Abstract
Anemia and neonatal jaundice are major contributors to infant mortality. This study investigates the effects of delayed umbilical cord clamping on neonatal hemoglobin levels and jaundice. Using a quasi-experimental posttest-only control design, 101 newborns were sampled and divided into immediate clamping (<3 minutes) and delayed clamping (>3 minutes) groups. Hemoglobin levels were measured within 24 hours, and jaundice was assessed on days 4-7. Results showed that delayed clamping significantly increased hemoglobin levels (P = 0.000) and reduced jaundice incidence (P = 0.010). The findings suggest that delayed clamping improves early infant health outcomes and should be adopted in health facilities.
Highlight:
- Delayed clamping improves hemoglobin, reduces jaundice in newborns.
- Quasi-experimental design compares immediate vs. delayed cord clamping effects.
- Adopting delayed clamping enhances early infant health outcomes.
Keyword: Anemia, neonatal jaundice, delayed cord clamping, hemoglobin levels, infant health
Pendahuluan
Anemia dan ikterus neonatorum merupakan faktor penyumbang kematian bayi. Menunda pemotongan talipusat menambah volume darah, meningkatkan suplai zat besi sebesar 40-50mg/kgBB, sehingga mengurangi defesiensi besi di tahun pertama. Manfaat lain mencegah kerusakan erytrosit dini dan menghindari penumpukan bilirubin. Anemia pada bayi merupakan anemia akibat kekurangan zat besi, akibat defisiensi nutrisi tersering pada anak di Indonesia berkisar 40-45% yang berdampak pada perkembangan otak bayi. Banyak faktor yang berperan terhadap kejadian anemia bayi antara lain: emoglobin rendah, Kekurangan Energi Kronis (KEK), rematur, Berat Lahir Rendah (BBLR), sfiksia dannfeksi.
Ketika talipusat dipotong cepat atau mendadak, secara otomatis sisa aliran darah dari placenta terhenti, sedangkan dalam waktu bersamaan bayi harus bernafas spontan, dalam waktu ini bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan oksigen tambahan. Dapat dipastikan ada sebagian suplai darah segar yang banyak kandungan oksigen, nutrisi, zat besi tidak sampai ke bayi sehingga resiko terjadi asfiksia. Komplikasi terberat adalah iskemik jaringan otak yang sangat berdampak untuk perkembangan otak bayi selanjutnya. Penundaan pemotongan talipusat membantu pernafasan spontan, meningkatkan saturasi oksigen, dan meningkatkan curah jantung pada lima menit pertama setelah lahir [1][2].
Penundaan pemotongan talipusat mempunyai keuntungan transfer darah darplacenta ke bayi dalam meningkatkan cadangan volume darah hingga 30-35% yang berfungsi meningkatkan hemoglobin, kadar oksigen, cadangan besi yang meningkatkan kadar hemoglobin bayi[3][4][5]. Mengurangi angka kejadian anemia zat besi berkurang dari 5,7 % menjadi 0,6% sehingga kejadian anemia neonatus tidak terjadi[6][7]. Keuntungan signifikan pada bayi prematur yaitu meningkatkan sirkulasi transisi, transfer darah, pembentukan volume sel darah merah, menurunkan kebutuhan akan transfusi darah, perdarahan intraventricular, menekan insiden enterocolitis nekrotican [8][9]. Penelitian Anderson (2017) meneliti bahwa penundaan pemotongan talipusat dapat meningkatkan cadangan zat besi sampai usia 4 bulan, perkembangan
Cadangan besi yang rendah menyebabkan darah mengalami hemolisis sehingga pemecahan darah terlalu cepat[10]. Akibat lain dari kekurangan oksigen juga menyebabkan fungsi kapasitas hati menurun sehingga ekskresi bilirubin terhambat, akhirnya bilirubin masuk ke aliran sistem retikuloendotelial dan terjadilah hyperbilirubinemia atau ikterus neonatorum[11]. Ikterus neonatorum terjadi dimana fungsi hati bayi belum sempurna, menyebabkan proses melepaskan toksin atau glukoronidasi bilirubin tidak disekresikan secara maksimal. Organ hati mengalami hipoksia, kekurangan glukosa dan asidosis. Kondisi ini diakibatkan peningkatan produksi bilirubin dan rendahnya ekskresi hepatik yang akan menyebabkan kadar bilirubin inderek dalam darah. Jika kadar bilirubin meningkat secara berlebihan, resiko terjadi Kern ikterus yang berakibat fatal terjadinya bayi tuli, lumpuh otak atau cerebral palsy, paralisis sampai terjadi kematian[12][13] [14] [15].
Standar waktu pemotongan talipusat antar layanan Fasilitas Kesehatan berbeda. WHO merekomendasikan pemotongan talipusat setelah 1 menit. Sedangkan menurut Aliyev (2021) pemotongan talipusat lebih dari 3 menit. Hal ini sejalan dengan penelitian Brucner (2021) pemotongan talipusat lebih dari 3 menit[16][2].
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI 2012, AKN sebesar 19/1000 KH, dan AKB sebesar 22/1000 KH, artinya Indonesia sudah mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) sebesar 23/1000 KH. Indonesia AKB tergolong tinggi dibandingkan negara ASEAN. Singapura AKB 3/1000 KH, Brunei Darussalam AKB 8/1000 KH, dan Malaysia mencapai 10/1000 KH[13]. Dengan data ini Indonesia mempunyai target melanjutkan program Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030. Target harapan AKB turun sebesar 12/1000 KH. Penurunan AKN menjadi perhatian karena kematian neonatal menyumbang 59% dari kematian bayi. Kematian bayi yang utama di Indonesia disebabkan karena BBLR 26%, ikterus 9%, hipoglikemia 0,8% dan infeksi neonatorum 1,8%[13]
Menurut Profil Kesehatan Kota Surabaya tahun 2019, dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan dari 6,48/1000 KH di tahun 2015 menjadi 5,01/1000 KH di tahun 2019. Sedangkan Angka Kematian Balita tahun 2015 sebesar 7,56/1000 KH turun menjadi 5,93/1000 KH di tahun 2019. Cakupan tatalaksana neonatal komplikasi di Surabaya tahun 2018 yaitu 92,97% meningkat sebesar 93,31%, di tahun 2019[17]. Walaupun secara tren Surabaya mengalami penurunan angka kematian bayi, Pemerintah Kota Surabaya tetap berupaya dalam menyongsong SDGs dimana menurunkan angka kematian bayi menjadi pilar utama.
Pemerintah Kota Surabaya komitmen melibatkan lintas program dan lintas sektor. Pelayanan persalinan dan tatalaksana kasus kegawatdaruratan maternal menjadi isu layanan kesehatan. Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani merupakan neonatus komplikasi yang mendapat pelayanan cepat tepat oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan kesehatan. Untuk itu menunda pemotongan talipusat merupakan salah satu upaya untuk membantu upaya menurunkan angka kematian bayi yang diakibatkan karena anemia dan ikterus neonatorum[13]
Angka kejadian ikterus tahun 2018 di RSUD Dr Sutomo Surabaya berkisar 395 kasus[17]. Tahun 2020 di Praktek Mandiri Bidan Afah total persalinan sebanyak 1725, dengan kejadian ikterus sebanyak 138, sekitar 8%, dirujuk 27 bayi untuk mendapatkan fototerapi. Tahun 2021 total persalinan 1603, kejadian ikterus sebanyak 96 bayi, dirujuk 6 bayi untuk fototerapi. Tahun 2020 total persalinan 77 di Puskesmas Wiyung, kejadian ikterus sebanyak 4, sekitar 6 % , 3 bayi dirujuk mendapatkan fototerapi. Tahun 2021 persalinan 49, kejadian ikterus sebanyak 5sekitar 11%, dirujuk sebanyak 3 bayi untuk mendapatkan fototerapiPraktek pemotongan talipusat antar layanan kesehatan rumah sakit atau faskes bervariasi tidak ada batasan waktu yang sama dalam pemotongan talipusat. Sejalan dengan beberapa penelitian waktu pemotongan talipusat yang berbeda, Peneliti tertarik untuk mengambil penelitian tentang Pengaruh waktu pemotongan talipusat terhadap adar hemoglobin dan ikterus neonatorum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap kadar hemoglobin bayi dan kejadian ikterus neonatorum
Metode
Metode penelitian Quasi Experimental dengan Posttest-only control design. Populasi dalam penelitian ini seluruh bayi lahr di Praktek Mandiri Bidan Afah dan Puskesmas Wiyung Surabaya dengan kriteria inklusi berat lahir 2500-4000gr, aterm, hamil tunggal, pervaginam, apgar skor ≥ 7 dan ibu bersedia dalam penelitian, bayi kontrol hari ke 4-7. Sampel penelitian secara consecutive sampling berjumlah 101 bayi. Terbagi 2 kelompok, pemotongan talipusat segera < 3 menit sebanyak 50 bayi. Kelompok kedua pemotongan talipusat tertunda > 3 menit sebanyak 51 bayi. Pengambilan data dilakukan bulan Oktober - Desember 2022.
Instrumen penelitian menggunakan HBmeter dan standar ramer. Pemeriksaan kadar HB dilakukan pada 24 jam pertama dengan menggunakan Hbmeter. Sedangkan Ikterus diobservasi pada hari ke 4-7 hari dengan standar Kramer.
Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling, sebelumnya ibu diberikan inform consent, dan diberi informasi tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya dilakukan tindakan pemotongan talipusat segera ( Puskesmas Wiyung) dan pemotongan talipusat tertunda(Praktek Bidan Afah) dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan pengamatan klinis tanda ikterus dengan standar kramer. Data ditulis di lembar observasi, direkap dan ditabulasi kemudian diolah dengan SPSS. Data ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis masing-masing variabel. Analisis data dilakukan dengan uji independentT-testdengan menggunakan tingkat kemaknaan α < 0,05.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Praktek Mandiri Bidan Afah dan Puskesmas Wiyung Surabaya, untuk mengetahui pengaruh waktu pemotongan tali pusat dengan kadar hemoglobin dan ikterus neonatorum. maka hasil disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: data umum karakteristik responden meliputi usia, pendidikan, paritas dan kadar hemoglobin ibu sedangkan data khusus meliputi waktu pemotongan tali pusat, kadar hemoglobin
Karakteristik | Kelompok Pemotongan Tali Pusat Tertunda (n=51) | Kelompok Pemotongan Tali Pusat Segera (n=50) | ||
n | % | n | % | |
Usia | ||||
Tidak Berisiko | 39 | 76.5 | 43 | 86 |
Berisiko | 12 | 23.5 | 7 | 14 |
Pendidikan | ||||
Rendah | 28 | 54.9 | 20 | 40 |
Menengah | 20 | 39.2 | 27 | 54 |
Tinggi | 3 | 5.9 | 3 | 6 |
Paritas | ||||
Primipara | 22 | 43.1 | 24 | 48 |
Multipara | 29 | 56.9 | 26 | 52 |
Hemoglobin | ||||
Rendah | 18 | 35.3 | 22 | 44 |
Normal | 32 | 62.7 | 26 | 52 |
Tinggi | 1 | 2 | 2 | 4 |
Tabel 1. Menunjukkan karakteristik responden, sebagian besar berusia tidak bersiko, paritas multi gravida dan hemoglobin ibu normal baik pemotongan talipusat tertunda maupun tidak, Sedangkan pendidikan ibu sebagian besar rendah pada pemotongan talipusat tertunda dan sebagian besar pendidikan menengah pada pemotongan tali pusat segera.
Kelompok | Mean + SD | Nilai Min-Max | ρ |
Pemotongan Tali Pusat Tertunda | 21.51+1.28 | 17,9 – 23.9 | 0.00 |
Pemotongan Tali Pusat Segera | 18.08+ 2.07 | 12.5 – 22,4 |
Tabel 2. Menunjukkan bahwa rerata kadar hemoglobin bayi lebih tinggi pada pemotongan tali pusat tertunda dari pada pemotongan tali pusat segera. Hasil Uji independent T-test didapatkan hasil P value = 0.00 < 𝛼 0,05 artinya terdapat pengaruh waktu pemotongan tali pusat dengan kadar haemoglobin bayi. Hal ini disebabkan ada sebagian sisa darah ibu yang masuk ke bayi lewat aliran darah talipusat beberapa menit setelah lahir, volume darah bertambah sehingga oksigenasi ke bayi meningkat, menurunkan kejadian asfiksia, dan meningkatkan kadar hemoglobin bayi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian M. Bruckner (2021) bahwa pemotongan talipusat tertunda akan memperbaiki sistem hemodinamiksaturasi oksigen arteri perifer, denyut jantung, curah jantung meningkat sehingga oksigenasi serebral bayi tercukupi[1]. Pemotongan tali pusat tertunda ini sangat bermanfaat terutama pada bayi prematur dikarenakan bayi prematur kemampuan paru-paru belum optimal, maka jika ada sisa darah atau volume darah bayi bertambah secara otomatis paru akan berkembang dengan sempurna dan bayi bisa menangis spontan. Neonatus yang sehat mendapat manfaat dari masa transisi fisiologis, respirasi plasenta ke paru akan lebih baik. Sejalan dengan penelitian Hutchon, (2021) bahwa sebagian besar organisasi dunia WHO (World Health Organization) ACOG(American College of Obstetrician and Gynecologists, FIGO( International Federation Gynecologys and Obsterics) ILCOR(International Liason Comitte and Resusitation) merekomendasikan penundaan pemotongan tali pusat sampai 180 detik dikarenakan pemotongan tali pusat tidak terbatas hanya mencegah terjadinya anemia dan ikterus justru yang lebih penting pemotongan talipusat tertunda bisa mengurangi tindakan resusitasi untuk bayi[4].
Selain itu kadar hemoglobin ibu yang normal > 11gr/dl mempengaruhi kadar hemogobin bayi. Hal ini sejalan dengan penelitian Wahtini (2019), bahwa hemoglobin ibu yang rendah secara otomatis akan mempengaruhi kadar hemoglobin bayi. Suplai oksigen dan nutrisi ke bayi berkurang sehingga bayi dalam keadaan fetal distress dalam jangka waktu lama. Kekurangan oksigen dalam jangka waktu lama akan mempengaruhi sel darah merah pecah sebelum waktunya. Bilirubin dibentuk dalam sistem retikuloendotelial yang merupakan produk akhir katabolisme heme dan dibentuk melalui proses oksidasi reduksi, berkisar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin[18][19]. Produksi bilirubin meningkat disebabkan karena peningkatan kerusakan erytrosit. Dimana umur erytrosit janin lebih pendek daripada umur erytrosit neonatus. Begitu besar pentingnya kadar hemoglobin untuk pertumbuhan bayi selama dalam kandungan, sehingga resiko terjadi gangguan pertumbuhan janin sangat dipengaruhi oleh hemoglobin ibu. Anemia ibu menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi, lahir prematur, berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan bayi (IUGR) sampai kematian bayi dalam kandungan (IUFD)[20].
Kelompok | Mean + SD | Nilai Min-Max | ρ |
Pemotongan Tali Pusat Tertunda | 1.06+0.49 | 1 - 2 | 0.000 |
Pemotongan Tali Pusat Segera | 1.26+ 0.24 | 1 - 3 |
Tabel 3. Menunjukkan bahwa rerata ikterus neonatorum dengan derajat kramer lebih rendah pada pemotongan talipusat tertunda daripada pemotongan talipusat segera. Hasil uji menunjukkan ρ value 0.010 < 𝛼 0,05 yang artinya ada pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap kejadian ikterus neonatorum. Hal ini sejalan dengan penelitian Yiyu Qiana (2020), hasilnya menyatakan bahwa Pemotongan tali pusat tertunda selama >90 detik pada bayi cukup bulan yang sehat tidak hanya dapat meningkatkan status hematologi awal bayi baru lahir tetapi juga menghindari ikterus neonatorum berlebihan yang memerlukan fototerapi[15]. Sejalan penelitian Noviyanti (2017) juga mengatakan bahwa bayi yang tidak dilakukan pemotongan tali pusat tertunda berisiko 4,8 kali mengalami ikterus neonatorum[21]. Didukung oleh buku pedoman Pediatric(2021) yang menyatakan bahwa penundaan pemotongan talipusat memberikan manfaat lebih besar daripada kejadian ikterus fisiologi yang bisa diintervensi dengan fototerapi. Manfaat signifikan lain lebih dibutuhkan bayi, termasuk peningkatan sirkulasi transisi, pembentukan volume sel darah merah yang lebih baik, penurunan kebutuhan transfusi darah, mengurangi perdarahan interventrikuler dan menurunkan insiden necrotizing enterocolitis[14][22].
Menunda pemotongan talipusat merupakan langkah yang sangat membantu dalam upaya untuk mengurangi kejadian ikterus neonatorum, sebagai bagian dari manajemen aktif kala tiga yang juga harus diperhatikan. Menunggu beberapa menit yang akan menambahkan sisa darah sekitar 30-60%. Dengan bertambahnya volume darah bayi dan menambah kadar ferritin darah bayi sehingga erytrosit tidak akan mudah lisis atau pecah sebelum waktunya[23]. Jika darah lisis terlalu cepat maka terjadi penumpukan bilirubin. Sedangkan fungsi hepar pada awal kehidupan bayi belum sempurna maka akan terjadi penumpukan bilirubin daripada kemampuan hepar untuk mengeluarkan racun (bilirubin) ke siklus enterohepatic. Maka terjadilah hyperbilirubinemia, bilirubin ikut balik ke aliran darah bayi diedarkan ke seluruh tubuh bayi sehingga terjadi perubahan kulit bayi menjadi kuning [12]. Seiring dengan penelitian Rahayu Eryanti (2020) yang menyatakan, hampir semua bayi dengan penundaan pemotongan talipusat (>120) menit tidak ikterus 88.2%[10]. Didukung oleh penelitian Qiana (2020) yang menyatakan bahwa pemotongan tali pusat tertunda mencegah kejadian ikterus, meningkatkan transfusi darah placenta, menghindari resiko resusitasi akibat asfiksia, hyperbilirubinemia fisiologis yang bisa diatasi dengan fototerapi [15].
Simpulan
Simpulan penelitian menunjukkan rerata kadar hemoglobin lebih tinggi pada pemotongan talipusat tertunda daripada pemotonagn talipusat segera, kejadian icterus lebih rendah pada pemotongan talipusat tertunda. Terdapat Pengaruh waktu pemotongan talipusat dengan kadar hemoglobin dan icterus neonatorum. Saran fasilitas kesehatan yang melayani persalinan agar menerapkan teori penundaan pemotongan tali pusat mengingat banyak manfaat menguntungkan bagi bayi pada awal kehidupan dimana mempengaruhi perkembangan bayi selanjutnya.
References
- C. Padilla-Sánchez, S. Baixauli-Alacreu, A. J. Cañada-Martínez, Á. Solaz-García, M. J. Alemany-Anchel, and M. Vento, “Delayed vs Immediate Cord Clamping Changes Oxygen Saturation and Heart Rate Patterns in the First Minutes after Birth,” Journal of Pediatrics, vol. 227, pp. 149-156.e1, 2020, doi: 10.1016/j.jpeds.2020.07.045.
- M. Bruckner, A. C. Katheria, and G. M. Schmölzer, “Delayed cord clamping in healthy term infants: More harm or good?,” Seminars in Fetal and Neonatal Medicine, vol. 26, no. 2, 2021, doi: 10.1016/j.siny.2021.101221.
- K. C. Ashish, N. Rana, M. Malqvist, L. J. Ranneberg, K. Subedi, and O. Andersson, “Effects of delayed umbilical cord clamping vs early clamping on anemia in infants at 8 and 12 months: A randomized clinical trial,” JAMA Pediatrics, vol. 171, no. 3, pp. 264–270, 2017, doi: 10.1001/jamapediatrics.2016.3971.
- D. Hutchon and C. Uwins, “Delayed umbilical cord clamping after childbirth: Potential benefits to baby's health,” Pediatric Health, Medicine and Therapeutics, p. 161, 2014, doi: 10.2147/phmt.s51867.
- R. Sekartini et al., “Prevalence of Iron Deficiency Anemia in Infants Aged 4–12 Months in Matraman District and Surrounding Areas, East Jakarta,” Sari Pediatrica, vol. 7, no. 1, p. 2, 2016, doi: 10.14238/sp7.1.2005.2-8.
- Y. Qian et al., “Early versus delayed umbilical cord clamping on maternal and neonatal outcomes,” Archives of Gynecology and Obstetrics, vol. 300, no. 3, pp. 531–543, 2019, doi: 10.1007/s00404-019-05215-8.
- N. Kumbhat et al., “Umbilical cord milking vs delayed cord clamping and associations with in-hospital outcomes among extremely premature infants,” Journal of Pediatrics, vol. 232, pp. 87-94.e4, 2021, doi: 10.1016/j.jpeds.2020.12.072.
- O. L. Andersson, "Effects of Delayed versus Early Cord Clamping on Healthy Term Infants," vol. 1, 2013.
- O. Andersson et al., “Effect of delayed cord clamping on neurodevelopment at 4 years of age: A randomized clinical trial,” JAMA Pediatrics, vol. 169, no. 7, pp. 631–638, 2015, doi: 10.1001/jamapediatrics.2015.0358.
- R. E. K. et al., “Impact of Delayed Cord Clamping on Neonatal Jaundice,” Journal of Research in Indonesian Midwifery, vol. 4, no. 2, pp. 49–53, 2020, doi: 10.32536/jrki.v4i2.98.
- M. F. F. Sonjaya, S. Ratunanda, and E. N. Rochmah, “The Compatibility of Kramer's Examination Results with Blood Bilirubin Examination in Full-Term Neonates Aged 0-7 Days with Hyperbilirubinemia (in the Perinatology Room of Dustira Hospital),” Journal of Ahmad Yani University, pp. 1–11, 2018, [Online]. Available: http://repository.unjani.ac.id/repository/b8a162aca46177d75ce25b768a37b44a.pdf
- Health Department of Surabaya City, "Description of neonatal jaundice," 2020.
- N. A. Auliasari et al., “Risk Factors for Neonatal Jaundice,” Pediomaternal Nursing Journal, vol. 5, no. 2, p. 183, 2019, doi: 10.20473/pmnj.v5i2.13457.
- “Delayed Umbilical Cord Clamping After Birth,” Pediatric Clinical Practice Guidelines & Policies, pp. 1317–1317, 2021. doi: 10.1542/9781610021494-part06-delayed_umbilical_cor.
- P. M. Awal et al., “Early Human Development Time of Umbilical Cord Clamping and Neonatal Jaundice in Full-Term Singleton Pregnancies,” vol. 142, no. 109, pp. 4–8, 2020.
- S. D. McDonald et al., “Guideline No. 424: Umbilical Cord Management in Preterm and Term Infants,” Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, vol. 44, no. 3, pp. 313-322.e1, 2022, doi: 10.1016/j.jogc.2022.01.007.
- N. Publication, “Overview of neonatal jaundice,” 2019.
- I. . Rendra K. A et al., “Delaying Umbilical Cord Clamping as an Effective Strategy to Reduce Incidence of Iron Deficiency Anemia in Newborns,” e-Journal of Udayana Medical School, vol. 2, no. 9, pp. 1615–1631, 2013.
- A. Sundari, “Influence of timing of umbilical cord clamping on hemoglobin and hematocrit levels in full-term deliveries,” 2016.
- S. Wahtini, “Factors Influencing the Incidence of Anemia in Infants,” Journal of Health Studies, vol. 3, no. 1, pp. 21–27, 2019, doi: 10.31101/jhes.764.
- F. H. Darmawan, “Impact of Delay Cord Clamping on Incidence of Cimahi,” vol. 12, no. 1, 2017.
- Y. Qian et al., “Timing of umbilical cord clamping and neonatal jaundice in singleton term pregnancy,” Early Human Development, vol. 142, no. 109, p. 104948.
- M. Sj et al., “Pengaruh waktu penjepitan tali pusat bayi cukup bulan pada hasil ibu dan bayi ( Ulasan ),” 2015, doi: 10.1002/14651858.CD004074.pub3.www.cochranelibrary.com.