Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.3.2020.539

Analysis of the Kuala Kapuas District Court Decision Regarding Legal Protection for Children Who Become Victims of Sexual Violence


Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Terkait Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Court Judgment Sexual assault Child Protection

Abstract

In Law No. 35 year 2014 about child protection, explained that each child is potential, and the young generation of the nation's successors. The country has a strategic role, so it is obligatory to protect the child from all forms of inhumane treatment that can lead to violations of human rights. One form of human rights violations is sexual violence. This research uses normative research methods with a legal approach as well as a case approach. To analyze whether the fundamental difference of the two judges in the District Court of Kuala Kapuas criminal matter number 164/Pid.Sus/2019/PN. Klk with the participation of the State of Kupang criminal Matters No. 249/Pid. Sus/2019/PN.KPG in the decision to take the case of a criminal lawsuit in child sexual violence. The occurrence of the decision of judge or disparity of judges is not separated from the discretion of the judges and also due to the minimum sanction system and maximum sanctions in the Indonesian criminal system. The consideration of the Tribunal judges gave a 14-year criminal verdict against the defendant Armayansyah, considering that the defendant was a lecturer or teacher in the victim's school and the age of the victim who still stepped on 13 years.

Pendahuluan

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwasanya setiap anak adalah potensi, dan generasi muda penerus bangsa. Negara memiliki peran strategis, sehingga wajib untuk dilindungi anak dari segala macam bentuk perlakuan tidak manusiawi yang bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.[1]Setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan atas kelangsungan hidupnya, tumbuh kembang serta mendapat perlindungan dari berbagai bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi. Tidak jarang orang – orang sudah berusia dewasa memiliki kelainan seks dan atau ketertarikan seks pada anak-anak dibawah umur (pedofilia)yang berujung pada tindakan pembunuhan[2]Dengan semakin maraknya kasus yang ada,pemerintah memberikan perhatian khususdengan mengupayakan amandemen undang-undang perlindungan anakuntuk dapat memberikan hukum yang setimpal bagi para pelaku.

Para pelaku pedofilia tidak jarang berasal dari kalangan tertentu seperti, oknuum penegak hukum, publik figur, pemuka agama, dan kalangan para pendidik yang mana seharusnya melindungi serta menjaga anak-anak sebagai generasi penerus bangsa[3]Di dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 pada Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 81 ayat (1), Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dapat dipidana dengan hukuman pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00-, (lima miliar rupiah). Diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Angka Kejahatan pada anak pada era modern seperti sekarang ini merupakan tindak kejahatan kriminalitas yang tidak luput menjadi sorotan dunia, terlebih semakin berkembangnya teknologi dan pola pola pikir manusia yang semakin maju, kejahatan juga tidak luput mengalami tingkat kenaikan.[4]

Indonesia adalah suatu Negara yang besar dan berdiri berdasarkan atas hukum (rechstaat) yang mana telah dijelaskan pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwasannya Indonesia merupakan Negara Hukum. Negara yang mempunyai tujuan tata tertib dan kesadaran hukum yang jelas di dalam masyarakat. Salah satu upaya untuk dapat mencapai tujuan dari Negara Hukum ialah dengan menegakkan tujuan hukum baik pada acara pidana maupun perdata. Tujuan hukum acara pidana terdapat di dalam Pedoman Pelaksanaan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana)bahwasannya KUHP merupakan sumber dari segala bentuk perlakuan atas tindak pidana.

Hakim merupakan pejabat negara di dalam Persidangan memiliki wewenang untuk dapat memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Batasan kebebasan hakim sebagai nilai dalam kewajiban profesinya bukan semata – mata bebas seluruhnya namun juga dibatasi oleh aturan dan norma.[5]Tidak hanya ditentukan oleh undang – undang namun kebebasan seorang Hakim juga dibatasi oleh nilai – nilai keadilan dan keridho.an dari hati nuraninya, sehingga Hakim di dalam mengadili dan memutus suatu perkarapidana tentunya harus bebas dari tekanan dan intervensi dari pihak luar, paksaan, maupun bujuk rayu.[6]

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang terdapat di daerah Kupang yang mana pelecehan seks tersebut dilakukan oleh orang dewasa berusia 20 (dua puluh) tahun dengan anak usia 17 (tujuh belas) tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan motif tipu muslihat dan disengaja, tertuang pada Putusan Pengadilan Nomor 249/Pid.Sus/2019/PN.Kpg Diputuskan dengan Hukuman Pidana Penjara 9 (sembilan) tahun dan denda Rp. 100.000.00,- (Seratus Juta Rupiah). Contoh kasus lainnya yaitu kekerasan seksual yang terdapat di dalam suatu daerah tepatnya di Kapuas, Kalimantan Tengah yang mana pelecehan seksual tersebut dilakukan oleh seorang Guru sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar Islam Madrasah (SD/MI) kepada anak berusia 13(tiga belas) tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) yang tidak lain adalah muridnya sendiri, pelaku dengan sengaja melakukan kekerasan seksual dengan motif tipu muslihat, disengaja dan serta dilakukan secara berulang - ulang, tertuang di dalam putusan pengadilan Nomor 164/Pid.Sus/2019/PN.Klk. Diputuskan dengan Hukuman Pidana Penjara 14 (empat belas) tahun dan denda Rp.60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah)

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan atau statute approach yaitu dengan menelaah Undang – Undang yang bersangutan dengan isu Hukum. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deduktif yaitu bentuk usaha pengumpulan dan penyusunan bahan hukum yang berpangkal pada suatu peristiwa umum dan dianalisis untuk menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat lebih khusus, dilakukan analisis secara jelas dan sistematis pada bahan hukum tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Perbedaan Sanksi Pidana Dalam Perkara Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Pada bab pembahsaan ini penulis akan menganalisa perbedaan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus pidana kekerasaan seksual terhadap anak. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis 2 (dua) putusan Pengadilan Negeri, yaitu Pengadilan Negeri Negeri Kuala Kapuas dengan Nomor: 164/Pid.Sus/2019/PN Klk dan Putusan Pengadilan Negeri Kupang dengan Nomor: 249/Pid.Sus/2019/PN Kpg. Secara ringkas, duduk perkara pada dua Putusan Dewan Hakim tersebut dapat penulis kemukakan sebagai berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Dengan Nomor : 164/Pid.Sus/2019/PN.Klk

Pada Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Kalimantan Tengah (Kalteng) terdapat salah satu kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak dengan latar belakang sebagai berikut. Bahwa terdakwa Armayansya Bin Amri adalah sorang laki – laki dewasa yang berusia 55 Tahun dan berprofesi sebagai Guru dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah SD/MI Swasta, Di dalam bulan sekiranya bulan Oktober 2018 terdakwa, sekitar pukul 08.30 WIB, atau setidak-tidaknya dalam tahun 2018, bertempatan di Sekolah MIS Babussalam Desa Terusan Raya Kecamatan. Bataguh Kabupaten. Kapuas Provinsi. Kalimantan Tengah, setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya. Dengan sengaja telah melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan secara berulang-ulang dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan.

Duduk Perkara

Berawal dari saksi korban Arbayah pada bulan Oktober di Tahun 2018 yang tidak diketahui lupa jam dan tanggalnya, pada saat saksi korban telah usai melakukan mata pelajaran Agama Islam yang diajarkan oleh terdakwa sebagai guru dalam mata pelajaran tersebut, saksi korban diminta tolong oleh terdakwa untuk membantunya membersihkan ruangan kepala sekolah milik terdakwa Armayansyah, pada saat saksi korban telah sampai di ruangan terdakwa saksi korban langsung ditarik tangannya dan terdakwa dengan segera mengunci pintu ruangan tersebut, sembari menyeret korban menuju lantai papan terdakwa Armayansyah melepas rok panjang warna hijau milik korban serta celana dalam berwarna merah dan menyingsingkan baju korban keatas sehingga terdakwa dengan segera juga melepaskan celana panjangnya yang berwarna hitam untuk mengeluarkan alat kemaluannya.perbuatan tersebut dilakukan selama 5 (lima) menit kemudian terdakwa mengancam saksi korban arbayah untuk diam dan tutup mulut atas kejadian tersebut sembari memperlihatkan rekaman video yang sudah diambil oleh terdakwa secara diam-diam apabila saksi korban menceritakan kejadian tersebut pada orang lain terdakwa.

Saat tiba di kota Kapuas saksi korban dimintai oleh pelaku untuk mengganti baju dan melanjutkan perjalanan yang cukup lama dengan menggunakan mobil sewaan tanpa penumpang hingga tiba di Kota Banjarmasin, terdakwa mengajak saksi korban yang tidak berdaya tersebut masuk ke dalam hotel yang bernama Regen tidak lama saat saksi korban dan terdakwa masuk ke dalam kamar terdakwa dengan segera memeluk tubuh korban sambil menciumi saksi korban, saksi korban sempat mendorong tubuh terdakwa dan mengatakan “Jangan” namun terdakwa semakin menggeras dan merebahkan saksi korban diatas kasur sambil melepas semua pakaian yang dikenakan oleh saksi korban dengan segera terdakwa menindihi tubuh kecil saksi korban dan melakukan persetubuhan dengan korban selama 5 menit.

Keesokan harinya tanggal 08 Mei 2019 terdakwa sempat mengajak saksi korban untuk keluar hotel pergi berjalan-jalan dan makan, saat saksi korban dan terdakwa telah usai berjalan – jalan keduanya kembali ke hotel dan terdakwa dengan segera melakukan kembali aksi kekerasanan seksual nya tersebut. Terdakwa dengan sadar melakukan kegiatan kekerasan seksual tersebut secara berulang – ulang dan menerus sebanyak 3x di dalam hotel tersebut.

Argumentasi Dan Pertimbangan Hakim

Sebelum Hakim menjatuhkan Putusan Pengadilan Pidana, Majelis Hakim telah mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan persesuaian seluruh keterangan saksi – saksi yang tekah dihadirkan di dalam persidangan dan dibawah sumpah, menurut keterangan saksi korban, keterangan alat bukti surat, keterangan pembelaan dari terdakwa bahwa benar terdakwa Armayansyah merupakan seorang guru Agama dan menjabat sebagai Kepala Sekolah di MIS Babussalam Desa Bataguh Kapuas Kalimantan Tengah telah melakukan pelecehan seksual kepada salah satu murid didiknya yang bernama Arbayah yang duduk di bangku kelas 6 (enam) Madrasah Ibtidaiyah (MI), Terdakwa Armayansyah mengakui kesalahannya bahwa telah melakukan perbuatan kekerasan seksual tersebut dengan niat sadar dari dalam dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar. Dalam memutuskan tersebut terdakwa Armayansyah telah memenuhi unsur – unsur yang di ajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai berikut :

Memenuhi unsur ke-1 (Satu) “Setiap Orang” , meimbang bahwa dengan unsur setiap orang sama pengertiannya dengan barang siapa, yaitu sebagai subjek Hukum yang dengan sengaja diduga telah melakukan tindakan pidana dan pelaku tindak pidana tersebut mampu mempertanggung jawabkan atas segala kesalahannya yang sudah diperbuat.

Memenuhi unsur ke-2 (dua), “Dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”, menimbang bahwa unsur kedua dari dakwaan Majelis Hakim bahwa pengertian tersebut mengandung makna yang menjelaskan terdakwa dengan sengaja telah melakukan kekerasan seksual pada saksi korban hingga menimbulkan suatu paksaan yang dapat membahayakan saksi korban merasa dirinya di dalam keadaan terancam.

Memenuhi unsur ke-3 (tiga) “Orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak atau dilakukan lebih dari satu orang bersama-sama” menimbang bahwa di dalam unsur ketiga dakwaan ini Majelis Hakim berpendapat bahwa pengertian tersebut ghanyalah sebagai alternatif saja, sudah cukup apabila salah satu sudah terbukti tidak perlu untuk keseluruhannya dibuktikan.

Memenuhi unsur ke-4 (empat) “Terus menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan” menimbang bahwa di dalam unsur ini terdakwa Armayansyah terbukti secara sah telah memenuhi unsur tersebut, pada kasus posisi telah dijelakan bahwa terdakwa Armayansyah telah melakukan perbuatan kekerasan seksual tersebut secara berkelanjutan dan sudah berkali-kali sehingga mengakibatkan terdakwa Armayansyah dikategorikan sebagai sesorang dengan kelainan seks yang menyimpang, memiliki ketertarikan kepada anak-anak dan dengan keadaan sadar disengaja telah melakukan kegiatan yang dapat menjadikan saksi korban merasakan ancaman dan trauma yang mendalam, merasa bahwa masa depannya sudah direnggut oleh perbuatan Terdakwa Armayansyah.

A nalisis Pertimbangan Hakim

Apabila ditinjau dari aspek pertimbangan Hakim dengan melalui proses yang panjang di dalam persidangan, bahwa terdakwa Armayansyah dinyatakan telah secara sah terbukti bersalah. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terdakwa telah memenuhi seluruh unsu-unsur dakwaan di dalam 81 Ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan – perubahan atas Undang-Undang Negara Reublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Menimbang bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan ke-2 (dua) yaitu pada Pasal 332 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang– Undang Hukum Pidana yang unsur – unsurnya adalah sebagai berikut :

  1. Unsur “Barang Siapa”, terdakwa Armayansyah telah terbukti bahwa sudah memenuhi unsur barang siapa karena ia sebagai subjek Hukum yang diduga dengan sengaja melakukan perbuatan seksual.
  2. atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu baik di dalam maupun diluar perkawinan”, terdakwa Armayansyah telah terbukti bahwa sudah memenuhi unsur tersebut dikarenakan saksi korban masih memiliki usia masih dibawah umur dan masih belum dewasa.

Putusan Pengadilan Negeri Kupang Dengan Nomor : 249/Pid.Sus/2019/PN.Kpg

Pada Pengadilan Negeri Kupang, terdapat salah satu kasus Tindak Pidana kekerasan seksual pada anak, dengan latar belakang sebagai berikut. Bahwa terdakwa Pujangga Efendi Sadukh Alias Angga adalah seorang laki-laki dewasa yang berusia 20 (dua puluh) tahun dan berprofesi sebagai supir Angkot Kota. Pada Hari Jumat 17 Agustus 2018 sekitar pukul 23:00 WITA atau setidak-tidaknya di dalam Tahun 2018bertempat di Kos Terdakwa yang masih termasuk di dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Kupang, yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya. Dengan sengaja telah melakukan tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Anak yang masih dibawah umur.

Duduk Perkara

Berawal dari saksi korban bernama Bende Agustina Here perempuan berusia 17 (tujuh belas) tahun saat kejadian perkara kekerasan seksual dan masih duduk di kelas 11 (Sebelas) Sekolah Menengah Atas (SMA), Pada tanggal 17 Agustus 2018 atau setidak-tidaknya pada tahun 2018 di daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada saat saksi korban telah usai melakukan upacara penurunan bendera bersama ke dua temannya yakni Sindy dan Pricilia mereka hendak pulang kerumah dengan memberhentikan bemo angkutan kota yang sedang dikemudikan oleh terdakwa, saat ke-dua temannya telah sampai pada tempat yang mereka tuju tinggal saksi korban dan beberapa penumpang lainnya yang berada di dalam bemo tersebut, kemudian saksi korban mengatakan kepada konjak bemo dan terdakwa bahwa saksi korban ingin di turunkan di dekat Toko Rukun Jaya karena saksi korban Bende baru tinggal 1 (satu) minggu di Kupang dan masih belum hafal betul mengenai daerah Kupang, namun terdakwa menghiraukannya dan menurunkan penumpang lainnya sesuai dengan tujuannya.

Terdakwa berjalan ke arah Jalur 40 (empat puluh) untuk memberhentikan seorang tukang ojek dengan maksud untuk mengantarkan saksi korban pulang kerumahnya, namun terdakwa menyuruh tukang ojek untuk mengantarkans saksi korban ke tempat kos terdakwa di Jalan. Oelon 3 Desa. Sikumana Kecamatan. Maulafa Kota Kupang. Sesampainya tiba di kos terdakwa, saksi korban mendapatiada 3 (tiga) orang laki-laki teman terdakwa yang bernama Musa, Ivan, dan Frido di dalam kos tersebut. Selanjutnya saat terdakwa sesampainya di tempat kos terdakwa menyuruh saksi korban Bende untuk beristirahat di tempat tidur sedangkan terdakwa dan ke 3 (tiga) temannya sedang asyik berbincang-bincang di lantai rumah hingga pukul 23:00 WITA. Terdakwa menyusul untuk tidur bersama saksi korban Bende dan kedua temannya. Tidak lama kemudian terdakwa memegang erat tangan saksi korban Bende sambil menjepit kedua kaki korban dan memaksa saksi korban untuk membuka pakaiannya, saksi korban Bende memberontak tidak mau namun terdakwa Angga memaki-maki saksi korban dan mengancam akan menikamnya. terdakwa melakukan kegiatan pesrsetubuhan dengan segera, saksi korban pada saat itu memberontak namun terdakwa Angga tetap menyetubuhi saksi korban hingga 5 (lima) menit.

Bahwa pada hari Sabtu, 18 Agustus 2018 sekitar pukul 01.30 WITA terdakwa Angga kembali menyetubuhi saksi korban Bende selama 15 (lima belas) menit, dan sekitar pukul 03.00 WITA terdakwa kembali menyetubuhi saksi korban selama 15 (lima belas) menit. Selanjutnya terdakwa dan saksi korban tertidur hingga pagi. Terdakwa Angga telah melakukan kekerasan seksual sebanyak 3 (tiga) kali dalam suatu waktu, untuk melampiaskan hasrat nafsunya kepada saksi korban Bende.

Argumentasi Dan pertimbangan Hakim

Sebelum Hakim menjatuhkan Putusan Pengadilan Pidana, Majelis Hakim telah mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan persesuaian seluruh keterangan saksi – saksi yang tekah dihadirkan di dalam persidangan dan dibawah sumpah, menurut keterangan dari saksi korban, alat bukti surat, keterangan pembelaan dari terdakwa yang ternyata saling bersesuian satu sama lain dengan tuntutan maka dapat diperoleh fakta Hukum yang relevan. Bahwa benar terdakwa Pujangga Efendi Sadukh alias Angga telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual pada wanita yang belum dewasa dan berusia 17 (tujuh belas) tahun bernama Bende Agustina Here. Dengan motif tipu muslihat dan disengaja.

Memenuhi unsur ke-1 (satu), “setiap orang” menimbang bahwa hal tersebut merujuk pada subjek Hukum atau rechtssubjectterdakwa Pujangga Efendi Sadukh alias Angga adalah laik-laki berusia dewasa yang cakap.

Memenuhi unsur ke-2 (dua) “ melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” menimbang bahwa unsur kedua ini merujuk pada tata cara atau modus operandi yang dilakukan oleh terdakwadengan cara pemaksaan dan akan mengancam menikam saksi korban apabila saksi korban tidak mau menuruti permintaan terdakwa.

Memenuhi unsur ke-3 (tiga) “ unsur beberapa perbuatan berhubungan sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan atau berlanjut” menimbang bahwa yang dimaksudkan dengan perbuatan berhubungan yang diteruskan adalah suatu perbuatan pemaksaann untuk melakukan kegiatan seks oleh salah satu pihak dan dilakukan secara terus menerus tanpa memperdulikan akibat Hukum yang akan diterima.

A nalisis P ertimbangan Hakim

Dengan melalui proses yang panjang di dalam persidangan dan apabila ditinjau dari aspek pertimbangan Majelis Hakim bahwa terdakwa Pujangga Efendi alias Angga dinyatakan telah terbukti secara sah bersalah. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terdakwa telah memenuhi seluruh unsu-unsur dakwaan di dalam 81 Ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan – perubahan atas Undang-Undang Negara Reublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Menimbang bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan ke-2 (dua) yaitu pada Pasal 332 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang– Undang Hukum Pidana.

Per bedaan Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Dengan Nomor : 164/Pid.Sus/2019/PN.Klk dan Putusan Pengadilan Negeri Kupang Dengan Nomor: 249/Pid.Sus/2019/PN.Kpg

Kekerasan seksual pada anak – anak dibawah umur dan masih dalam pengawasan orang tua merupakan suatu kasus yang dapat menyebabkan akibat Hukum fatal bagi para korbannya, hal ini disebabkan karena kondisi psikologis anak yang masih rentan atas suatu kejadian yang dapat mengancam atau membahayakan dirinya, hal tersebut membuat tumbuh kembang anak terganggu baik pertumbuhan fisik maupun pertumbuhan mental pada anak. Dengan adanya kekerasan seksual yang diterima anak akan merasa bahwa masa depannya telah suram karena dirusak oleh orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, hal ini dapat menyebabkan trauma mendalam bagi sang anak di dalam kehidupannya.

Disparitas Putusan Hakim Dalam Prespektif Undang-Undang Perlindungan Anak

Pada penjalasan di atas terdapat perbedaan dalam putusan terutama dalam penjatuhan sanksi pidana antara Pengadilan Negeri Kupang dengan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dalam perkara pidana kekerasaan seksual terhadap anak. Pengadilan Negeri Kupang menjatuhkan pidana berupa sanksi 9 (sembilan) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah) subsider 4 (empat) bulan kurungan. Sedangkan, Pengadilan Negeri Kuala Kapuas menjatuhkan sanksi pidana berupa 14 (empat belas) tahun kurungan penjara dan denda sebanyak 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Bila di telaah secara cermat hukuman pidana yang diberikan kepada terdakwa pada Pengadilan Negeri Kuala Kapuas lebih berat dibandingkan dengan terdakwa pada Pengandilan Negeri Kupang sedangkan perkara pidananya serta Pasal yang digunakan sama.

Dalam praktek peradilan di Indonesia terjadinya disparitas hakim telah lama terjadi dan bukan suatu hal yang baru. Terjadinya disparitas hakim tidak terlepas dari independensi hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini telah diamanatkan dalam Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman manyatakan secara tegas bahwa seorang hakim harus wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadialan yang hidup di masyarakat.ada adagium hukum yang memberi batasan pada hakim. Adagium tersebut berbunyi nullumdelictum, nulla poena sine praevia lege poenali yang selanjutnya dikenal sebagai asas legalitas. Asas legalitas inilah yang menjadi garis demarkasi diskresi hakim.[7]

Penentuan vonis pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim, sehingga hakim sah-sah saja jika menjatuhkan vonis lebih berat atau lebih ringan dari tuntutan jaksa. Meski putusan hakim tersebut terkadang dirasa tidak adil bagi salah satu pihak. Selama putusan tersebut tidak melanggar ketentuan batasan maksimal atau minimal sanksi pidana dalam Pasal yang dituntutkan kepada terdakwa putusan hakim tersebut sah-sah saja. Ada adagium hukum yang berbunyi “summum ius, summa iniuria” bila di alih bahasakan menjadi “keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan tertinggi”. Maksud dari adagium hukum terebut adalah sebuah aturan hukum yang sebanyak mungkin meniadakan ketidak pastian atau semakin tepat dan tajam maka semakin mendesak rasa keadilan sehingga menimbulkan ketidak adilan bagi lain pihak.[8]

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis perbedaan kedua putusan dari Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dengan Nomor: 164/Pid.Sus/2019/PN Klk dan Putusan Pengadilan Negeri Kupang dengan Nomor : 249/Pid.Sus/2019/PN Kpg. Dapat disimpulkan bahwa kedua putusan tersebut berbeda dikarenakan banyak faktor pertimbangan Majelis Hakim yang menjadi latar belakang, melihat dari aturan-aturan yang ada di dalam Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sehingga Majelis Hakim tidak semata-mata menjatuhkan putusannya begitu saja, namun juga melihat dari latar belakang kejadian kasus, profesi terdakwa, umur dari korban serta unsur – unsur apa saja yang memenuhi terdakwa dalam menjalankan aksinya.

Menjatuhkan Pidana Terhadap Pealaku Penyimpangan Seksual Pedofilia (Studi Putusan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS)”. Lampung : Sarjana Hukum Fakultas Hukum, Universitas. Lampung – Sumatera Utara.

[6]Elghidea Andreta, Tahun 2019. Dalam skripsinya yaitu “PERTIMBANGAN Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pealaku Penyimpangan Seksual Pedofilia (Studi Putusan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS)”. Lampung : Sarjana Hukum Fakultas Hukum, Universitas. Lampung – Sumatera Utara.Ibid

[7]Achjani Zulfa, Eva.Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Diterbitkan oleh Lubuk Agung.Bandung.2011.

[8]Van Apeldoorn.Pengantar Ilmu Hukum.Diterbeitkan oleh Balai Pustaka.Jakarta Timur.2015

[9]Marojahan Hutabarat. Tahun 2018, Dalam jurnalnya yaitu “Analisis Perbandingan Putusan Hakim Atas Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana Percabulan Terhadap Anak”, Lampung : Magister Ilmu Hukum S-2, Universitas Lampung – Lampung Sumatera.

References

  1. Khairah Ummah. Tahun 2018. Dalam jurnalnya yaitu “Putusan Hakim Tentang Pencabulan Anak Di Bawah umur di PN. Pekalongan (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kota Pekalongan)”. Vol. 13 No.1. Semarang : Magistrer Hukum S-2 Fakultas Hukum Universitas. Unisula – Semarang.
  2. Ratih Probosiwi Dan Daud Bahransyaf. Tahun 2015 Dalam jurnalnya yaitu, “Pedofilia Dan Kekerasan Seksual : Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak”,Penelitian Jurnal pada B2P3KS Kementerian Sosial RI (Republik Indonesia). Yogyakarta : Nitipuran – Yogyakarta.
  3. Ratih Probosiwi Dan Daud Bahransyaf. Tahun 2015 Dalam jurnalnya yaitu, “Pedofilia Dan Kekerasan Seksual : Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak”,Penelitian Jurnal pada B2P3KS Kementerian Sosial RI (Republik Indonesia). Yogyakarta : Nitipuran – Yogyakarta Hal. 31
  4. Daru Wijayanti, “Melindungi Anak-Anak Dari Pelecehan Seksual”, Diterbitkan oleh Desa Pustaka Indonesia, Temanggung – Jawa Tengah, 2019.
  5. Elghidea Andreta, Tahun 2019. Dalam skripsinya yaitu “PERTIMBANGAN Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pealaku Penyimpangan Seksual Pedofilia (Studi Putusan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS)”. Lampung : Sarjana Hukum Fakultas Hukum, Universitas. Lampung – Sumatera Utara.
  6. Elghidea Andreta, Tahun 2019. Dalam skripsinya yaitu “PERTIMBANGAN Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pealaku Penyimpangan Seksual Pedofilia (Studi Putusan No. 197/Pid.Sus/2018/PN.GnS)”. Lampung : Sarjana Hukum Fakultas Hukum, Universitas. Lampung – Sumatera Utara.Ibid
  7. Achjani Zulfa, Eva.“Pergeseran Paradigma Pemidanaan”. Diterbitkan oleh Lubuk Agung.Bandung.2011.
  8. Van Apeldoorn.“Pengantar Ilmu Hukum”.Diterbeitkan oleh Balai Pustaka.Jakarta Timur.2015
  9. Marojahan Hutabarat. Tahun 2018, Dalam jurnalnya yaitu “Analisis Perbandingan Putusan Hakim Atas Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana Percabulan Terhadap Anak”, Lampung : Magister Ilmu Hukum S-2, Universitas Lampung – Lampung Sumatera.