Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.5930

Educational Value of Indonesian Feminism in Kitab Sarinah


Nilai Pendidikan Feminisme Indonesia dalam Buku Sarinah

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Airlangga Surabaya
Indonesia
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Indonesian Feminism Educational Psychology Qualitative research method Sarinah's book Social identity

Abstract

The educational value of Indonesian Feminism is contained in the book, this research seeks to explore the value and social identity. The analysis uses Educational Psychology and Feminism approaches. The qualitative method is used through literature review and text interpretation of Sarinah's book. The research instrument used human instrument. Based on the results of the analysis, the learning process of feminism education in Sarinah's book includes three phases of human evolution, the initial phase, women occupy a low position in life, in the second evolutionary phase, women occupy the highest position in life, and in the third evolutionary phase, women again occupy a low position in life. There are important factors that contribute to the success of students in a learning process, these factors include internal and external factors. Internal factors: Health, Intelligence and talent, Interest and motivation, and Learning style. External factors: Family/parents, School/teachers, Community/environment, Role of family/parents.

Highlights:

  • The research explores the educational value of Indonesian Feminism by analyzing Sarinah's book through the lenses of Educational Psychology and Feminism.
  • The learning process of feminism education in Sarinah's book is depicted through three phases of human evolution, reflecting the changing social positions of women.
  • Internal factors (health, intelligence and talent, interest and motivation, learning style) and external factors (family/parents, school/teachers, community/environment, role of family/parents) play crucial roles in students' success in the learning process.

Keywords: Indonesian Feminism, Educational Psychology, Qualitative research method, Sarinah's book, Social identity

 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan upaya melatih, membimbing, memelihara, menempa, mengajar, mengarahkan, mengasuh, menggembleng, menggodok, menjaga, menuntun anak didik (Redaksi, 2014). Pendidikan feminisme diharapkan melatih siswa saling menghormati dan menghargai perbedaan pria dan wanita. Hal ini karena perilaku stereotip pria cenderung muncul dalam konteks kehidupan sosial yang relatif merendahkan nilai feminisme, padahal feminisme merupakan gerakan wanita dengan tujuan mencapai persamaan gender (Douglass et al., 2023). Nilai pendidikan feminisme dalam pembangunan Indonesia merupakan aspek penting dianalisis karena terkait dengan jatidiri bangsa, hal itu telah digagas Bung Karno sejak awal kemerdekaan.

Proses pendidikan membuat siswa berinteraksi dengan orang lain, karena itu penting untuk memahami relasi dan kehadiran sosial yang ada. Kehadiran sosial telah memengaruhi berbagai faktor saat pembelajaran, khususnya kehadiran sosial secara positif memengaruhi siswa dan termotivasi untuk berpartisipasi (Richardson et al., 2017). Poin penting lainnya melibatkan pemahaman perkembangan yang terungkap dari interaksi antara berbagai individu. Hubungan sosial merupakan arena dan motor dari proses perkembangan. Saat interaksi, seseorang menegosiasikan tempat dan peran, berbagi makna dan membangun budaya, interaksi tersebut terbentuk secara dinamis dan dialogis. (Ferreira et al., 2016). Pentingnya interaksi sosial dalam pendidikan dan pembangunan bangsa juga digambarkan dalam buku Sarinah, interaksi seimbang antara laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi karena keduanya memiliki peran sama. Kebijakan pemerintah terkait persamaan hak wanita dan pria di masyarakat sangat konsisten, menghilangkan semua hambatan dan mendorong semua pihak sadar terlibat melaksanakan Kebijakan tesebut, salah satunya melalui Inpres nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam pembangunan nasional (Kerr et al., 2019, p. 187).

Pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan pesat, mulai level dasar dan pendidikan tinggi, salah satu indikator adalah alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2020 melalui alokasi APBN sebesar 505,8 triliun rupiah, (Yang et al., 2023). Alokasi tersebut telah diatur dalam Undang-undang Pendidikan, sehingga memungkinkan banyak anak bangsa belajar sampai perguruan tinggi, salah satunya melalui program beasiswa bidikmisi sejak 2010, yang telah berhasil mencakup 5 % dari total penerimaan mahasiswa nasional (Mulyaningsih et al., 2022). Pendidikan di level perguruan tinggi Indonesia cenderung didominasi mahasiswi, demikian pula realitas universal saat ini, terdapat kecenderungan anak perempuan lebih mungkin untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan kemudian lulus, secara universal banyak universitas dan perguruan tinggi didominasi mahasiswi dengan prosentase 60 persen atau lebih. Semua perbedaan ini terjadi, meski terlepas dari kelebihan yang dimiliki anak laki-laki pada beberapa tes bakat dibandingkan anak perempuan (Slavin, 2018, p. 86).

Memahami aspek feminisme Indonesia dalam bidang pendidikan berarti memberikan kesempatan luas kepada kaum perempuan, agar belajar di semua level pendidikan dalam bidang apapun sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakatnya masing-masing tanpa larangan mengembangkan potensi yang dimiliki (Lestari et al., 2021). Nilai pendidikan feminisme dalam buku Sarinah terdapat dalam tiga fase evolusi kemanusiaan. Pada fase awal, wanita menduduki posisi rendah, manusia pada masa itu belum mengenal sistem kemasyarakatan, mereka hidup berkelompok dan tidak menetap. (Soekarno, 1963, pp. 45). Pada fase evolusi kedua, kaum perempuan menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan, kaum pria relatif berkedudukan rendah, hal ini karena perubahan cara hidup manusia yang mulai menetap dan bercocok tanam (Soekarno, 1963, pp. 53–56). Pada fase evolusi ketiga, wanita menduduki posisi rendah, kedudukan mereka digantikan kaum pria, hal ini karena perubahan cara hidup saat manusia sudah mengenal pertanian, peternakan, dan perdagangan, juga mulai berlaku hukum patriarki. (Soekarno, 1963, pp. 57–59). Semua kebebasan wanita yang terdapat pada fase kedua telah berubah, proses perubahan tersebut berjalan dalam masa ratusan tahun.

Konsep feminisme Indonesia dalam buku Sarinah, berbeda dengan konsep feminisme universal, karena bertujuan menegaskan bagaimana seharusnya pendidikan feminisme itu di Indonesia, agar tidak melebar seperti realitas di Eropa dan Amerika, yakni konsep Feminisme ‘tidak jelas”. Maka wajib untuk dipahami apakah sesungguhnya yang diperjuangkan dalam gerakan feminisme itu sendiri di masyarakat (Haryanti & Suwana, 2014). Hal ini bertujuan agar wanita Indonesia memiliki pemahaman komprehensif terhadap perkembangan feminisme Indonesia, tidak mengikuti alur di luar negeri, yang terpecah dalam beberapa kelompok dan justru memicu konflik baru. Dalam proses pembelajaran, seorang guru akan menyatakan siswa lulus setelah menilai dengan beberapa variabel untuk mendukung keputusan nilai mereka: (a) perubahan dalam upaya pembelajaran siswa, (b) perkembangan berkelanjutan, (c) perubahan sikap siswa, (d) mempertahankan dan meningkatan status sosial siswa, dan (e) peran nilai dalam membentuk masa depan siswa. Keadilan dalam praktik penilaian guru juga disorot dalam literatur melalui prinsip-prinsip transparansi, akurasi, konsistensi, dan kesetaraan (yaitu, memberikan banyak peluang bagi siswa untuk mendemonstrasikan pembelajaran) (Cheng et al., 2020).

Pertimbangan memilih buku Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoeangan Republik Indonesiayang ditulis oleh Bung karno sebagai obyek penelitian, pertama aspek historis, yakni gambaran sejarah kehidupan masyarakat dunia dan nusantara tentang kondisi perempuan pada saat itu dari berbagai perspektif agama samawi, mitologi yang menyertainya, aspek matrilineal dan patrilineal, serta munculnya peran beberapa tokoh wanita di beberapa kerajaan nusantara (Poesponegoro, 2019, p. 162). Dalam buku Sarinah, dijelaskan karakter wanita nusantara dan karakter bangsa sesunguhnya di masa lampau, yakni rajin, cerdas, ulet dan pemberani. Karakter tersebut mengalami reduksi ketika masa kolonialisme Eropa dimulai. Hal ini relevan, apa yang Bung Karno sampaikan di awal kemerdekaan Indonesia sesuai dengan realitas saat ini, terkait tujuan utama memahami nilai pendidikan feminisme Indonesia yang berbeda dengan gerakan feminisme di Barat, dan bagaimanakah sebaiknya implementasi gerakan tersebut.

Buku Sarinah meliputi lima bab, bab Pertama menjelaskan perspektif perempuan menurut para ahli, munculnya feminisme dan neo-feminisme di Eropa, dan perspektif feminisme dalam Islam. Bab Kedua menjelaskan substansi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek fisik, diskriminasi perempuan, aspek historis di berbagai peradaban dunia, dan gagasan Bung Karno terkait hukum patrilinial. Bab Ketiga menjelaskan tentang manusia purbakala, kondisi perempuan pada saat itu dari berbagai perspektif agama samawi, mitologi yang menyertainya, tranformasi matrilineal menjadi patrilineal, serta implikasi gerakan feminisme. Bab Keempat menjelaskan fenomena matrilineal dan patrilineal, kedudukan wanita pada masa sebelum Islam berkembang, matrilineal di Indonesia, praktik asketis dan selibat, serta ajaran Nabi Isa dan Nabi Muhammad terkait penghormatan terhadap perempuan. Bab Kelima sejarah pergerakan wanita di dunia, mulai di Amerika meluas ke berbagai negara, serta kewajiban wanita Indonesia turut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mengisi bagian dalam revolusi nasional menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan sosial (Soekarno, 1963).

Kedua adalah aspek pendidikan. Bung Karno menjelaskan kewajiban wanita Indonesia yang harus turut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi bagian dalam revolusi nasional menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan sosial. Sangat penting melibatkan perempuan agar aktif dalam pembangunan Indonesia, karena hal itu telah dipraktikkan ribuan tahun di Nusantara jauh sebelum lahir gerakan feminisme Eropa dan Amerika. Pelibatan kaum perempuan di dalam masalah bangsa, mutlak dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan Indonesia, karena terdapat relasi penting antara laki-laki dan perempuan, relasi yang saling terkait dan tidak terpisah.

Penelitian terdahulu dilakukan Suyanto, Sosok Perempuan dalam Pandangan Bung Karno pada Memoar Sarinah: Sebuah Analisis Wacana Kritis Feminis, penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitiannya menjelaskan tentang bingkai faktor sosiokultural penyebab seksisme dalam memoar Sarinah, yakni pemakaian bahasa Indonesia dalam perspektif analisis wacana kritis feminis Model Sara Mills dan Teun van Dijk (Suyanto, 2019). Penelitian berikutnya oleh Arwan dkk, Perjuangan Perempuan Dalam Sarinah Karya Soekarno: Kajian Kritik Sastra Feminisme Marxis, penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian mengggambarkan gerakan perlawanan perempuan menentang penindasan terhadap kaumnya sudah terjadi sejak dulu, ditandai dengan pemahaman perempuan tentang persamaan hak sosial dan politik dengan pria dalam semua aspek kehidupan. (Arwan et al., 2019). Penelitian selanjutnya Relevansi Pemikiran Ir. Soekarno Terhadap Pendidikan Islam (Studi Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Buku Sarinah Karya Ir.Soekarno) oleh Ali Mustaqim & Atfi Khumairoh. Penelitian kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan relevansi pemikiran Ir.Soekarno terkait peran dan kedudukan perempuan saat ini berkorelasi dengan adat istiadat dahulu, sehingga keseimbangan dapat diperoleh sesuai berkembangnya zaman (Ali Mustaqim & Atfi Khumairoh, 2019).

Sementara ini Buku Sarinah banyak dianalisis dari aspek analisis wacana kritis Feminis, kritik sastra feminis marxis, relevansi peran dan kedudukan wanita atau Sarinah dalam pendidikan Islam. Masih belum ditemui analisis dari aspek nilai pendidikan feminisme Indonesia. Penelitian saat ini dan penelitian terdahulu memiliki perbedaan mengenai teori yang digunakan. Sedangkan, persamaan penelitian terdahulu dan penelitian ini yaitu menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini memfokuskan analisis pendidikan feminisme Indonesia dengan rumusan masalah 1. Bagaimanakah nilai pendidikan feminisme Indonesia menurut Bung Karno dalam buku Sarinah? 2. Faktor apa sajakah yang memengaruhi proses pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah ? Tujuan penelitian ini menganalisis gambaran nilai pendidikan feminisme Indonesia menurut Bung Karno dalam buku Sarinah dan faktor yang memengaruhi proses pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah. Manfaat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan dipahami tentang gambaran nilai pendidikan feminisme Indonesia dan memahami faktor yang memengaruhi proses pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah, ditemukan adanya relasi sosial yang terdapat dalam buku Sarinah dengan dunia pendidikan saat ini. 2. Diharapkan agar pembaca dapat bersikap lebih arif dan obyektif saat memahami nilai pendidikan feminisme Indonesia dan faktor yang memengaruhi proses pembelajaran dalam buku tersebut.

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Belajar menurut Hilgrad & Bower, (to learn) berarti memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu. Menurut Sardiman, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya, dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan bagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Menurut B. F. Skinner, suatu proses adaptasi tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Pendapat James O. Wittaker mengemukakan bahwa belajar merupakan proses saat membentuk atau mengubah tingkah laku melalui latihan atau pengalaman. Dari beberapa pengertian terkait belajar, dapat disimpulkan bahwa, belajar merupakan suatu proses kegiatan yang disengaja dari individu, kegiatan tersebut merupakan interaksi yang dilakukan individu (Asrori, 2020).

Beberapa faktor yang memengaruhi pencapaian hasil belajar siswa dalam proses pendidikan, yakni: 1. Faktor internal (berasal dari dalam diri). Kesehatan, Intelegensi dan bakat, Minat dan motivasi, Cara belajar. 2. Faktor eskternal (berasal dari luar diri): Keluarga, Sekolah, Masyarakat, lingkungan sekitar. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan faktor yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar yaitu yang berasal dari dalam orang yang belajar (faktor internal) dan ada pula yang berasal dari luar orang yang belajar faktor eksternal (Asrori, 2020). Faktor yang memengaruhi tujuan pembelajaran, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni 1. Faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar (intern). Faktor intern terbagi menjadi: a. Faktor jasmaniah (faktor kesehatan, cacat tubuh). b. Faktor psikologis (inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan). c. Faktor kelelahan. 2. Faktor yang ada di luar individu (ekstern). Faktor ekstern terbagi menjadi: a. Faktor keluarga (cara orang tua mendidik, keadaan ekonomi keluarga, suasana rumah). b. Faktor sekolah (metode mengajar, disiplin sekolah, kurikulum). c. Faktor masyarakat (bentuk kehidupan masyarakat, teman bergaul. Dapat disimpulkan bahwa berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan faktor yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar, yaitu berasal dari dalam diri sendiri (faktor internal) dan berasal dari luar diri sendiri (faktor eksternal) (Asrori, 2020).

Terdapat beberapa tindakan yang harus diperhatikan oleh guru agar tujuan pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia tercapai, yakni mempromosikan persatuan/integrasi dan memerlakukan persamaan terhadap siswa laki-laki dan perempuan. Mempromosikan persatuan/integrasi bertujuan mereduksi stereotip gender, salah satu faktor penyebabnya adalah kecenderungan anak laki-laki dan perempuan (khususnya di sekolah dasar) memiliki sedikit teman lawan jenis, dan sebagian besar terlibat dalam aktivitas dengan sesama jenis (Lindsey, 2015). Pada pelaksanaan pembelajaran, guru kadang meminta anak laki-laki dan perempuan berbaris terpisah, menugaskan mereka berdasarkan jenis kelamin, dan mengatur kegiatan olahraga terpisah untuk pria dan wanita. Akibatnya, interaksi di sekolah lebih jarang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan dibandingkan antara siswa yang berjenis kelamin sama. Namun, pada suasana kelas dengan praktik kolaborasi siswa laki dan perempuan, anak-anak memiliki stereotip gender lebih sedikit, dilihat dari kemampuan laki-laki dan perempuan (Renzetti, Curran, & Maier, 2012). Dapat dipahami bahwa perlakuan sama antara siswa laki dan perempuan sangat penting dalam mendukung tercapainya tujuan pembelajara.

Memerlakukan persamaan siswa dan siswi. Belum semua guru memerlakukan sama antara siswa dan siswi. Studi observasi interaksi kelas menemukan, guru berinteraksi lebih banyak dengan siswa daripada siswi, mengajukan lebih banyak pertanyaan kepada siswa, terutama pertanyaan yang lebih abstrak. Dalam satu pertanyaan penelitian kepada guru, apakah siswa atau siswi lebih banyak berpartisipasi? Sebagian besar menjawab bahwa siswi lebih banyak berbicara, siswa lebih banyak berpartisipasi daripada siswi dengan rasio 3:1 (Sadker & Zittleman, 2009). Para peneliti menafsirkan temuan ini sebagai indikasi bahwa guru mengharapkan perempuan berpartisipasi lebih sedikit, dengan demikian melihat tingkat partisipasi rendah sebagai hal normal. Guru harus berhati-hati untuk memberi semua siswa kesempatan sama berpartisipasi di kelas, mengambil peran kepemimpinan, dan untuk terlibat dalam semua jenis kegiatan (Bernard-Powers, 2001; Stein, 2000). Selain itu, harus menggunakan aktivitas yang cenderung melibatkan minat dan perspektif siswi dan siswa (James, 2007, 2009). Pendapat lainnya yakni mendorong siswi untuk senang belajar matematika dan sains, dan menjelaskan bahwa guru mengharapkan dan menghargai keunggulan dalam mata pelajaran ini dari anak perempuan maupun laki-laki (Halpern et al., 2007). Diperlukan apresiasi langsung dari guru kepada semua siswa tanpa membedakan jenis kelamin, hal ini agar menumbuhkan kepercayaan siswa, bahwa potensi dan identitas mereka sangat dihargai.

FEMINISME

Feminisme adalah bidang teori dan politik tentang perspektif dan metode yang bersaing/berkompetisi untuk bertindak. Secara umum dapat disimpulkan bahwa feminisme sebagai suatu penegasan bahwa seks adalah inti dari suatu organisasi sosial yang mendasar dan tidak menyenangkan, dan sampai saat ini telah mensubordinasikan kedudukan perempuan daripada laki-laki. Perspektif feminisme terpusat pada perbedaan jenis kelamin sebagai prinsip pengorganisasian kehidupan sosial, ketika hubungan gender secara kasar terjalin dengan kekuatan. Subordinasi perempuan dianggap terbukti di berbagai praktik lembaga sosial, yaitu kekuatan laki-laki bersifat struktural. Hal ini menyebabkan beberapa wanita mengadopsi konsep patriarki, dengan makna keturunannya dari garis keluarga laki-laki. Feminisme terdiri dari serangkaian analisis dan strategi aksi (Barker, 2005a).

During menjelaskan penyebab kegagalan gerakan feminisme di Barat (During, 2005, p. 177). Pertama tujuan feminisme Wollenstonecraft yang lebih tua yakni pencapaian kesetaraan antara pria dan wanita, fokus utama pada masalah sosial dan politik, akses dan partisipasi, serta penegasan dorongan politik identitas baru terkait perbedaan dengan pria, dan fokus pada budaya ekspresi dan fashion pribadi. Kedua, feminisme berkaitan dengan seksualitas itu sendiri, yakni sejauh mana heteroseksualitas merupakan bagian dari masalah, dan apakah feminisme adalah politik terkait hasrat seksual. Lebih konkret lagi, bahwa norma heteroseksual merupakan jawaban atas universalisasi pandangan laki-laki, seksualisasi objektifikasi tubuh perempuan dan jebakan perempuan secara pasif, privatisasi, serta feminitas menurut perspektif heteroseksual. Ketiga, yakni feminitas, apakah kaum feminis perlu menolak feminitas konvensional, atau menikmati dengan cara baru. Pada aspek ini semakin sedikit posisi feminisme radikal dimenangkan: Isu feminitas pertama kali dibahas dalam dunia akademik, argumen bahwa feminitas tidak bisa begitu banyak diinternalisasi seperti ditiru, dan tetap bersikeras pada kesenangan khusus. Generasi wanita tahun delapan puluhan menganut feminitas konvensional dalam istilah tradisional yang adil, yaitu mereka secara sadar/ideologis memilihnya. Seseorang tidak harus berpengalaman dalam teori hegemoni, yang menyatakan para korban umumnya menyetujui penindasan mereka (During, 2005). Setelah mengetahui berbagai realitas feminisme saat ini, penting untuk memahami feminisme sebagai sebuah gerakan. Barker menjelaskan bahwa feminisme bertujuan membangun strategi politik yang digunakan untuk mengintervensi kehidupan sosial dalam mencapai kepentingan perempuan, gerakan ini telah mengadopsi berbagai analisis dan strategi tindakan yang telah dikategorikan secara luas. (Barker, 2005b, p. 280)

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yakni penelitian bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Prosedur penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena apakah yang dialami oleh subjek peneliti penelitian secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2021, p. 16).

Paradigma merupakan cara suatu analisis ilmiah yang memungkinkan semua masalah yang dirumuskan dapat dijawab dengan baik, hal ini untuk mendapat pemahaman komprehensif tentang Analisis aspek nilai pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah, dan faktor yang memengaruhi proses pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kualitatif deskriptif, melalui kajian literature dan interpretasi peristiwa.Instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri/human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat simpulan atas temuannya. (Sugiyono, 2017, p. 222). langkah-langkah tersebut sesuai dengan pendapat Creswell bahwa peneliti kualitatif melihat fenomena sosial secara komprehensif, sehingga melihat gejala yang ada sebagai satu kesatuan yang utuh, sarana menggali dan memahami makna individu atau kelompok, analisis data secara induktif dan diperoleh melalui wawancara (Creswell, 2009, p. 22)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, dilaksanakan sebagai berikut: Data utama penelitian/data primer berupa buku Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoeangan Republik Indonesiayang ditulis oleh Bung karno, setebal 329 halaman, cetakan ketiga tahun 1963, diterbitkan oleh Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Soekarno. Buku tersebut meliputi lima bab, (Soekarno, 1963). Data penunjang/Sekunder merupakan data yang berhubungan dengan objek kajan, menunjang validitas objek yang dianalisis, terbagi menjadi data umum dan pribadi. Data umum: buku, makalah, koran, majalah, catatan rapat, laporan resmi. Data pribadi: jurnal pribadi, catatan harian, surat, surat elektronik. (Creswell, 2009, p. 169).

Menganalisis obyek kajian berdasarkan data yang ada. Analisis permasalahan dalam buku Sarinah menyangkut masalah interdisipliner, sehingga analisisnya menghubungkan data yang ada dan sesuai dengan buku. Obyek kajian dianalisis dengan teori Psikologi Pendidikan dan Feminisme untuk memahami gambaran yang disampaikan dalam buku tersebut. Tinjauan pustaka sistematis, baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan alat penting menyusun simpulan dari suatu penelitian besar, memungkinkan kemajuan teori ilmiah dan praktik berbasis bukti. Kedua jenis tinjauan tersebut sangat penting untuk mendukung literatur Psikologi Organisasi dan Konseling (Harari et al., 2020). Analisis data dilakukan dengan cara: 1. Menggambarkan proses pembelajaran nilai pendidikan feminisme Indonesia dalam buku Sarinah dan faktor yang memengaruhi proses pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia dalam buku tersebut, yang di dalamnya menjelaskan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi proses pembelajaran dalam buku tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Nilai Pendidikan Feminisme Indonesia dalam Buku Sarinah

Pembelajaran nilai pendidikan feminisme dalam buku Sarinah terdapat dalam tiga fase evolusi kemanusiaan, tiga fase tersebut harus dipahami agar tujuan pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia tercapai. Proses belajar merupakan suatu proses kegiatan yang disengaja dari individu, kegiatan tersebut merupakan interaksi yang dilakukan antar individu, dengan tujuan memahami materi pembelajaran tertentu.

Berikut ini merupakan kutipan fase awal evolusi kemanusiaan dalam buku Sarinah tersebut:

Didalam tingkat jang pertama itu, mereka belum mempunjai masjarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-golongan didalam persekutuan-persekutuan ketjil jang dinamakan horde (kelompok), dengan tak ada pertalian apa-apa melainkan pertalian kerdja-bersama dan perlindungan-bersama, dengan tak ada “moral” melainkan moral tjari makan dan moral tjari hidup (Soekarno, 1963, p. 45).

Ia bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan kebinatangan semua machluk jang masih liar, maka nistjaja nasib perempuan diwaktu itu umumnja sangat tersia-sia. Ia diperintah sadja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh mentjari daun-daunan dan akar-akaran, disuruh memelihara api siang dan malam, dibebani dengan pekerdjaan jang tidak termasuk perburuan dan pentjarian ikan (Soekarno, 1963, p. 46).

Pada fase awal manusia purbakala ini, wanita menduduki posisi rendah, kaum pria pergi berburu binatang, mencari ikan dan kaum wanita mulai menjadi makhluk yang ditaklukan, manusia pada masa itu belum mengenal sistem kemasyarakatan, mereka hidup berkelompok dan tidak menetap saling menyerang antar kelompok, sebagian besar wanita tinggal di dalam gua bersama anak kecil dan lansia. Wanita saat itu sangat bergantung kepada kaum pria, mereka melakukan semua pekerjaan kecuali berburu dan mencari ikan. Lebih lanjut dijelaskan oleh beberapa ahli antropologi bahewa wanita bisa disebut sebagai budak yang pertama, bernasib seperti anjing betina yang mudah digigit oleh si jantan bila tidak disukai, bahkan dalam beberapa kejadian, wanita bisa dibunuh begitu saja jika dianggap membebani anggota kelompok itu. Laki-laki dan perempuan saat itu bebas melakukan hubungan badan dengan siapa saja yang mereka sukai, belum dikenal istilah pernikahan atau pasangan suami istri.

Berikut ini merupakan kutipan fase kedua evolusi kemanusiaan dalam buku Sarinah tersebut:

Itulah sebabnja, maka perempuan dizaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan itu, lantas menetapkan hukum “hukum keturunan menurut garis peribuan” itu mendjadi hukum perlaki-istrian dan hukum-keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum jang pertama-tama didalam pergaulan manusia. Djadi perempuanlah jang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan dengan hukum, perempuanlah pembuat hukum jang pertama (Soekarno, 1963, pp. 53).

Pada fase evolusi kedua, kaum perempuan menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan, kaum pria relatif berkudukan rendah, sehingga mampu menetapkan praktik matriarki dalam kehidupan saat itu. Hal ini karena perubahan cara hidup manusia yang mulai menetap, berternak, dan bercocok tanam. Kaum perempuan membuat sistem kekerabatan matriarki, menjadi petani pertama, pembangun budaya pertama, mereka memiliki berbadan besar, sigap, cerdas, tangkas, berani, dan berpandangan luas. Realitas pada fase evolusi kedua itu relatif berbeda dengan kondisi wanita modern saat ini, yakni wanita menjadi kaum lemah, berbadan kecil, dan kurang sigap.

Berikut ini merupakan kutipan fase ketiga evolusi kemanusiaan dalam buku Sarinah tersebut:

Datanglah phase (tingkat) ketiga didalam sedjarah-perikemanusiaan itu, jang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananja. Kaum laki-laki jang dulu berburu dan mentjari ikan itu, jang kadang-kadang berminggu-minggu meninggalkan kelompok atau gensnja buat berdjoang didalam rimba atau bersenang-senang didalam rimba, kaum laki-laki itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan tjara pentjarian hidup dengan berburu dan mentjari ikan itu (Soekarno, 1963, pp. 57).

Pada fase evolusi ketiga, wanita kembali menduduki posisi rendah, kedudukan mereka digantikan kaum pria, hal ini karena perubahan cara hidup saat manusia sudah mengenal pertanian, peternakan, dan focus utama pada perdagangan untuk menjual hasil pertanian dan peternakan tersebut. Tawanan menjadi budak yang bekerja di lahan pertanian dan peternakan, pada fase ini mulai berlaku hukum keturunan, kesetiaan perkawinan, juga mulai berlaku hukum patriarki. Semua kebebasan wanita yang terdapat pada fase kedua telah berubah, mereka dikungkung, dipingit, wanita menjadi alat atau ‘benda’, wajib menghamba pada suaminya. Keluarga menjadi tempat perhambaan wanita, dan menduduki tingkatan kedua, proses perubahan tersebut berjalan dalam masa ratusan tahun.

Faktor Yang Memengaruhi Proses Pembelajaran Nilai Pendidikan Feminisme Indonesia

Beberapa faktor penting penentu keberhasilan dalam suatu proses pembelajaran, meliputi faktor internal dan eksternal, faktor tersebut juga terdapat dalam buku Sarinah. Faktor internal: Kesehatan, Intelegensi dan bakat, Minat dan motivasi, dan Cara belajar.

Berikut ini merupakan kutipan peran faktor Internal dalam buku Sarinah tersebut:

…dizaman itu kaum perempuan, karena kemerdekaanja, adalah besar-besar dan sigap-sigap badan, tjerdas-tjerdas dan tangkas-tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan,-tidak seperti perempuan –perempuan dizaman sekarang, jang ketjil-ketjil dan takut-takut. Dizaman peribuan itu mereka bukan “kaum lemah”, bukan “kaum bodoh”,bukan “kaum sempit pikiran” bukan “kaum penakut”… !(Soekarno, 1963, p. 56).

…Tapi itu tidak mendjadi bukti bahwa dus kwaliteit otak perempuan itu kurang dari kwaliteit otak laki-laki. Kwaliteitnja sama, ketadjamannja sama, kemampuannja sama, hanja kesempatan bekerdjanja jang tidak sama, kesempatan berkembangnja jang tidak sama. Maka oleh karena itu, djustru dengan alasan kurang dikasihnja kesempatan oleh masjarakat sekarang kepada kaum perempuan, maka kita wajib berichtiar membongkar ke-tidak-adilan masjarakat terhadap kepada kaum perempuan itu! (Soekarno, 1963, p. 30).

Peladjarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-pergerakan perempuan di Eropah, sebelum kita mengoper sadja segala tjita-tjitanja dan sepak terdjangnja! “kita mempeladjari sedjarah untuk mendjadi bidjaksana terlebih dulu” demikianlah perkataan John Seeley jang termasjhur. Perkataan jang ditudjukan kepada arti mempeladjari sedjarah itu, boleh pula dipakai untuk mendjadi pedoman diatas djalan perdjoangan kaum perempuan didalam Republik Indonesia Merdeka… (Soekarno, 1963, p. 11).

Tiga kutipan di atas merupakan faktor internal terkait aspek kesehatan, intelegensi dan bakat , serta aspek minat dan motivasi wanita Indonesia saat memelajari nilai pendidikan feminisme. Dari semua aspek tersebut, Tuhan telah menciptakan kecerdasan dan kekuatan, minat dan motivasi belajar pria, sama dengan wanita, hanya karena kurang kesempatan bekerja dan mengekspresikan kemampuan diri sehingga perempuan tampak lebih lemah atau inferior dibandingkan pria. Dari aspek minat dan motivasi, kita hendaknya bisa mengambil hikmah dari pergerakan kaum perempuan di Eropa, bisa berhati-hati, berwawasan luas dan tidak konservatif. Bijaksana dalam memaknai perjuangan pergerakan wanita, mengambil nilai perjuangan yang positif dan tidak mengambil nilai negatif, misalnya dengan mengerti bahwa tidak semua wanita Eropa puas dengan hasil pergerakan feminisme itu sendiri.

Faktor Eksternal yang turut menentukan keberhasilan dalam suatu proses pembelajaran, faktor tersebut juga terdapat dalam buku Sarinah meliputi: Keluarga/orang tua, Sekolah/guru, Masyarakat/lingkungan sekitar.

Peran keluarga/Orang Tua

Berikut ini kutipan peran keluarga/Orang tua dalam buku Sarinah tersebut:

Maka senantiasa kaum jang mengurung perempuannja itu mengasih alasan , bahwa mereka menutup istri-istrinja dan putri-putrinja itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memuliakan kedudukan mereka. ja….”memuliakan “ mereka….tetapi”memuliakan” mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi-dan-sitolol! (Soekarno, 1963, p. 37).

Kutipan di atas menjelaskan peran keluarga/orang tua terhadap nilai pendidikan feminisme Indonesia. Tegas disampaikan Bung Karno bahwa memerlakukan wanita seperti dalam contoh kutipan merupakan tindakan salah, keluarga/orang tua sebaiknya juga memberi kebebasan kepada anggota keluarga wanita agar bisa mengaktualisasikan diri, bebas memilih pendidikan, bersikap , dan bekerja. Bukan kebebasan tanpa batas melainkan sesuai dengan norma dan adat setempat, hal ini agar wanita tidak menjadi inferior serta tampak lemah dan bodoh. Keberhasilan pembelajaran pendidikan feminisme tidak dapat dilepaskan dari peran kedua orang tua, karena mereka adalah guru pertama dan sangat menentukan keberhasilan selama proses pembelajaran itu.

Peran Sekolah/ Guru

Berikut ini merupakan kutipan peran sekolah/guru dalam buku Sarinah tersebut:

merasa manfaatnya kalau perempuan-perempuan ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti machluk-tidak berdjiwa, tidak lagi menadahkan tangannja kelangit dan kekaum laki-laki, tetapi dapat mentjari nafkah hidup sendiri-sendir. Lambat-laun puteri-puteri itu diizinkan masuk sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-kantor peusahaan-perusahaan, mendjadi guru, dokter, insinjur, adpokat…(Soekarno, 1963, p. 84)

Peran sekolah/guru fokus pada peran pendidikan yang diperoleh kaum wanita, diharapkan tujuan pembelajaran dan penguasaan materi pembelajaran feminisme tercapai, karena akan memengaruhi dan membentuk sikap mental mereka. Dalam proses pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia, guru hendaknya memiliki sikap mental seimbang, memberi perlakuan sama kepada siswa dan siswi, tidak menganggap siswi lebih lemah sehingga ketika memberi tugas sekolah, siswi mendapat tugas lebih ringan. Guru memberikan pemahaman nilai religiusitas dan menghormati adat budaya setempat, diharapkan pemahaman ilmu pengetahuan, agama, dan adat istiadat berjalan berdampingan. Pembelajaran diharapkan feminisme mampu mencerdaskan dan menyejahterakan semua anak bangsa.

Peran Masyarakat/Lingkungan Sekitar

Berikut ini kutipan peran masyarakat/lingkungan sekitar dalam buku Sarinah tersebut:

Kita musti mentjari ichtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masjarakat sekarang, atau dengan basis masjarakat jang akan datang. Jang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi jang sekarang ada, itulah jang kita hadapi, dan jang akan datang, utilah jang akan kita alamkan. Njahkanlah segala fikiran-fikiran primitif jang mau kembali kepada hukum-hukum primitif itu!.(Soekarno, 1963, p. 95)

kutipan tersebut menjelaskan masyarakat memegang peranan penting dan sangat memengaruhi tujuan pembelajaran pendidikan feminisme Indonesia, peran mereka turut membentuk kepekaan sosial wanita. Semakin sering wanita berinteraksi positif dengan alam dan lingkungan sekitar, maka akan semakin banyak materi dan nilai-nilai pengalaman hidup yang bisa didapat, terutama nilai moralitas dan etika. Nilai tersebut kadang tidak bisa dijumpai di dalam lingkungan sekolah. Pengaruh keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar, turut memengaruhi keadaan batin dan psikis wanita, apakah akan menjadi manusia yang kuat atau manusia lemah. Seorang bisa percaya diri, mendapat banyak pengalaman berharga, mengetahui banyak informasi terkait lingkungan sekitarnya karena belajar banyak hal, baik di sekolah atau di lingkungan sekitarnya. Berbagai pengetahuan dan pengalaman itulah yang turut membentuk karakter dan kepribadiannya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, proses pembelajaran pendidikan feminisme dalam buku Sarinah meliputi tiga fase evolusi kemanusiaan, fase awal, wanita menduduki posisi rendah dalam kehidupan, pada fase evolusi kedua, kaum perempuan menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan, dan pada fase evolusi ketiga, wanita kembali menduduki posisi rendah dalam kehidupan. Terdapat faktor penting yang turut menentukan keberhasilan siswa/anak didik dalam suatu proses pembelajaran, faktor tersebut meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal: Kesehatan, Intelegensi dan bakat, Minat dan motivasi, dan Cara belajar. Faktor Eksternal: Keluarga/orang tua, Sekolah/guru, Masyarakat/lingkungan sekitar, Peran keluarga/Orang Tua.

References