Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.9.2024.10414

Addressing Vocational High School Unemployment Through Talent Mapping and Policy Reform


Mengatasi Pengangguran di Sekolah Menengah Kejuruan Melalui Pemetaan Bakat dan Reformasi Kebijakan

Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia
Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia
Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia
Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Vocational Education Vocational High School Training Challenge SMK Unemployment

Abstract

General Background: Vocational education in Indonesia, especially through Vocational High Schools (SMK), aims to prepare students for the workforce but paradoxically has the highest unemployment rate among educational levels (9.01% in 2024). Knowledge Gap: Limited research examines the systemic issues at micro, meso, and macro levels that hinder SMK effectiveness. Aims: This study critically evaluates these issues, including curriculum relevance, infrastructure, and policy alignment. Results: Key problems include inadequate facilities, outdated curricula, limited industry collaboration, decentralization challenges, and a utilitarian policy focus prioritizing market needs over holistic student development. Novelty: The study proposes integrating talent mapping into SMK programs to align students' potential with educational pathways, enhancing relevance and adaptability. Implications: Prioritizing individual development over short-term market demands can reduce unemployment and produce graduates with broader competencies for a dynamic workforce.

Highlights:

  • High Unemployment Rate: SMK graduates face the highest unemployment in Indonesia, reflecting systemic inefficiencies.
  • Policy Misalignment: A utilitarian focus prioritizes market demands over holistic student development, leading to mismatches.
  • Proposed Solution: Talent mapping and competency-based approaches can align student potential with workforce needs.

Keywords: Vocational Education, Vocational High School, Training Challenge, SMK Unemployment

Pendahuluan

Pendidikan vokasi adalah pendidikan menengah yang menyiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dan/atau berwirausaha dalam bidang tertentu [1], [2]. Selain itu pendidikan vokasi juga merupakan pendidikan tinggi yang menyiapkan mahasiswa untuk bekerja dan/ atau berwirausaha dengan keahlian terapan tertentu [3], [4]. Demikian dikatakan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Pada pasal 9 aturan tersebut dijelaskan juga bahwa pendidikan vokasi meliputi: pendidikan kejuruan; dan pendidikan tinggi vokasi. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu perwujudan aturan tersebut pada jenjang Pendidikan menangah [5].

Artinya jika seorang anak memilih masuk SMK, tentu setelah dilatih berbagai keahlian kerja khusus, setelah lulus dia berharap dapat langsung bekerja. Keberadaan SMK ini membedakan dirinya dari sekolah pada level yang sama yakni Sekolah Menengah Umum (SMU), yang dirancang untuk melanjutkan perjalanan akademisnya pada jenjang yang lebih tinggi, misal universitas. Kata Kejuruan yang menempel pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah kata yang dianggap sepadan dengan istilah vokasi, Sehingga SMK bisa dianggap bagian dari sistem pendidikan vokasi pada tingkat menengah [6].

Istilah Pendidikan vokasi merujuk pada pendidikan yang fokus pada pengembangan keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar kerja [7]. Pendidikan vokasi berperan dalam memberikan keterampilan, pengetahuan, dan persiapan yang diperlukan untuk memasuki berbagai sektor industri, serta dalam mempersiapkan individu untuk menjadi anggota yang produktif dalam masyarakat global [8]. Secara linguistik, vokasi berasal dari kata vocation yang artinya pekerjaan. Makna ini dapat ditentukan dalam pengertian profesional. Pendidikan vokasi atau vokasi juga berasal dari bahasa Inggris, yaitu vocational, mungkin setara dengan kata kerja “juru” [9]. Kata "juru" dalam bahasa Indonesia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan, kecakapan dan kecermatan (keterampilan). Sementara kata professional menurut KBBI dimaknai sebagai bersangkutan dengan profesi; memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: atau mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya [10]. Berdasarkan terminologi ini, vocation dan vocational memiliki arti yang sama yaitu adalah pendidikan untuk menghasilkan “tenaga ahli” tertentu yang mampu melaksanakan pekerjaan tertentu secara profesional. Kita sering menyebutnya dengan istilah pendidikan kejuruan. Meski demikian, istilah lain yang digunakan dalam merujuk pada itu termasuk pendidikan dan pelatihan kejuruan, pendidikan teknologi dan kejuruan, pendidikan dan pelatihan teknis, dan lain-lain [7].

Sayangnya keterampilan yang didapatkan dari pendidikan vokasi khususnya SMK yang diharapkan bisa segera tersalurkan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai justru tak sesuai kenyataan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia selalu menempati urutan tertinggi dari tahun ke tahun. Misalnya teranyar pada tahun 2024 dimana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK mencapai angka 9,01%. Padahal pada tahun yang sama TPT untuk lulusan SMA hanya 7,05%, sedangkan diploma I/II/III hanya 4,83%, diploma IV,S1,S2,S3 hanya 4,83%, lulusan SMP hanya menyumbang 4,83%, bahkan lulusan SD ke bawah hanya menyumbang 2,32%. BPS bahkan mencatat kontribusi SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar bersifat konsisten dan terus menerus sekurangnya dalam 6 tahun terakhir. Tercatat TPT sumbangan alumni SMK tersebut pernah mencapai angka 10,36% pada tahun 2019, kemudian 13,55% pada tahun 2020, lalu 11,13% pada tahun 2021, kemudian 9,42% pada tahun 2022, lalu 9,31% pada tahun 2023, dan teranyar mencapai 9,01% pada tahun 2024 [11].

Metode

Penelitian ini menggunakan metode literatur review. dimana memberi gambaran penelitian yang telah dilakukan pada topik tertentu, memberi informasi apa yang sudah dan belum dipelajari, serta bisa melanjutkan penelitian lebih lanjut tentang topik tersebut [12]. Penelitian ini bertujuan memberikan telaah kritis terhadap Perpres 68/2022 yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja pada tempat yang lebih utama ketimbang upaya peningkatan kompetensi siswa itu sendiri. Pengambilan data penelitian ini melalui jurnal, tugas akhir, dokumen peraturan terkait, dan buku tentang Kompetensi lulusan pendidikan vokasi yang relevan dengan penelitian ini. Sistem pelaksanaan metode literatur review diantara nya: menentukan topik penelitian, mencari sumber pustka, pemilihan pustaka yang relevan, analisa artikel, dan penyusunan laporan literatur review.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data BPS sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka secara faktual terbukti bahwa lulusan SMK merupakan kontributor pengangguran tertinggi di Indonesia, hal itu bahkan berulang dan bertahan selama bertahun-tahun. Hal tersebut tentu mencerminkan sebuah masalah yang sangat serius bagi masa depan pendidikan SMK kita. Dari berbagai permasalahan tentang SMK kita, dalam tulisan ini akan dibagai pembahasannya dalam tida bagian masalah, yakni masalah pada tingkat mikro, meso, dan makro,

a. Permasalahan SMK di Tingkat mikro

Situasi lulusan SMK yang tidak terserap oleh dunia industri tersebut sesungguhnya hanya merupakan puncak gunung es saja. Sejatinya terdapat sejumlah permasalahan yang lebih besar dan mendalam yang turut serta mendukung keadaan di atas. Sejumlah faktor memang patut diduga menjadi kendala dalam penyelenggaraan pendidikan SMK, sehingga memberi andil terhadap ketidakterserapan alumninya. Pada Tingkat mikro kendala tersebut diantaranya, pertama tampak pada minimnya ketersediaan fasilitas. Banyak SMK yang masih kekurangan fasilitas dan peralatan yang memadai untuk mendukung praktik keterampilan siswanya [13]. Laboratorium, bengkel, dan alat praktik sering kali tidak sesuai dengan standar industri. Sehingga lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan industry yang lebih maju. Kedua, minimnya pelatihan guru. Guru-guru di SMK membutuhkan pelatihan khusus untuk menguasai keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan industri [14]. Namun sayangnya pelatihan dan pengembangan profesional sering kali kurang memadai. Akibatnya para siswa tidak mendapatkan pengajaran dari guru-guru yang kompeten. Hal ini juga berkontribusi langsung terhadap kualitas lulusan SMK.

Ketiga, pelaksaan kurikulum Pendidikan yang tidak relevan dengan tantangan jaman. Kurikulum di SMK harus terus diperbarui agar sesuai dengan perkembangan industri dan teknologi. Kurikulum yang tidak relevan akan mengakibatkan lulusan SMK tidak siap menghadapi tuntutan pasar kerja. Keempat, minimnya kerjasama sekolahan dengan industri. Kerjasama antara SMK dan industri tentu sangat penting untuk memastikan relevansi kurikulum dan memberikan pengalaman kerja kepada siswa. Sayangnya, kolaborasi ini sering kali masih rendah nilainya. Bahkan mungkin banyak sekolah yang masih gagap dalam membangun kerjasama semacam ini. Akibatnya lulusan SMK tersebut tidak memiliki referensi yang memadai dengan perkembangan industry terkini.

Kelima, adanya keterbatasan anggaran. Ketidakmahiran manajemen dalam mengelola keuangan sekolah bisa menyebabkan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh sekolah [15]. Kemampuan pendanaan yang terbatas sering kali menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di SMK. Dana yang tidak memadai membatasi kemampuan sekolah untuk menyediakan fasilitas, memberikan pelatihan, menyediakan program-program pendudkung, bahkan melakukan riset pengembangan. Keenam adanya stigma sosial yang bersifat negatif terhadap SMK. Lulusan SMK seringkali dianggap kurang berharga dibanding lulusanSMA/SMU atau bahkan perguruan tinggi. Hal ini tentu mempengaruhi kualitas rekrutmen siswa SMK dan motivasi belajar siswa, serta daya dukung masyarakat terhadap pengembangan pendidikan SMK.

b. Permasalahan SMK di Tingkat Meso

Sedangkan ditingkat meso, pendidikan SMK menghadapi tantangan dari pemerintahan daerah dan dunia kerja di sekitarnya. Pemerintah daerah (Pemda) memainkan peran yang cukup penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan SMK, namun terkadang dia harus menghadapi tantangan dalam penerapannya. Pertama, tantangan keterbatasan anggaran. Pemda sering kali menghadapi masalah klasik minimnya anggaran yang membatasi kemampuan mereka untuk memberikan fasilitas dan sumber daya yang memadai untuk SMK. Tentu saja situasi ini tergantung dari good will pejabat yang berkuasa. Jika dia memandang pendidikan SMK sebagai hal yang penting untuk mendukung pembangunan di wilayahnya, tentu keterbatasan anggaran bisa disiasati dengan tetap memberikan prioritas perhatian yang khusus bagi pendidikan SMK di wilayahnya. Pemerintah bisa tetap mengalokasikan anggaran yang cukup bagi pengembangan pendidikan SMK, dengan mengefisiensikan sejumlah mata anggaran lainnya. Sebaliknya bila atensi pemda terhadap pendidikan SMK rendah, maka dukungan kebijakan anggaran dan dukungan kebijakan lainnya juga secara otomatis terbatas.

Kedua, problem desentralisasi yang tidak optimal. Meskipun melalui kebijakan desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan, hasilnya sampai saat ini dirasa belum sepenuhnya sesuai harapan [16]. Beberapa daerah bahkan tampak kurang siap untuk mengelola pendidikan menengah secara efektif. Dalam hal ini tentu saja bisa mempengaruhi performa SMK yang ada di wilayah tersebut. Ketiga, kurangnya sosialisasi peraturan dan minimnya pelatihan. Pemerintah pusat dan daerah perlu lebih aktif dalam menyosialisasi peraturan yang menyangkut pendidikan vokasi, sehingga pemahaman yang baik, memungkinkan pihak sekolah dan pemangku kepentingan lain bisa berpartisipasi dan mengambil peran maksimal. Pemerintah daerah juga perlu memberikan pelatihan kepada pihak-pihak terkait, misalnya tentang manajemen pendidikan kejuruan yang profesional kepada pihak sekolah untuk memastikan implementasi gagasan yang dimandatkan kepada SMK bisa berjalan secara efektif. Keempat, kurangnya keterlibatan komunitas lokal. Pemda kadang-kadang kurang mampu membangun sinergi dengan komunitas lokal, industri, dan masyarakat untuk mendukung pendidikan SMK. Bahkan Pemda terkadang tidak melakukan pemetaan potensi wilayah dengan baik. Pada akhirnya gagal memberikan peran maksimal kepada ekosistem Pendidikan SMK yang ada di sekitarnya. Kelima, adanya peraturan yang tidak sesuai. Akibat pemetaan masalah dan potensi yang tidak tepat, Pemda bisa salah dalam membuat peraturan yang mungkin dimaksudkan untuk mendukung pendidikan SMK di wilayahnya. Sehingga beberapa peraturan yang diterapkan mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal, bahkan dapat menghambat efektivitas program pendidikan.

c. Permasalahan SMK di Tingkat Makro

Pemerintah selaku pemangku kebijakan, menghadapi problem akut yang paradigmatik. Pemerintah memandang bahwa pendidikan SMK atau vokasi secara umum sebagai bagian dari pelayanan bagi dunia industri (kapitalisme). Konsekuensinya adalah pemilihan jurusan di SMK mengekor dan menyesuaikan dengan tren industri yang berkembang saat itu. Padahal dunia industri adalah dunia yang dinamis, yang bekerja berdasarkan asumsi pasar. Jika pasar menghendaki produk baru, maka dunia industri dipaksa segera menyediakan, sekolah harus segera melayani. Problemnya, sekolah akan terseok-seok menyesuaikan desain pelajarannya dengan kebutuhan industri yang dinamis tersebut. Hal ini menyebabkan, produk lulusan SMK seringkali tidak memiliki kompetensi yang cukup relevan bagi dunia industri. Akibatnya terjadilah mismatch, atau ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan pasar kerja.

Dalam memperlakukan dunia pendidikan SMK pemerintah terlalu tenggelam dalam pandangan filsafat utilitarianisme. Secara terminologi, utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah,dan menguntungkan [17]. Sayangnya pandangan tersebut dalam bidang pendidikan berpijak pada model pendidikan yang mementingkan hasil atau yang dianggap akan menguntungkan bagi sebanyak mungkin orang. Akhirnya dalam konteks pendidikan, utilitarianisme terjebak mendukung kurikulum yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja dan meningkatkan produktivitas ekonomi.

Pandangan utilitarianisme bertentangan dengan pandangan humanisme. Pandangan filsafat humanisme pada dunia pendidikan menekankan pada pengembangan individu secara holistik, termasuk aspek moral, spiritual, dan intelektual. Pendidikan dalam pandangan ini harus membantu individu mencapai potensi penuh mereka, bukan hanya menjadi alat untuk kebutuhan ekonomi. Tanpa mengedepankan manusia sebagi subyek utama pendidikan maka sesungguhnya kita sedang melakukan upaya dehumanisasi. Jumlah kontinuitas pendidikan menghadapi dehumanisasi, gara-gara pengetahuan dan nilai masih dimaknai sebagai sasaran yang dimiliki, dan dikendalikan secara kognitif. Ada keterasingan dan ketimpangan tenggang pengetahuan dan nilai dengan diri manusia, karena kekhasan itu sebabnya manusia menjalani evolusi dehumanisasi. Kenyataan menuntun bahwa pendidikan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya punya interpretasi bahwa anak sebagai individu yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri [18].

Secara regulasi yang langsung mengatur tentang dunia vokasi kita bisa telisik ternyata memang pemerintah terbukti turut melanggengkan situasi tersebut dengan membuat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 68 tahun 2022 yang menempatkan peningkatan kompetensi siswa pada tujuan ke-4 setelah pemenuhan pasar kerja, pengembangan potensi lokal, dan pembangunan sinergi kepentingan. Secara jelas aturan tersebut mengatakan: “Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi dilakukan dengan tujuan: a. meningkatkan akses, mutu, dan relevansi penyelenggaraan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja; b. mendorong pembangunan keunggulan spesilik di masing-masing lembaga Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sesuai potensi daerah dan kebutuhan pasar kerja; c. melakukan penguatan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dunia industri, dunia kerja, dan pemangku kepentingan lainnya dalam meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia tenaga kerja Indonesia; d. membekali sumber daya manusia/ tenaga kerja dengan kompetensi untuk bekerja dan/ atau berwirausaha; dan e. mendorong partisipasi dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi [5].

Dari tujuan Perpres ini tercermin semangat regulasi pemerintah kita bahwa: 1) aturan ini dibuat untuk membangun akses pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi dengan pasar kerja; 2) mendorong keunggulan pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi agar sesuai dengan potensi daerah dan dunia industri; 3) membangun sinergi pemerintah dengan dunia usaha, dunia industri, dunia kerja dan sebagainya; 4) membekali kompetensi bagi SDM untuk bekerja atau berwirausaha; 5) mendorong partisipasi dunia usaha, dunia industri, dunia kerja dalam rangka pendidikan vokasi dan pelatiihan vokasi.

Dari regulasi di atas jelas bahwa pemerintah menempatkan komitmen mengembangkan SDM pada point 4 dari 5 tujuan pembuatan aturan tersebut. Padahal dalam dunia pendidikan seharusnya sumberdaya manusia adalah tujuan utamanya, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita. Aturan tersebut jelas menabrak semangat regulasi yang lebih tinggi tingkatannya.

Pertama, konstitusi kita merumuskan tujuan pendidikan nasional kita untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia. Pembukaan UUD mengatakan tujuan utama dari sistem Pendidikan nasional kita adalah: “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bahkan dipertegas dalam konstitusi tersebut bahwa: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang” [19]. Dengan demikian negara memandang bahwa bahwa keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia merupakan unsur penting dalam pengembangan sumberdaya manusia melalui sebuah sistem pendidikan nasional.

Kedua, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga fokus dalam mengembangkan manusianya. UU ini merumuskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak siswa. Pasal 3 (Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional) dikatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” [20].

Secara tata urutan peraturan perundangan semestinya Perpres 68/2022 yang levelnya berada di bawah UUD dan UU semestinya tidak bertentangan secara prinsipal dengan semangat aturan yang berada di atasnya. Jika aturan di atasnya secara jelas menempatkan pengembangan manusia/ SDM berada pada posisi pertama dalam tujuan pendidikan, maka Perpres tersebut menjadi cacat etika Ketika menempatkan pengembangan kompetensi SDM dalam urutan nomor 4 dari 5 tujuan aturan tersebut dibuat.

Perpres ini juga dinilai lemah tidak memiliki pasal yang mengatur asesmen calon siswa agar memiliki kesesuaian potensi dengan jurusan/keterampilan yang diambil. Padahal asesmen calon siswa tentu sangat diperlukan guna menemukan potensi unik setiap siswa dan kesesuian antara potensi yang dimiliki dan jurusan yang diambilnya. Jika kombinasi antara potensi dan jurusan yang diambil sesuai tentu saja diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mumpuni, kompeten, dan relevan dengan dunia kerja maupun dunia usaha. Ketidaksesuaian antara bakat siswa dengan jurusan yang diambil tentu akan menghambat jalannya pembelajaran, yang pada akhirnya menurunkan kualitas kompetensi siswa.

Ketidaksesuaian bakat dengan jurusan akan berdampak pada siswa berpotensi merugikan perusahaan saat bekerja nanti. Hal ini terjadi karena ketidakkompetenan ini akan menghasilkan produktivitas yang rendah. Studi tentang pengembangan SDM mulai memperhatikan aspek bakat, kompetensi, dan produktivitas kerja bagi karyawan di perusahaan. Tentu saja kualitas tersebut harus dibangun sejak mereka masih belajar di lembaga pendidikan, seperti SMK. Bila bakat didefinisikan ukuran nilai yang menggambarkan keterampilan, kemampuan [21], kekayaan, kelimpahan, bakat, sikap, dan disposisi, maka Joubert menyatakan bahwa bakat adalah kemampuan seseorang untuk menginspirasi dan membangkitkan emosi pada orang lain [22]. Adapun kompetensi dinyatakan oleh Spencer dan Spencer sebagai karakteristik mendasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja efektif atau superior dalam berbagai situasi dan pekerjaan [23]. Secara umum, istilah kompetensi dimaknai sebagai kombinasi keterampilan, karakter personal, dan pengetahuan yang diamati, diukur dan dievaluasi melalui kinerja.

Dengen demikian, maka bakat dan kompetensi memiliki hubungan yang saling terhimpit. Jika peta bakat ditemukan lebih awal di sekolah, maka langkah ini memudahkan sekolah mengolahnya menjadi sebuah kompetensi yang bernilai tinggi, yang akan diburu oleh perusahaan untuk meningkatkan produktivitas usaha mereka. Jika aturan tersebut mencakup masalah ini, dan sekolah menjalankan dengan baik, maka titik temu antara pasar kerja dengan SDM kompetensi tinggi sudah semakin dekat jaraknya. Cara ini sekaligus memotong rantai masalah dimana SMK sebagai penyumbang angka pengangguran tertinggi dalam berbagai Survei Kerja Nasional yang dilaksanakan BPS menjadi SMK sebagai penyumbang efisiensi kerja bagi dunia industri.

Simpulan

Pendidikan SMK yang menggantungkan nasibnya kepada pasar kerja yang dinamis berpotensi menghasilkan lulusan yang terkatung-katung nasibnya, sebab: dunia industri terlalu dinamis untuk diikuti, kurikulum SMK tidak akan mampu mengejar perkembangan industri, dan fasilitas sekolah akan cepat usang sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru. Pengembangan kompetensi siswa akan efektif bila sekolah melakukan asesmen sejak penerimaan siswa baru, sehingga terdapat kesesuaian jurusan yang diambil dengan potensi setiap siswa yang bersifat unik dan beragam. Sekolah perlu membangun peta bakat siswa, dan karir pengembangan bakat tersebut. Kompetensi semestinya dibangun berdasarkan bakat, bukan dipaksakan berdasarkan pesanan industri.

Dengan kondisi tersebut saya menyarankan agar pendidikan vokasi Kembali kepada tujuan utama mengembangkan manusianya sesuai dengan potensi dasar yang dimilikinya secara khas.Pendidikan harus kembali untuk mengembangkan potensi individu secara menyeluruh, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pendidikan yang mengutamakan peningkatan kapasitas siswa berusaha untuk menciptakan individu yang berpikir kritis, kreatif, dan memiliki kemampuan beradaptasi.

Pendidikan vokasi semestinya tidak hanya mencakup keterampilan praktis, tetapi juga aspek-aspek lain seperti keterampilan sosial, emosional, dan intelektual yang tujuannya adalah untuk menciptakan individu yang siap menghadapi berbagai tantangan di dunia yang terus berubah. Meskipun mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk menemukan pekerjaan yang sesuai, lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan yang mengutamakan peningkatan kapasitas siswa cenderung memiliki kesejahteraan jangka panjang yang lebih baik karena memiliki keterampilan yang lebih luas dan beragam, selain keterampilan khususnya sebagai tuntutan pendidikan vokasinya.

Karenaya semestinya Pendidikan vokasi bukan hanya fokus pada sertifikasi, tetapi pada kompetensi nyata. Jika tujuan utama lebih pada sertifikasi daripada kompetensi siswa, maka ada risiko bahwa lulusan tidak benar-benar memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh industri. Sertifikasi tanpa kompetensi yang mendalam dapat menurunkan kualitas tenaga kerja. Jika kompetensi siswa tidak menjadi tujuan utama, maka hasil pendidikan vokasi mungkin semakin tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

References

  1. M. Ridwan, “Pembangunan Sumber Daya Manusia Pada Sekolah Kejuruan Di Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Revolusi Industri 4.0,” Moderasi: Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial, vol. 2, no. 1, pp. 1–10, 2021, doi: 10.24239/moderasi.vol2.iss1.35.
  2. W. Avianti and D. Y. Indah, “Peran Uji Kompetensi Peserta Didik Pada Keahlian Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran (SMKN Linggabuana Kabupaten Purwakarta),” Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Nusantara, vol. 5, no. 1, pp. 68–75, 2023, doi: 10.28926/jppnu.v5i1.177.
  3. R. Intan, “Implementasi Kebijakan Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi Program Diploma III,” Jurnal Pengabdian Vokasi Universitas Diponegoro, vol. 2, no. 4, pp. 218–231, 2022.
  4. D. Prasaja and R. Wikansari, “Users Survey on Industrial Internship Programme to Enhance Polytechnics Output,” in Proceedings of the Indonesian Carrier Conference, 2019, pp. 131–135. [Online]. Available: http://e-journals.unmul.ac.id/index.php/ICCN/article/view/3115.
  5. Presiden Republik Indonesia, “Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022,” Lembaran Negara Republik Indonesia, 2022.
  6. A. Dardiri, “Membangun Citra Pendidikan Kejuruan: Manfaat dan Implikasinya Bagi Perbaikan Kualitas Output dan Outcome,” Innovation of Vocational Technology Education, vol. 8, no. 1, pp. 1–19, 2017, doi: 10.17509/invotec.v8i1.6106.
  7. A. Suparyati and C. Habsya, “Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi untuk Bersaing di Pasar Global,” JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 7, no. 2, pp. 1921–1927, 2024, doi: 10.54371/jiip.v7i2.3288.
  8. R. Rico, R. A. Sukmana, M. Irpan, and M. A. Hayat, “Komunikasi Pendidikan dan Vokasi dalam Meningkatkan Kualitas Pengetahuan Entrepreneurship Peserta Didik Sekolah Menengah Kejuruan,” Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, vol. 6, no. 1, p. 375, 2021, doi: 10.36418/syntax-literate.v6i1.2088.
  9. U. Verawardina and J. Jama, “Philosophy TVET di Era Disrupsi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia,” Jurnal Filsafat Indonesia, vol. 1, no. 3, p. 104, 2019, doi: 10.23887/jfi.v1i3.17156.
  10. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Arti Kata Kamus Besar Bahasa Indonesia,” 2023.
  11. Badan Pusat Statistik (BPS), “Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2024,” Badan Pusat Statistik, vol. 11, no. 84, pp. 1–28, 2024.
  12. A. S. Denney and R. Tewksbury, “How to Write a Literature Review,” Journal of Criminal Justice Education, vol. 24, no. 2, pp. 218–234, 2013, doi: 10.1080/10511253.2012.730617.
  13. H. Nasyithah, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta, Indonesia: Unpublished, 2004.
  14. C. O. Wijaya, D. Yulianti, and H. Herpratiwi, “Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan terhadap Kinerja Guru di Sekolah Menengah Kejuruan,” Akademika, vol. 12, no. 1, pp. 231–237, 2023, doi: 10.34005/akademika.v12i01.2706.
  15. Zahruddin, Z. Arifin, and A. Suhandi, “Implementasi Penyusunan Rencana Anggaran,” Jurnal Pendidikan, no. 1, pp. 1–13, 2018.
  16. Subijanto, “Prinsip-Prinsip dan Efektivitas Desentralisasi Pendidikan Dalam Rangka Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 16, no. 5, pp. 532–549, 2010.
  17. M. H. Widiyastono, “Utilitarianisme dalam Praktik Kehidupan Prososial Manusia,” unpublished, pp. 17–25, 2021.
  18. R. D. H. Worang, T. Jesy, and Pangkey, “Merdeka Belajar dalam Pandangan Pendidikan Humanisme: Analisis Konsep,” Journal of Education, vol. 8, no. 3, pp. 2324–2330, 2024.
  19. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UUD 1945. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Indonesia, 2002.
  20. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), UU Sisdiknas. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Indonesia, 2003.
  21. H. G. Van Dijk, “Human Resource Management: The Right People,” Journal of Public Administration, vol. 43, no. 3, pp. 385–395, 2008.
  22. Y. A. Labola, “Konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi, Bakat dan Ketahanan dalam Organisasi,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, vol. 7, no. 1, pp. 28–35, 2019, doi: 10.26905/jmdk.v7i1.2760.
  23. L. M. Spencer Jr. and S. M. Spencer, "Competence at Work: Models for Superior Performance." New York, NY, USA: John Wiley and Sons, 1993.