesioner ditunjukkan pada diagram 5 di bawah ini:
Figure 6.Hasil respon siswa terhadap pembelajaran modul proyek membuat makanan tradisional
Pembelajaran yang telah dilakukan tidak terlepas dari respon siswa. Dalam penelitian ini, peneliti membagikan kuesioner terkait respon mahasiswa terhadap implementasi modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, ditemukan bahwa 96% siswa menyatakan bahwa guru selalu melakukan pembelajaran sesuai dengan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor sedangkan 4% sisanya menyatakan sering melakukannya. Secara keseluruhan, tingkat respon mahasiswa mencapai 99,43%, yang berarti mahasiswa merespon sangat positif terhadap pelaksanaan proyek penguatan profil mahasiswa Pancasila dengan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor. Kompetensi multikultural dan karakter keragaman global pada siswa yang mendapatkan pembelajaran menggunakan modul proyek membuat makanan tradisional Bogor lebih baik daripada siswa yang hanya mendapatkan pembelajaran dengan proyek pembuatan kerupuk camilan ubi jalar yang bersumber dari PMM. Hal ini terjadi karena didukung oleh proses pembelajaran yang sangat baik serta keterlibatan nilai-nilai budaya siswa yang diangkat menjadi pembelajaran sehingga siswa belajar untuk aktif memahami pembelajaran. Hal ini juga didukung oleh data dari observasi dalam proses pembelajaran, siswa terlihat aktif dan bahagia dalam proses pembelajaran. Hasil jurnal mahasiswa juga mengatakan demikian. Jadi dengan kata lain, pelaksanaan pembelajaran menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor dalam proyek penguatan profil siswa Pancasila dengan tema kearifan lokal dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kompetensi multikultural dan karakter keberagaman global pada siswa kelas IV.
Simpulan
Pendidikan yang mengendepankan kompetensi multikultural ialah inisiatif strategis yang bertujuan untuk membina interaksi yang harmonis, khususnya, ini mencakup upaya pedagogis yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman, sikap, kesadaran, dan perilaku peserta didik dalam kaitannya dengan beragam budaya, masyarakat, dan keyakinan agama [19]. Modul proyek P5 menggabungkan strategi pembelajaran yang berbeda untuk memenuhi minat dan tingkat kesiapan siswa yang bervariasi, memastikan hasil pembelajaran yang efektif [21] . Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap implementasi proyek penguatan profil mahasiswa Pancasila dengan menggunakan modul proyek pembuatan makanan tradisional Bogor dengan tema kearifan lokal, beberapa temuan utama diamati. Pertama, implementasi penggunaan modul untuk membuat makanan tradisional Bogor dilakukan secara efektif, dengan kepatuhan 100% terhadap proses pengajaran, yang dibuktikan dengan data observasi yang menunjukkan keterlibatan mahasiswa yang kuat dan keberhasilan integrasi budaya siswa ke dalam bahan ajar, kegiatan pembelajaran, dan penilaian. Kedua, kompetensi multikultural siswa meningkat secara signifikan pada kelompok eksperimen, dengan skor n-gain 0,743, menunjukkan tingkat kemajuan yang tinggi. Sikap positif terhadap keragaman adalah indikator kompetensi multikultural yang menunjukkan peningkatan terbesar. Ketiga, karakter keragaman global siswa juga meningkat, dengan kelas eksperimental mengungguli kelas kontrol sebesar 7,50%, terutama dalam elemen refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman keragaman, yang mencapai tingkat keberhasilan 97,50%. Selain itu, tanggapan siswa terhadap pendekatan ini sangat positif, seperti yang tercermin dalam hasil kuesioner, di mana 96% siswa menanggapi dengan sangat baik dan 4% merespons dengan baik. Buku harian siswa juga mengungkapkan sentimen positif, menyoroti kenikmatan, kenyamanan, dan keterlibatan budaya mereka. Sesuai dengan penelitian yang terdahulu menyatakan bahwa modul proyek yang selaras dengan tahap perkembangan siswa dan dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa [23]. Namun, penelitian ini terbatas pada satu konteks dan kelompok usia tertentu, yang dapat membatasi generalisasi. Penelitian di masa depan harus mengeksplorasi efek jangka panjang dari implementasi proyek penguatan profil siswa Pancasila dengan tema kearifan lokal di sekolah, dan mempertimbangkan sampel yang lebih beragam untuk lebih memahami penerapannya yang lebih luas.
References
- A. M. Martínez-Sánchez, R. Esteban Moreno, and M. Pabón Carrasco, “Análisis de las actitudes hacia el hecho multicultural en una muestra de estudiantes españoles de Magisterio,” REIFOP, vol. 25, no. 1, pp. 19–34, Jan. 2022, doi: 10.6018/reifop.496431.
- C. Astarita, “The Impact of International Education and Cultural Empowerment in the Global Job Market: A Case Based on the Experience of Chinese Students in France,” J. Chin. Overseas, vol. 19, no. 2, pp. 269–294, Oct. 2023, doi: 10.1163/17932548-12341491.
- Ganesha University of Education, I. G. A. N. K. Sukiastini, I. G. P. Suharta, Ganesha University of Education, I. W. Lasmawan, and Ganesha University of Education, “Analysis of the Independent Curriculum from the Perspective of the School of Education Philosophy and the Philosophy of Ki Hajar Dewantara,” PoS, vol. 10, no. 5, pp. 3085–3093, May 2024, doi: 10.22178/pos.104-31.
- X. Gou and Manly, “How to Deal with the Cultural Differences of Students in the Process of Art Education and Teaching,” JEER, vol. 8, no. 2, pp. 231–233, May 2024, doi: 10.54097/5hs1dp84.
- Anindito Aditomo, Panduan Pengembangan Profil Pelajar Pancasila. Jakarta, Indonesia: Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2022. [Online]. Available: https://kurikulum.kemdikbud.go.id/file/1679308669_manage_file.pdf
- J. B. Antecristo and R. Gallardo, “Multicultural Education and Cultural Competence Development of Grade 6 Learners,” International Journal of Innovative Science and Research Technology (IJISRT), pp. 751–754, Sep. 2024, doi: 10.38124/ijisrt/IJISRT24SEP145.
- L. Baowen, “The concept of student ethnocultural competence,” Educological discourse, vol. 38–39, no. 3–4, pp. 93–106, 2022, doi: 10.28925/2312-5829.2022.346.
- N. S. Lestari and C. Christina, “Doclang, Makanan Tradisional Yang Mulai Tersisihkan,” Khasanah Ilmu, vol. 9, no. 2, Nov. 2018, doi: 10.31294/khi.v9i2.5224.
- V. R. Z. Adani and D. Gusnadi, “Inovasi Klappertart Berbasis Talas,” jiip, vol. 6, no. 11, pp. 8709–8717, Nov. 2023, doi: 10.54371/jiip.v6i11.2702.
- B. R. Das, M. J. Bhuyan, and N. Deka, “Exploring cultural ecologies of the Karbi Tribe in Assam, India, through traditional ecological knowledge and skills (TEKS),” Asian Ethnicity, pp. 1–24, Nov. 2024, doi: 10.1080/14631369.2024.2433599.
- M. T. Atoillah and F. Ferianto, “Pendidikan Multikultural Melalui Pendidikan Agama Islam Dalam Pembentukan Karakter Kebangsaan Siswa SMP N 1 Pangkalan,” Jurnal Pendidikan, vol. 32, no. 1, pp. 113–120, 2023.
- Y. Chu, “Multicultural Curriculum,” in Multicultural Curriculum, Routledge, 2022. doi: 10.4324/9781138609877-REE16-1.
- L. Fatmawati, K. Prama Dewi, and W. Wuryandani, “Multicultural Competence of Elementary Teacher Education Students,” International j.of Elementary Education, vol. 7, no. 4, pp. 721–730, Dec. 2023, doi: 10.23887/ijee.v7i4.62880.
- M. Zahary, H. Bharata, and S. Sutiarso, “Pengembangan LKPD menggunakan pendekatan multikultural untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika dan sikap sosial siswa,” Jurnal Pendidikan Matematika Unila, vol. 5, no. 05, pp. 1–11, 2017.
- J. Penman et al., “Empowering International Students to Succeed: An Innovative and Beneficial Initiative for Health Professions,” jis, vol. 11, no. 4, Mar. 2021, doi: 10.32674/jis.v11i4.2226.
- Department of Public Health, Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University, Jakarta, Indonesia. et al., “Water, Sanitation, and Hygiene in Indonesia School: Facilities and Infrastructure Availability,” JRH, vol. 14, no. 03, pp. 291–296, May 2024, doi: 10.32598/JRH.14.3.2255.2.
- Pedagogy and Organizational Culture in Nursery Schools, Delhi University, New Delhi, India. and Dr. R. Kapur, “Recognition of Organizational Culture: Vital in Achievement of Organizational Goals,” IJMH, vol. 10, no. 3, pp. 29–34, Nov. 2023, doi: 10.35940/ijmh.L1740.10031123.
- V. Maharramova, “CHARACTERİSTİC FEATURES OF İNTERCULTURAL COMMUNİCATİON,” SJPU, vol. 54, no. 5, pp. 56–60, Dec. 2022, doi: 10.23856/5407.
- C. Pagani, “Experiencing Diversity: Complexity, Education, and Peace Construction,” in Children and Peace, N. Balvin and D. J. Christie, Eds., in Peace Psychology Book Series. , Cham: Springer International Publishing, 2020, pp. 257–270. doi: 10.1007/978-3-030-22176-8_16.
- E. Shypulski, A. H. M. Scheffert, S. Smart, M. Kirk, and T. Kruger, “Justice Views in Social Work Project: Examining Views on Race and Justice,” Journal of Teaching in Social Work, vol. 44, no. 2, pp. 224–241, Mar. 2024, doi: 10.1080/08841233.2024.2316355.
- R. Y. Tyaningsih, Baidowi, S. Azmi, and U. Lu’luilmaknun, “Pengembangan E-Modul Berbasis Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebagai Sumber Belajar Berdiferensiasi untuk Matematika SMP,” JM, vol. 6, no. 1, pp. 304–314, Jun. 2024, doi: 10.29303/jm.v6i1.7262.