Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Medicine
DOI: 10.21070/acopen.9.2024.5289

Closed Kinetic Chain Exercise Revolutionizes Knee Osteoarthritis Management


Latihan Rantai Kinetik Tertutup Merevolusi Manajemen Osteoartritis Lutut

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Knee osteoarthritis closed kinetic chain exercise functional activity elderly intervention

Abstract

Knee osteoarthritis, prevalent among the elderly, poses challenges due to cartilage erosion and bone changes. This study examines the effectiveness of adding closed kinetic chain exercise to conventional modalities for improving knee functional activity. Using a quasi-experimental design, knee functional improvement was compared between groups receiving closed kinetic chain exercise and conventional modalities. Results show significant improvement in knee function with closed kinetic chain exercise, suggesting its potential as a safe and beneficial intervention for knee osteoarthritis management.

 

Highlight: 

  1. Elderly Challenge: Knee osteoarthritis impacts functional ability, requiring effective interventions.
  2. Exercise Efficacy: Closed kinetic chain exercise enhances knee function significantly.
  3. Comparative Study: Quasi-experimental design reveals exercise effectiveness versus conventional modalities.

Keyword:  Knee osteoarthritis, closed kinetic chain exercise, functional activity, elderly, intervention

Pendahuluan

Semua orang akan mengalami pertambahan usia dan memasuki fase lanjut usia. Seseorang yang berusia mencapai 55 tahun ke atas disebut Lanjut Usia (Lansia). Dari perspektif kesehatan, kesehatan lansia menurun secara alami atau sebagai akibat dari penyakit. Orang lanjut usia di atas 55-70 tahun yang didiagnosis dengan satu atau lebih penyakit dan mereka yang berusia di atas 70 tahun yang didiagnosis hanya dengan satu penyakit dan disertai dengan disfungsi organ, hambatan psikologis, sosial, ekonomi dan lingkungan disebut studi penyakit geriatri. Penurunan kesehatan yang paling sering menimpa lansia adalah klaster penyakit menular, kronis, dan degeneratif[1]

Osteoarthritis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang sering dijumpai pada usia lanjut. Osteoarthritis adalah penyakit kronis yang ditandai dengan kelainan tulang rawan (cartilage). Tulang rawan adalah bagian dari sendi yang menutupi ujung tulang untuk mendukung gerakan sendi. Tulang rawan yang cacat menyebabkan tulang saling bergesekan, menyebabkan kekakuan sendi, nyeri, dan gerakan terbatas. Osteoartritis yang paling umum pada orang tua adalah osteoarthritis knee karena sendi lutut sering digunakan untuk menopang tubuh. Osteoarthritis pada sendi lutut disebabkan oleh keausan tulang rawan dan pembentukan tulang baru (osteofit) pada permukaan sendi. Ini melemahkan otot dan tendon, yang dapat membatasi gerakan dan menyebabkan rasa sakit[2]..

Prevalensi osteoarthritis knee dan pinggul lebih tinggi daripada sendi lainnya karena sendi ini menanggung beban lebih. Sebuah studi menunjukan prevelensi osteoarthritis knee dan pinggul dan akurasi penggantian sendi dari 7.577 responden di Amerika Serikat menemukan bahwa prevalensi osteoarthritis pinggul adalah 7,4%, dibandingkan dengan wanita (8%), memiliki insiden lebih tinggi daripada pria (6,7%)[3]. Prevalensi osteoarthritis knee adalah 12,2%, lebih tinggi pada wanita (14,9%) dibandingkan pada pria (8,7%) dengan usia. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa prevalensi osteoarthritis knee lebih tinggi daripada osteoarthritis pinggul. Prevalensi osteoartritis di Indonesia mencapai 5% pada usia 61 tahun[4].

Pada penderita osteoarthritis gangguan fungsional disebabkan oleh timbulnya nyeri. Rasa sakit ini terkait dengan kelemahan otot. Otot ini adalah penstabil utama sendi lutut, bertindak sebagai struktur pelindung untuk sendi lutut. Nyeri ini juga mengurangi jangkauan gerak sendi karena sendi jarang digerakkan dengan nyeri ini[5].

Nyeri secara signifikan mengganggu aktivitas fungsional lutut dan digambarkan pada osteoartritis sebagai nyeri tumpul (nyeri tumpul) dan nyeri cubit (nyeri nyeri). Nyeri yang terjadi pada sendi lutut dapat memburuk dengan gerakan dan awalnya berkurang dengan istirahat, memburuk, dan akhirnya mengganggu aktivitas fungsional[5].

Close Kinetic Chain Exercise adalah latihan rentang gerak aktif di mana bagian distal tubuh diperbaiki, seperti gerakan latihan plantar dan CKCE yang meniru gerakan kaki fungsional. kegiatan sehari-hari. Hal ini membuat latihan lebih aman dan lebih mMetodedah untuk pasien yang lebih tua dibandingkan menggunakan latihan lainnya. Latihan CKCE yang ditawarkan adalah mini squats, quadriceps setting exercise (QSE), dan set up and step down[6]

Metode

Metode penelitian yg dipakai pada penelitian ini merupakan kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian quasi eksperimen yaitu dengan menggunakan dua kelompok desain pre dan post test. dengan pre-test dan post-test tanpa memilih secara acak baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan sehingga lebih akurat dalam mengetahui hasil perlakuan[13]. Kelompok kontrol di sini diberikan modalitas konvensional (agen fisik) dan kelompok perlakuan adalah subjek dengan program konvensional ditambah latihan rantai kinetik tertutup. Lokasi penelitian diambil di RS Delta Surya Sidoarjo Jl. Pahlawan No.9, Jati, Kec. Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61211 dan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Shabara Porong, Jl. Raya Porong No.1 Sidoarjo, Jawa Timur (61274). Alokasi waktu yang diambil untuk penelitian adalah dari bulan Februari sampai dengan April 2022, intervensi dilakukan selama 4 minggu dilakukan sebanyak 8 kali dengan pelaksanaan 2 kali/minggu[7].

Variabel yang digunakan adalah variabel bebas (X) pengobatan menggunakan closed kinetic chain exercise, dan variabel terikat (Y) fungsional lutut pada pasien osteoarthritis lutut.

Populasi yang digunakan adalah lansia yang mengalami osteoarthritis lutut, dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non random dengan purposive sampling dengan memilih sampel diantara populasi yang diinginkan oleh peneliti berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan[8]. Perhitungan ukuran sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Pocock, hasil perhitungan berdasarkan pengolahan data didapat jumlah sampel awal sebesar 7,8. Mengantisipasi adanya drop out maka jumlah peserta dari sampel awal ditambah 15% sehingga jumlah sampel menjadi 9. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa setiap kelompok memiliki 9 sampel. Kelompok kontrol terdiri dari 9 orang dan kelompok perlakuan terdiri dari 9 orang[9].

Hasil dan Pembahasan

Dari data lapangan, terlihat bahwa usia termasuk dalam karakteristik fisik subjek penelitian. Karakteristik tema penelitian dirangkum dalam tabel.

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Umur 59.0 62.4
Jenis Kelamin
Laki-Laki 7 (77.8%) 6 (66.7%)
Perempuan 2 (22.2%) 3 (33.3%)
Table 1. Distribusi Umur dan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel diatas hasil uji karakteristik subjek responden pada penlitian ini didapat pada kelompok perlakuan di rata-rata umur 59 tahun, jenis kelamin pada responden kelompok perlakuan 7 perempuan dan 2 laki-laki, kelompok kontrol diperoleh rata-rata umur 62 tahun, jenis kelamin pada responden kelompok kontrol 6 perempuan dan 3 laki-laki.

N P-Value
Grup 1 Pretest 9 0.098
Grup 1 Posttest 9 0.456
Grup 2 Pretest 9 0.988
Grup 2 Posttest 9 0.207
Selisih Peningkatan Grup 1 9 0.159
Selisih Peningkatan Grup 2 9 0.421
Table 2. Normalitas

Pada uji normalitas menggunakan Saphiro wilk testmenunjukan nilai dari 6 variabel diatas p >0.05 yang berarti sebaran data normal

N P-Value
Grup 1 Pretest 9 0.157
Grup 2 Pretest 9
Table 3. Uji Homogenitas

Berdasarkan pengujian homogenitas Levenes test data dikatakan homogeny apabila >0.05, dan jika signifikan <0.05 maka data dikatakan tidak homogeny. Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa hasil uji homogenitas dari data fungsional sebelum latihan grup 1 dan sebelum latihan grup 2 didapatkan nilai P-Value = 0,157 yang berarti data homogen.

N Mean Std. Deviation P-Value
Grup 1 Pretest 9 69.38 9.834 0.001
Grup 1 Posttest 9 40.27 8518
Table 4. H asil uji beda Pre -test dan Post-test Womac pada Kelompok Perlakuan

Berdasarkan hasil uji paired sampel t-test dengan SPSS 24 menunjukan mean dari pre-test kemampuan fungsional yang diukur denganwomac adalah 69.38 setelah diberikan latihan Closed Kinetic Chain Exercise selama 4 minggu dengan frekuensi pertemuan 2 kali dalam seminggu dengan total pertemuan 8 kali, nilai mean dari fungsional kelompok perlakuan ada selisih menjadi 40.27 saat post-test[10]. Hasil analisis statistik menggunakan paired sample t-test didapatkan nilai p-value= 0,001. Hasil tesebut menyatakan terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pre-test dan post-test fungsional pada kelompok perlakuan latihan Closed Kinetic Chain Exercise, adanya peningkatan fungsional knee[11].

Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari hipotesis menunjukkan adanya peningkatan fungsional lutut pada pasien osteoarthritis. Dari hasil post test dengan angket womac setelah diberikan 8 kali pertemuan pemberian latihan Close Kinetic Chain Exercise, hasil analisis statistik dengan menggunakan paired-sample t-test diperoleh p-value = 0,001. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor fungsional pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan yang melakukan Close Kinetic Chain Exercise, yang artinya latihan tersebut dapat meningkatkan fungsional lutut[12]. Nilai pre-test fungsional lutut diperoleh nilai mean 69,38 dan nilai posttest fungsional lutut didapatkan nilai mean 40,27 artinya ada perubahan peningkatan fungsional lutut pada pasien osteoarthritis lutut setelah diberikan Close Kinetic Chain Exercise[13]’

Mekanisme Latihan Close Kinetic Chain meningkatkan proprioseptif pada sendi lutut, menghasilkan stabilitas sendi yang lebih besar. Dengan meningkatkan stabilitas sendi, Anda dapat meningkatkan koordinasi sendi dan sensasi gerakan[14]. Perubahan kontraksi otot selama latihan Close Kinetic Chain merangsang organ tendon Golgi, yang membawa informasi tentang perubahan mekanis yang diteruskan ke serat aferen, terutama berguna untuk meningkatkan fungsi osteoarthritis knee[15] Karena latihan close kinetic chain dekat pada dasarnya adalah latihan yang terutama memperkuat otot agonis dan antagonis secara bersamaan, latihan ini lebih fisiologis untuk ekstremitas bawah. Teknik Latihan Close Kinetic Chain adalah rentang gerak yang cocok untuk area anatomi sendi lutut berikut: Fleksibilitas dan kekuatan yang luar biasa mendukung gerakan selama aktivitas sehari-hari[15].

Simpulan

Berdasarkan hasil peningkatan nilai WOMAC penelitian menunjukkan bahwa Closed Kinetic Chain Exercise meningkatkan fungsi lutut pada lansia.Hasil uji t sampel berpasangan diperoleh nilai p = 0,001. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor fungsional pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan Closed Kinetic Chain Exercise, peningkatan fungsional lutut.

References

  1. F. A. Djawas, "Closed kinetic chain exercisee fektif dalam meningkatkan kemampuan fungsional pada osteoartritis lutut," J. Ilm. Fisioter., vol. 3, no. 2, 2020, pp. 1–7.
  2. T. Marlina, "Efektivitas latihan lutut terhadap penurunan intensitas nyeri pasien osteoarthritis lutut di Yogyakarta," J. Keperawatan Sriwijaya, vol. 2, no. 1, 2015, pp. 44–56.
  3. I. Ismaningsih and I. S. I. Selviani, "Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus osteoarthritis genue bilateral dengan intervensi neuromuskuler taping dan strengthening exercise untuk meningkatkan kapasitas fungsional," J. Ilm. Fisioter., vol. 1, no. 2, 2018.
  4. I. Susilawati, K. Tirtayasa, and S. I. Lesmana, "Latihan close cinetic chain lebih baik dari pada open kinetic chain untuk meningkatkan kemampuan fungsional pada osteoarthritis lutut setelah pemberian microwave diathermy (MWD) dan nerve stimulation (TENS)."
  5. B. O. Adegoke et al., "The effectiveness of open versus closed kinetic chain exercises on pain, function and range of motion in patients with knee osteoarthritis," Balt. J. Heal. Phys. Act., vol. 11, no. 3, 2019, pp. 39–52.
  6. F. A. Djawas and W. R. Isna, "Closed kinetic chain exercise efektif dalam meningkatkan kemampuan fungsional pada osteoartritis lutut," J. Ilm. Fisioter., vol. 3, no. 2, 2020, pp. 1–7.
  7. G. S. Firestein et al., Eds., "Kelley's Textbook of Rheumatology," 8th ed. Philadelphia, PA: Saunders, 2009, pp. 1481–1506.
  8. M. Handb Dis Burdens Qual Life Meas Osteoarthritis, "Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index," 2010, pp. 4352–4352.
  9. Hardiwinoto, "Ilmu Kesehatan Masyarakat," Yogyakarta, 2011.
  10. B. Heidari, "Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and features: Part I," Casp. J. Intern. Med., vol. 2, no. 2, 2011, pp. 205–212.
  11. P. A. Houglum and D. B. Bertoti, "Brunnstrom's Clinical Kinesiology," 6th ed. Philadelphia, PA: F.A Davis Company, 2012.
  12. K. Imayati, "Laporan kasus osteoartritis," Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, 2011.
  13. Sugiyono, "Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D," Bandung: Alfabeta, 2010.
  14. Kemenkes RI, "Analisis lansia di Indonesia," Pus Data dan Inf Kementeri Kesehat RI, 2017.
  15. R. Lateef, "Effects of a 12-week neuromuscular electrical stimulation and kinetic chain exercises on knee osteoarthritis in Nigeria," Thesis, Federal Medical Centre Abeokuta, 2018.