Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Neuroscience
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.7268

Exploring Prescription Patterns and Patient Characteristics in Antiepileptic Therapy: A Retrospective Observational Study


Menjelajahi Pola Resep dan Karakteristik Pasien dalam Terapi Antiepilepsi: Studi Observasional Retrospektif

Universitas Ma Chung, Indonesia
Indonesia
Universitas Ma Chung, Indonesia
Indonesia
Universitas Ma Chung, Indonesia
Indonesia

(*) Corresponding Author

Antiepileptic therapy Prescription patterns Patient characteristics Epilepsy management Combination therapy

Abstract

This retrospective observational study aimed to provide an overview of prescribed antiepileptic therapy utilization and patient profiles. Conducted at a Neurology Polyclinic, data from December 2022 to January 2023 were analyzed descriptively. Among 35 eligible patients, the majority were male (68.57%), aged 15-25 years (48.57%), with long-standing epilepsy (54.28%), and absence of recent seizures (54.28%) and comorbidities (62.85%). Monotherapy was employed for 51.43%, while 48.57% received combination therapy. Phenytoin emerged as the most frequently prescribed monotherapy (25.71%), and valproic acid combined with phenytoin was the prominent combination (14.28%). This study highlights the prevalence of phenytoin and valproic acid usage, suggesting the need for further investigation into their efficacy and implications for epilepsy management.

Highlights: 

 
  • Diverse Prescription Patterns: The study reveals a range of antiepileptic therapy prescriptions, with phenytoin and valproic acid being the predominant choices in both single and combination forms.
  • Patient Profiles and Demographics: The analysis focuses on male-dominated respondents aged 15-25 years, emphasizing the importance of understanding patient characteristics for tailored epilepsy management strategies.
  • Implications for Treatment Strategies: The findings underscore the significance of evaluating the efficacy and clinical implications of commonly prescribed antiepileptic drugs, guiding clinicians in optimizing epilepsy treatment regimens.

Keywords: Antiepileptic therapy, Prescription patterns, Patient characteristics, Epilepsy management, Combination therapy.

   

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya serangan kejang akibat kelainan neurologis dengan manifestasi cetusan aktivitas listrik abnormal. Epilepsi lebih banyak terjadi pada negara dengan tingkat pendapat rendah sampai sedang dibandingkan negara maju [1]. Gangguan neuron berlebihan mengakibatkan kejang berkepanjangan yang menjadikan status epileptikus [2]. Kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan saat kondisi tertentu dapat menyebabkan kejang epilepsi. Epilepsi dapat terjadi setidaknya terdapat dua kejang tak beralasan dalam waktu 24 jam terakhir [3]. Frekuensi kejang dalam kejadian epilepsi terjadi dengan sifat yang dinamis namun relapse dapat menurunkan kerja dari fungsi otak penderita epilepsi. Terapi menggunakan obat bertujuan untuk menurunkan frekuensi kejang dalam kurun waktu yang cukup panjang [4].

Penelitian terdahulu menunjukan terapi yang sering digunakan adalah asam valproat, karbamazepin, dan oxkarbazepin. Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan asam valproat dan karbamazepin menjadi kedua obat yang efektif dalam terapi epilepsi [5]. Penelitian lainnya memberikan hasil yang berbeda dimana antiepilepsi yang digunakan adalah klobazam baik tunggal maupun dalam bentuk kombinasi efektif pada kejang fokal, kejang generalisata maupun genetik. Terapi lainnya yang digunakan adalah fenobarbital, dengan hasil respon yang sama baiknya dalam bentuk tunggal dan kombinasi [6]. Pedoman pemberian terapi sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi serta mempertimbangkan karakteristik pasien. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pola penggunaan terapi dengan mengikutsertakan karakteristik responden. Harapannya setelah mengetahui pola penggunaan terapi anti epilepsy dapat memberikan gambaran bagi sarana kesehatan dalam memberikan rekomendasi terapi

METODE

Rancangan penelitian dalam bentuk observasional dengan pendekatan cross sectional study dan pengambilan data retrospektif. Waktu pengambilan data mulai Desember 2022 sampai Januari 2023. Tempat penelitian adalah RSUD DR Saiful Anwar Kota Malang. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien epilepsi poli saraf rawat jalan dengan metode pengambilan sampel melalui teknik purposive. Kriteria inklusi adalah pasien terdiagnosa epilepsi melalui data rekam medis dengan atau tanpa komorbid dan menggunakan terapi minimal enam bulan terakhir. Kriteria eksklusi adalah penggunaan alkohol.

Data yang diperoleh dari rekam medis adalah obat yang diresepkan, jenis kelamin, usia. Data yang diperoleh dari rekam medis dan dikonfirmasi kembali kepada responden saat kontrol di poli saraf rawat jalan adalah lama menderita epilepsi, jumlah serangan dalam 6 bulan terakhir serta riwayat penyakit penyerta. Data tersebut dipinddahkan ke dalam Lembar Pengumpul Data (LPD). Data tersebut dipindahkan dalam form Microsoft excel. Data yang diperoleh diinput, dikelompokkan dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk prosentase. Penggunaan obat antiepilepsi dibagi dalam kelompok tunggal dan kombinasi. Lama menderita epilepsi dibagi ke dalam dua kelompok yaitu < 5 tahun dan 5 tahun. Jumlah bangkitan serangan dalam enam bulan terakhir dibagi menjadi tidak 1-4 kali, 5-10 kali dan > 10 kali. Selanjutnya untuk komorbid dibagi ke dalam dua kelompok yaitu memiliki dan tidak memiliki komorbid. Selanjutnya data karakteristik dianalisis secara statistik terhadap penggunaan obat dengan chisquare untuk melihat pengaruh karakteristik terhadap penggunaan tuggal dan kombinasi. Data dianalisis dengan perangkat lunak R. Penelitian juga telah mendapatkan ijin serta layak etik yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit dengan No 400/264/K.3/102.7/2022.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan selanjutnya bersedia diwawancara adalah 35 responden. Pada tabel 1 disajikan gambaran deskriptif pola penggunaan obat antiepilepsi. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pasien yang mengkonsumsi sediaan tunggal (51,43%) maupun kombinasi (48,57) berada sebanding antara dua kelompok tersebut. Pada sediaan tunggal, terapi yang banyak direkomendasikan adalah fenitoin (25,71%) selanjutnya asam valproat (20%). Selanjutnya dalam bentuk kombinasi dapat dilihat bahwa kombinasi yang banyak digunakan adalah dengan asam valproate baik itu bersama dengan karbamazepin 4 (11,43%), levetirasetam 4 (11,43%) dan fenitoin (14,29%) Epilepsi merupakan penyakit kronis ditandai dengan serangan kejang secara berulang. Pemilihan obat epilepsi bergantung pada diagnosis dan jenis kejang. Terapi epilepsi dimulai dengan pemberian terapi tunggal dan apabila terjadi relapse maka diberikan terapi kombinasi, namun kondisi ini dapat berbeda pada setiap individu misalnya terdapat riwayat kejadian efek samping pada terapi sebelumnya [7].

Obat Antiepilepsi yang Diresepkan Jumlah Total
Tunggal Asam valproatFenitoinKarbamazepin 7 (20,00)9 (25,71)2 (5,71) 18 (51,43)
Kombinasi Asam valproat + karbamazepinFenitoin + LevetirasetamFenitoin + KarbamazepinAsam valproat + Levetirasetam Karbamazepin + LevetirasetamAsam valproate + Fenitoin 4 (11,43)1 (2,86)1 (2,86)4 (11,43)2 (5,71)5 (14,29) 17 (48,57)
Table 1.Pola Penggunaan Obat Antiepilepsi

Selanjutnya pada tabel 2 disajikan hasil pengaruh karakteristik responden terhadap penggunaan obat antiepilepsi. Karakteristik responden yang memengaruhi adalah adanya komorbid yang memengaruhi dalam pemberian terapi, dimana pasien yang memiliki komorbid mendapat terapi dalam bentuk kombinasi (p-value = 0,01). Komorbid yang dialami pasien adalah gangguan mental organic (GMO). Sedangkan karakteristik responden lainnya seperti jenis kelamin, usia, lama menderita epilepsi dan jumlah serangan tidak memengaruhi dalam pemberian terapi tunggal maupun kombinasi.

No Karakteristik Responden Tunggal (n=18) Kombinasi (n=17) p-value *
1 Jenis KelaminLaki-lakiPerempuan 11 (31,43)7 (20,00) 13 (37,14)4 (11,43) 0,328
2 Usia (tahun)15-2526-3536-45>45 6 (17,14)8 (22,86)3 (8,57)1 (2,86) 11 (31,43)3 (8,57)2 (5,71)1 (2,86) 0,270
3 Lama menderita epilepsi (tahun)< 5 5 9 (25,71)9 (25,71) 7 (20,00)10 (28,57) 0,600
4 Jumlah serangan (kali)Tidak ada1-45-10>10 9 (25,71)8 (22,85)0 (0,00)1 (2,85) 10 (28,57)4 (11,43)2 (5,71)1 (2,85) 0,339
5 KomorbidAdaTidak ada 3 (8,57)15 (42,85) 10 (28,57)7 (20,00) 0,010
*uji chi square
Table 2.Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Penggunaan Obat Antiepilepsi

Pembahasan

Merujuk pada hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa terapi tunggal yang diresepkan adalah fenitoin selanjutnya adalah asam valproat. Sediaan tersebut banyak diresepkan karena dapat mengatasi segala jenis kejang pada pasien epilepsi [8]. Berdasarkan mekanisme kerja obat tersebut, diketahui bahwa fenitoin menghambat ion natrium secara selektif area motorik korteks serebral untuk memperpanjang periode refraktori neuronal. Fenitoin juga memberikan efek anti epilepsi dengan mentabilkan fungsi membran otak dan meningkatkan kadar neurotransmitter penghambat serotonin (5-HT) dan asam gamma-aminobutirat (GABA) di otak [9]. Salah satu keuntungan lainnya bahwa obat tersebut memiliki harga yang terjangkau [10], [11]. Penggunaan fenitoin dan asam valproat banyak digunakan karena tujuan terapi kedua obat memiliki kesamaan pola terapi. Mekanisme kerja asam valproat adalah secara aktif dalam menghambat lepas muatan repetitif berfrekuensi tinggi. Efeknya pada kejang parsial adalah memberikan arus natrium. Selanjutnya asam valproat juga bekerja dengan memblokade eksitasi yang diperantarai oleh N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Pada beberapa penelitian lainnya kerja asam valproat juga berefek langsung pada peningkatan GABA. Asam valproat juga memfasilitasi glutamat dekarboksilase (GAD), dengan suatu enzim yang berperan dalam sintesis GABA. Pada konsentrasi yang tinggi asam valproat bekerja untuk menghambat GABA transaminase [12].

Fenitoin dan asam valproat merupakan dua obat untuk terapi epilepsi yang sering digunakan karena memiliki efektivitas terapi yang terbukti. Fenitoin bekerja untuk mengurangi aktivitas listrik yang berlebihan di otak yang menjadi penyebab adanya kejang serta mengurangi pelepasan neurotranstmiter dengan sifat sinergis dari asam valproat adalah meningkatkan aktivitas neurotrasmiter inhibitor GABA dan menghambat pemecahan dari asam-asam amino [13]. Hasil penelitian terdahulu pemberian kombinasi juga lebih efektif dan toleran [14]. Kombinasi lainnya yang juga meningkatkan efektivitas adalah asam valproat dengan karbamazepin [15]. Kombinasi lainnya adalah asam valproat dengan levetirasetam dimana hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa risiko efek samping lebih kecil sehingga banyak direkomendasikan pada pasien bayi dan anak [16], [17].

Komorbid yang menjadi mayoritas adalah gangguan mental organik [18]. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pasien terapi tunggal maupun kombinasi memiliki komorbid yang paling umum yaitu gangguan mental organik karena mayoritas pasien yang tergolong epilepsi dalam penelitian ini adalah pasien dengan usia 15-25 tahun, yang dimana berhubungan dengan kesehatan mental [19]. Gangguan mental organik (GMO) dikenal sebagai gangguan neurokognitif, jenis gangguan mental ini berkaitan erat dengan adanya kerusakan fungsi otak. Gangguan mental organik disebabkan oleh adanya cedera otak sehingga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, mengingat, belajar, berbicara, merencanakan kegiatan, serta melaksanakan tugas sehari-hari. Beberapa etiologi dari gangguan mental organik adalah penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, tumor otak, dan stroke. Gejala GMO bervariasi tergantung pada jenis dan tingkat keparahan. Umumnya, GMO terjadi yaitu kesulitan memori, perubahan suasana hati, hingga sulit membuat keputusan [20]–[22].

Pada penelitian ini juga didapatkan tidak terdapat pengaruh antara usia serta jenis kelamin dengan terapi tunggal maupun kombinasi, namun dipengaruhi oleh mekanisme kerja obat, sehingga keduanya tidak memiliki hubungan [23]. Kemudian berdasarkan lama menderita epilepsi tidak terdapat hubungan antara terapi dengan lama menderita. Hal ini dikarenakan adanya respon individu dalam terapi epilepsi yang berbeda [24]. Hal ini dikarenakan epilepsi menjadi salah satu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang. Selain itu, kekambuhan dari epilepsi yang tidak terdeteksi hingga pasien tersebut terapi jangka tertentu. Faktor lainnya yang memengaruhi dalam kombinasi pada pengobatan yang tidak efektif, namun dalam penelitian ini efektivitas tidak diukur. Efektivitas suatu terapi juga sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien dikarenakan penyakit yang bersifat kronis [25]. Pada penelitian tidak terdapat hubungan antara jumlah serangan epilepsi dengan terapi epilepsi. Jumlah serangan terhadap terapi tunggal maupun kombinasi tidak terdapat hubungan dikarenakan jumlah serangan memiliki jumlah yang tidak menentu sehingga dalam faktor terapi epilepsi yang diberikan belum tentu bisa mengurangi adanya serangan kejang kembali [26]. Jumlah pasien yang mengalami serangan epilepsi tidak ada memiliki jumlah terbanyak. Kejang epilepsi yang tidak ada sebenarnya tidak tepat dikarenakan setiap pasien epilepsi memiliki tipe kejang yang unik. Namun kondisi ini dapat dikenal sebagai “epilepsi non-convulsive” dimana kejang yang terjadi dapat diluar kesadaran dan terjadi kehilangan konsentrasi [27].

SIMPULAN

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi tunggal maupun kombinasi diberikan dengan jumlah proporsi yang sama. Pada sediaan tunggal terapi yang banyak diberikan adalah fenitoin sedangkan pada terapi kombinasi adalah asam valproat kombinasi dengan feniotin atau karbamazepin atau levetirasetam. Selain itu diketahui bahwa pasien dengan komorbid mendapatkan terapi kombinasi

Saran untuk penelitian ini adalah menilai efektivitas terapi dengan melihat gambaran EEG pada pasien epilepsi serta mengikutsertakan kepatuhan obat.

References

  1. E. Beghi, “The Epidemiology of Epilepsy,” Neuroepidemiology, vol. 54, no. 2, pp. 185–191, 2020.
  2. J. J. Falco-Walter, I. E. Scheffer, and R. S. Fisher, “The new definition and classification of seizures and epilepsy,” Epilepsy Res., vol. 139, no. July 2017, pp. 73–79, 2018.
  3. T. A. Milligan, “Epilepsy: A Clinical Overview,” Am. J. Med., vol. 134, no. 7, pp. 840–847, 2021.
  4. K. J. Hamilton, Z. Chen, A. Tomlin, and P. Kwan, “Mortality and morbidity of patients with treated and untreated epilepsy in New Zealand,” Epilepsia, vol. 61, no. 3, pp. 519–527, 2020.
  5. Q. Peng, M. Ma, X. Gu, Y. Hu, and B. Zhou, “Evaluation of Factors Impacting the Efficacy of Single or Combination Therapies of Valproic Acid, Carbamazepine, and Oxcarbazepine: A Longitudinal Observation Study,” Front. Pharmacol., vol. 12, no. May, pp. 1–13, 2021.
  6. N. Li, J. Li, D. Zhao, and W. Lin, “Efficacy of phenobarbital in treating elderly epilepsy patients in rural northeast China: A community-based intervention trial,” Seizure, vol. 89, no. May, pp. 93–98, 2021.
  7. T. Glauser et al., “ILAE treatment guidelines: Evidence-based analysis of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and syndromes,” Epilepsia, vol. 47, no. 7, pp. 1094–1120, 2006.
  8. S. Dey, A. K. Kem, Yatish, and S. Agarwal, “Efficacy and safety of phenytoin versus clobazam as monotherapy for newly diagnosed epileptic patients,” Asian J. Med. Sci., vol. 13, no. 3, pp. 95–100, 2022.
  9. J. Patocka, Q. Wu, E. Nepovimova, and K. Kuca, “Phenytoin – An anti-seizure drug: Overview of its chemistry, pharmacology and toxicology,” Food Chem. Toxicol., vol. 142, no. May, p. 111393, 2020.
  10. Yovita Karina Pandan Putri, Cholis Abrori, and Komang Yunita Wiryaning Putri, “Effectivity of Pyridoxine as Adjuvant Therapy of Phenytoin in Patients with Epilepsy at Soebandi Regional Hospital Jember,” Jember Med. J., vol. 1, no. 1, pp. 29–38, 2022.
  11. B. F. M. Wijnen et al., “A systematic review of economic evaluations of treatments for patients with epilepsy,” Epilepsia, vol. 58, no. 5, pp. 706–726, 2017.
  12. A. Safdar and F. Ismail, “A comprehensive review on pharmacological applications and drug-induced toxicity of valproic acid,” Saudi Pharm. J., vol. 31, no. 2, pp. 265–278, 2023.
  13. L. Piccenna et al., “Management of epilepsy in older adults: A critical review by the ILAE Task Force on Epilepsy in the elderly,” Epilepsia, vol. 64, no. 3, pp. 567–585, 2023.
  14. E. M. Sarhan, M. C. Walker, and C. Selai, “Evidence for Efficacy of Combination of Antiepileptic Drugs in Treatment of Epilepsy,” J. Neurol. Res., vol. 5, no. 6, pp. 267–276, 2015.
  15. I. Kacirova, M. Grundmann, and H. Brozmanova, “Therapeutic monitoring of carbamazepine and its active metabolite during the 1st postnatal month: Influence of drug interactions,” Biomed. Pharmacother., vol. 137, no. February, 2021.
  16. J. Zhao, Y. Sang, Y. Zhang, D. Zhang, J. Chen, and X. Liu, “Efficacy of levetiracetam combined with sodium valproate on pediatric epilepsy and its effect on serum miR-106b in children,” Exp. Ther. Med., pp. 4436–4442, 2019.
  17. M. D. Lyttle et al., “Levetiracetam versus phenytoin for second-line treatment of paediatric convulsive status epilepticus (EcLiPSE): a multicentre, open-label, randomised trial,” Lancet, vol. 393, no. 10186, pp. 2125–2134, 2019.
  18. S. Popkirov et al., “The aetiology of psychogenic non-epileptic seizures: risk factors and comorbidities,” Epileptic Disord., vol. 21, no. 6, pp. 529–547, 2019.
  19. Z. Kuzman, I. Mlinarevic-Polic, I. Aleric, D. Katalinic, A. Vcev, and D. Babic, “Clinical evaluation of psychiatric and behavioral disorders in adolescents with epilepsy: a cross-sectional study,” Nord. J. Psychiatry, vol. 74, no. 5, pp. 352–358, 2020.
  20. C. Croitoru, S. Turliuc, and R. Ioana, “From epilepsy to schizoform organic delusional disorder – a case report of chronic interictal psychosis,” no. October, 2017.
  21. M. B. Wubie, M. N. Alebachew, and A. B. Yigzaw, “Common mental disorders and its determinants among epileptic patients at an outpatient epileptic clinic in Felegehiwot Referral Hospital, Bahirdar, Ethiopia: Cross-sectional study,” Int. J. Ment. Health Syst., vol. 13, no. 1, pp. 1–10, 2019.
  22. P. Spindler, K. Bohlmann, H. B. Straub, P. Vajkoczy, and U. C. Schneider, “Effects of vagus nerve stimulation on symptoms of depression in patients with difficult-to-treat epilepsy,” Seizure, vol. 69, no. April, pp. 77–79, 2019.
  23. J. S. Medel-Matus, S. Orozco-Suárez, and R. G. Escalante, “Factors not considered in the study of drug-resistant epilepsy: Psychiatric comorbidities, age, and gender,” Epilepsia Open, vol. 7, no. S1, pp. S81–S93, 2022.
  24. K. N. Fatmi, D. Roshinta, L. Dewi, and M. In’am Ilmiawan, “The Relation of Duration of Epilepsy, Seizure Frequency and AED Adherence With Cognitive Function in Epilepsy Patients,” J. Nas. Ilmu Kesehat. , vol. 4, no. 2621–6507, p. 52, 2022.
  25. A. Schorner and R. Weissert, “Patients with epileptic seizures and multiple sclerosis in a multiple sclerosis center in Southern Germany between 2003-2015,” Front. Neurol., vol. 10, no. JUN, pp. 1–8, 2019.
  26. A. Beydoun, S. DuPont, D. Zhou, M. Matta, V. Nagire, and L. Lagae, “Current role of carbamazepine and oxcarbazepine in the management of epilepsy,” Seizure, vol. 83, no. September, pp. 251–263, 2020.
  27. A. P. Hamad, T. Ferrari-Marinho, L. O. Caboclo, U. Thomé, and R. M. F. Fernandes, “Nonconvulsive status epilepticus in epileptic encephalopathies in childhood,” Seizure, vol. 80, no. June, pp. 212–220, 2020.