Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.5103

Suboptimal Role of Mediators in Sidoarjo Religious Court: Implications for Divorce Rates


Kurang Optimalnya Peran Mediator di Pengadilan Agama Sidoarjo: Implikasinya terhadap Angka Perceraian

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Mediators Religious Court divorce cases role effectiveness increasing number

Abstract

The aim of this normative Juridical research study was to determine the role of mediators in the Sidoarjo religious court in reducing the number of divorce cases. The study found that the role of mediators was less than optimal due to the small number of mediators available, with only 5 mediators responsible for handling thousands of cases. In 2022, however, there was a notable increase in the number of successfully mediated divorce cases, with 91 cases successfully mediated in July and 80 in August. This demonstrates the potential benefits of increasing the number of mediators in the Sidoarjo religious court, as it could lead to more effective mediation and fewer divorces. These findings have important implications for the Sidoarjo Religious Court and suggest that increasing the number of mediators could be a viable strategy for reducing the number of divorce cases.

Highlights:

  1. The study highlights the suboptimal role of mediators in the Sidoarjo religious court due to the lack of available mediators, with only five mediators responsible for handling thousands of divorce cases.
  2. The research demonstrates the potential benefits of increasing the number of mediators in the Sidoarjo religious court, as evidenced by the increasing number of successfully mediated divorce cases in 2022.
  3. The findings suggest that increasing the number of mediators could be an effective strategy for reducing the number of divorce cases in Sidoarjo, which has important implications for the Sidoarjo religious court and its efforts to minimize divorce rates.

Keywords: mediators, religious court, divorce cases, role effectiveness, increasing number

Pendahuluan

Perkawinan ialah “hubungan lahir batin antara seseorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membangun keluarga atau rumah tangga yang bahagia damai dan tentram selamanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam perkawinan, sepasang suami istri harus melakukan kerjasama. Kepala rumah tangga yaitu seorang ayah atau suami bertanggung jawab untuk memenuhi kehidupan keluarganya dan ibu atau istri bertanggung jawab mengurus kebutuhan keluarga, suami dan anak. Akan tetapi terkadang seorang istri dalam perannya sebagai ibu rumah tangga juga membantu suaminya dalam mencari nafkah, jadi mereka saling bekerjasama satu sama lain untuk menghidupi kebutuhan keluarganya.[1]

Namun dalam sebuah perkawinan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diimpikan, adakalanya dalam perkawinan timbul sebuah percecokan, dan segala permasalahan, sehingga mengakibatkan pertengkaran yang hebat antara keduanya dan sampai bisa mengucap kata cerai, dengan alasan hubungan rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi. Bagi kedua orang tua yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahnnya, mungkin hal tersebut tidak berdampak besar pada diri mereka dan masa depan mereka. Namun, akibat dari sebuah perceraian kedua orang tua, anak-anaklah yang pertama akan menderita. Kehadiran orang tua dalam perkembangan mental anak sangatlah penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi orang tua, maka anak akan terganggu dalam proses tumbuh kembangna, kehilangan hak untuk dibimbing, disayangi diperhatikan, dibimbing, dan hak-hak lainnya, inilah yang disebut Parental Deprivation. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurangnya kasih sayang dari orang tua berisiko tinggi anak akan mengalami gangguan perkembangan kepribadian, yaitu mental, psiko-emosional, dan bahkan perkembangan psikososial dan spiritual.

Menariknya, dalam total kasus perceraian yang telah diajukan ke pengadilan agama, kontributor terbesar ada tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan yang paling tinggi di Jawa Timur. Pada tingginya jumlah kasus perceraian Sidoarjo menduduki urutan ke-5. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Noor Fatimah Mediawai, S.H., M.H. mengambil judul “Pengaruh Bekwaamheid dalam Kasus Perceraian di Indonesia : Belajar dari Sidoarjo”. Permasalahan yang dibahas pana penelitian ini yaitu tentang pengaruh bekwaamheid dalam banyaknya jumlah kasus di Sidoarjo pada Tahun 2016-2019. Sasaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pengadilan Agama Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan data dengan menggunakan studi dokumen, wawancara, serta kuesioner dan jenis data yang diambil dalam penelitian ini dilakuakan secara kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan penelitian hukum sosiologis, yang sumber datanya melingkupi data primer, sekunder, serta tersier. Kesimpulan penelitiannya yaitu : bahwa bekwaamheid “kedewasaan umur” tidak menjadi factor paling berpengaruh dalam kasus perceraian di Sidoarjo, karena hamper semua yang kasunya perceraian mereka yang sudah cukup umur, akan tetapi yang menjadi factor tentang meningkatnya jumlah kasus perceraian di Sidoarjo yaitu tentang factor ekonomi dan factor orang ketiga didalam hubungan rumah tangga, yang semakin meningkat di tahun 2016-2019. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Mercy Cidia Ayu Irani dengan mengambil judul “Peran Signifikan Pelakor atau Pebinor dalam Sebaran Jumlah Kasus Perceraian di Sidoarjo”. Populasi dalam penelitian ini adalah dengan mengamati fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat. Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitaif, yang nantinya pendekatan masalah ini akan mewujudkan data yang deskriptif tentang watak yang sedang observasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : factor dari banyaknya kasus perceraian yaitu factor zina yang berkaitan adanya kehadiran oarng ketiga yang menjadi penyebab utama kasus perceraian di Sidoarjo.[2]

Di Kabupaten Sidoarjo tingginya angka perceraian pada tahun 2016-2020 yang menjadi latar belakang penelitian ini, pada tahun 2016 jumlah kasusnya mencapai 3962 kasus perceraian, tahun 2017 mencapai 4202 kasus, tahun 2018-2019 dengan jumlah kasus yang sama akan tetapi lebih meningkat angka kasusnya yaitu 4454, sedangkan ditahun 2020 bukannya kasus perceraian bisa menurun tetapi malah semakin meningkat jumlahnya menjadi 6034 kasus. Factor yang menjadi penyebab meningkatnya jumlah kasus dari tahun 2016-2020 jika dilihat dari kedua penelitian terdahulu yaitu : Zina; Mabuk; Judi; Meninggalkan Salah Satu Pihak/Pasangan; Dihukum Penjara; Poligami; Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Perselisihan dan Pertengkaran; Kawin Paksa; Murtad dan Ekonomi.[3]

Dari penelitian terdahulu sebagai mana disebutkan diatas fokus penelitiaan adalah pada jumlah kasus dan factor-faktor pemicu perceraian disidoarjo. Namun penelitian-penelitian tersebut belum menerapkan bagaimana peran mediator dalam memediasi kasus perceraian. Dimana harapannya dengan mediasi tersebut dapat menguangi jumlah kasus perceraian. Apalagi peran mediator disini sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam Perma No. 1 Tahun 2016 tentang mediasi. Berangkat dari hal tersebut, maka peneliti dalam hal ini mengangkat isu hukum terkait bagaimana efektivitas peran mediator pengadilan agama sidoarjo dalam meminimalisir jumlah kasus perceraian [1]

Metode

Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif, khususnya kajian dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.[4] Pendekatan hukum dan non hukum digunakan dalam penelitian masalah ini. Sumber data yang digunakan adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang (Perkawinan), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 terkait Peradilan Agama, Peraturann Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur mediasi di pengadilan. Sebagai suproting data peniliti menggunakan perangkat kuisioner yang berisi beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh pihak Pengadilan Agama Sidoarjo.

Hasil dan Pembahasan

Pengadilan Agama mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang berbeda-beda dengan badan pengadilan lainnya. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yaitu kekuasaan pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman bertugas memperjuangkan penegak hukum dan keadilan. Terutama bagi rakyat yang mencari keadilan dari perkara-perkara tertentu. Khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, serta ekonomi Syariah. Dengan kewenangan tersebut memberikan dasar hukum kepada pengadilam agama untuk menyelesaikan perkara, termasuk perceraian dikalangan muslim. Kewenangan Pengadilan Agama dibidang perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 49 huruf a UU No.3 Tahun 2006 yaitu:[5]

Dari alasan-alasan point 8 yaitu pengadilan agama boleh menjatuhkan putusannya jika alasan-alasan tersebut cukup dan para pihak tidak bisa rukun kembali, maka pengadilan agama menjatuhkan putusannya tentang izin bagi suami untuk mengiklarkan talak. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum, maka suami mengiklarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama dan dihadiri oleh istri ataupun dihadiri oleh kuasanya.

  1. Beristri lebih dari satu;
  2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
  3. Dispensasi Kawin
  4. Pencegahan Perkawinan
  5. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
  6. Pembatalan Pekawinan
  7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri artinya pengadilan agama mendengarkan pangaduan dari pasangan yang melalaikan kewajibannya. Kewajiban suami istri adalah menunjang tinggi kehormatan pasangannya dan mendidik anak-anaknya baik jasmani, rohani, intelektual, maupun agamanya. Seorang suami wajib menafkahi keluarganya sesuai dengan penghasilannya.
  8. Perceraian Karena Talak, pengadilan agama mempunyai kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan seseorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya. Permohonan tersebut diajukan secara verbal maupun secara tertulis kepada pihak pengadilan agama yang berwilayah sesuai dengan tempat tinggal istri, akan tetapi harus disertai alasan-alasan sesuai pasal 116 KHI yaitu salah satu pihak berbuat zina, judi, mabuk dan lain-lain yang perbuatan tersebut tidak bisa dihilangkan; salah satu pihak baik istri maupun suami meninggalkan salah satu pihak selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa seizin yang lain dan tanpa alasan yang jelas; salah satu dari pihak melakukan penganiayaan; salah satu dari pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun; salah satu dari pihak mempunyai penyakit atau cacat karena hal tersebut salah satu pihak tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; antara suami istri terus menerus terjadi percecokan atau pertengkaran serta perselisihan dan tidak ada harapan untuk rukun atau Bersama-sama kembali, murtad menjadi salah satu alasan atau penyebab terjadinya ketidak rukunan di dalam rumah tangga.
  9. Gugatan cerai, seorang istri bisa mengajukan gugat cerai dan pengadilan agam berwenang mengadili gugatan percerain yang di ajukan oleh istri, yang daerah hukumnya sesuai wilayah tempat penggugat, kecuali jika seorang istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami, untuk kepentingan pemeriksaan hakim maka bisa memelrintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Gugatan perceraian dengan alasan bahwa suami istri terus menerus terjadi pertengkaran pertengkaran serta perselisihan, hal tersebut yang membuat bahwa tidak adanya harapan lagi untuk kembali bersama membenahi rumah tangga. Maka pengadilan agama bisa menerima jika alas an tersebut sudah cukup jelas dan juga setelah mendengar dari pihak suami ataupun istri seta pihak keluarga dan orang-orang terdekat.

Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Pengadilan Agama termasuk pengadilan agama Sidoarjo tidak boleh menolak permohonan perceraian yang masuk. Di Pengadilan Agama Sidoarjo untuk kasus perceraian dari awal tahun 2020 sampai dengan tahun sekarang tidak ada angka penurunan sekalipun, akan tetapi pihak pengadilan agama sidoarjo tentunya akan memberikan upaya dengan cara mediasi. Mediasi internal di lakukan dalam ruang sidang, dimana hakim mempunyai kewajiban untuk memediasi para pihaknya. Kemudian ketika kedua belah pihak telah hadir, mereka akan dimasukan ke ruang mediasi. Di dalam ruang mediasi ada mediator khusus yang bertugas untuk memediasi kedua belah pihak. Tugasnya adalah memberikan sebuah wejangan, nasihat religius melalui pendekatan agama melalui nasihat serta masukan yang positif supaya mereka rujuk kembali. Tetapi kembali lagi pada para pihak. Meraka ingin melakukan rujuk kembali atau memang sudah dibatas akhir ingin tetap bercerai. Persentase pihak yang mengajukan perkara dengan pihak yang mererima masukan mediator hanya sekitar 5 persen sampai 10 persen yang bisa menerima masukan masukan dari mediator.

Berikut tabulasi jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo tabel 1.

Tabel 1 . Jumlah Kasus Peceraian di Bulan Juli sampai Bulan Agustus Tahun 2022
No. Bulan Perceraian Berhasil Dimediasi Yang Tidak Berhasil Dimediasi
1. Juli 91 4 87
2. Agustus 80 4 76
Table 1.

Dari table 1 untuk kasus dibulan Juni adalah 91, yang berhasil dimediasi hanya 4 dan sisaya 87 tidak berhasil dimediasi. Sedangkan bulan Agustus jumlah kasus 80, yang berhasil dimediasi 4, sisanya 76 tidak berhasil dimediasi.[6]

Berikutnya Kembali kepada mediator. Mediator bisa seorang hakim ataupun pihak lain yang harus mempunyai sertifikat mediator. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Setiap mediator harus wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator.[7]

Di Pengadilan Agama Sidoarjo, semua mediator sudah bersertipikat. Mediator non-hakim yaitu pihak yang netral untuk membantu para pihak dalam proses perundingan untuk mencari berbagai solusi yang memungkinkan penyelesaian tanpa memaksakan sebuah penyelesaian.

Tahapan tugas mediator dalam menjalankan fugsinya didalam Pasal 14 menurut Perma No. 1 Tahun 2016 yaitu :[7]

  1. Saling memperkenalkan diri baik mediator dan pasangan;
  2. Menguraikan maksut, tujuan, dan tentang mediasi kepada pasangan;
  3. Menerangkan posisi dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;
  4. Membuat aturan terkait pelaksanaan mediasi bersama para pasangan;
  5. Menerangkan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan terkait mediasi tanpa perlu dihadiri pihak yag lain;
  6. mengatur jadwal mediasi bersama para pasangan;
  7. Mengisi formulir terkait jadwal mediasi;
  8. Memberikan kesempatan untuk menyampaikan permasalahan dan mengusulkan agar para pasangan bisa rujuk;
  9. menginventarisasi permasalahan dan menyiapkan pembahasan berdasarkan skala proritas;
  10. memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk :Meneliti dan menggali kepentingan para pasangan; Mencari solusi sebagai pilihan dalam menyelesaiakan masalah, untuk para pasangan; dan Bekerja sama untuk menyelesaiakan masalah.
  11. Membuat serta merumuskan untuk mencapai kesepakatan perdamaian bagi para pasangan;
  12. Menyampaikan berhasil atau tidaknya mediasi dan atau tidak dapat dilaksankannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara;
  13. Menerangkan bahwa salah satu pasangan tidak mempunyai itikad baik dan menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara;
  14. Tugas lain dalam menjalankan fungsinya.

Secara prosedural, tahapan proses mediasi dilakukan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. I tahun 2016, menurut Pasal 24 ayat (2), (3)dan ayat (4) yaitu proses mediasi berlangsung paling lama 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi; atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 hari terhitung sejak berakhir jangka waktu, sebagaimana dimaksut pada ayat (2); dan mediator atas permintaan para pihak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu mediasi sebagaimana dimaksut pada ayat (3) kepada hakim pemeriksa perkara disertai dengan alasan. Hal ini berbeda dalam penerapan Prosedur mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dimana dilembaga tersebut penerapan prosedur mediasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini disebabkan salah satunya adalah sebagai hakim memeriksa perkara yang terkadang jadwal sidang tersebut bentrok dengan sidang yang lainnya. Dalam analisis peniliti, peran mediator dapat di ukur salah satunya dengan penerapan prosedur mediasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam lapangan aturan tersebut nyatanya tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016. Pada prosedur mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo, terkait Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan proses mediasi hanya berlangsung 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi, hal tersebut tidak mungkin diterapkan dilapangan. Karena jika itu diterapkan kemungkinan akan terjadi bentrok dengan jadwal sidang. Misal katakan untuk lamanya waktu mediasi ada 30 hari kerja jika itu diterapkan tidak mungkin sampai, karena mediator juga mengikuti sidang (adanya mediasi itu karena adanya sidang) jadi mediasi itu ada yang satu kali cukup ada yang dua kali cukup, bisa lebih jika kasusnya terkait waris. Maka tidak mungkin untuk mengunggu 30 hari kerja (akan tetapi 30 hari kerja itu dilaksanakan jika dibutuhkan saja). Jadi tidak semua penerapan prosedur harus sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, akan tetapi juga tidak boleh menyimpang dari aturan tersebut. Tapi mediasi berapapun akan tetap dilaksanakan sebelum perkara diputus selama para pihak masih ada upaya damai dan itikat baik.

Penerapan SOP Mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo sejauh ini penerapannya belum sesuai dengan SOP yang ada. Karena mediator biasanya melaksanakan secara formal saja dalam mediasi, sebab banyaknya perkara yang harus di hadapai. Hal tersebut, tidak ada bedanya jika memakai lawyer dalam proses mediasinya. Karena jika pasangan memang sudah berkeinginan bercerai maka proses mediasinya pun juga cepat. Kebanyakan para pihak yang memilih lawyer untuk mengurus perceraian, karena mereka memang ingin cepat bercerai tanpa harus susah panyah mengurusnya.[8] Tentuya hal tersebut akan beda lagi jika para pihak memang masih ada rasa saling menyanyangi, ini tentu akan memudahkan para mediator dan lawyer dalam mendamaikan para pihak untuk bisa rujuk kembali.

Dalam proses mediasi para mediator memiliki beberapa kendala yang yang berbeda-beda dalam mendamaikan para pihak, karena setiap para pihak mempunyai pemikiran dan karakter yang berbeda-beda, hal tersebutlah yang membuat para mediator mengalami kesulitan ketika memberikan sebuah nasihat dan pemahaman serta pengarahan kearah yang lebih baik untuk kedua belah pihak agar tidak bercerai apalagi ketika memberikan pengarahan, nasihat, serta pemahaman kepada para pihak yang latar pendidikannya yang rendah, maka mediator mencoba memahami latar belakang para pihak dalam menjelasakan menggunakan Bahasa yang lebih mudah dipahami untuk para pihak dalam proses mediasi.[9]

Waktu yang diperlukan dalam proses mediasi adalah tergantung dari para pihak, ada yang sampai 30 menit, 1 jam bahkan ada yang berhari-hari untuk proses mediasi. Pada proses mediasi sendiri mediator memberikan waktu dalam hal ini adalah waktu untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk bercerai, dan para pihak dipersilahkan untuk melakukan mediasi ulang secara pribadi akan tetapi harus dikomunikasikan lagi kepihak mediator terkait waktu dan tempatnya. [10]

Di Pengadilan Agama Sidoarjo dengan jumlah mediator 5 orang. Tidak semua mediator datang, karena mereka mempunyai jadwal tersendiri. Hal tersebut dikarenakan juga Ruang Meidasi yang terbatas. Di Pengadilan Agama Sidoarjo untuk ruangan mediasi ada ada 2 ruangan. Untuk per harinya ada 2 mediator yang harus memediasi. Mediasi sendiri dalam satu hari tidak tentu, misal 10 sampai 20 pasangan, terkadang juga tidak ada yang dimediasi. Karena rata-rata di Pengadilan Agama Sidoarjo itu perstek. Perstek sediri artinya suami atau istri yang tidak hadir pada saat mediasi. Tentunya, jika dbandingkan dengan jumlah kasus perceraian yang masuk ke Pengadialan Agama Sidoarjo, upaya efektivitas mediasi ini tidaklah optimal. Contoh. Jika perhari ada 100 pasangan yang harus dimediasi, berapa lama per pasangan membutuhkan waktu? Karena mediator juga perlu waktu untuk jeda dan istirahat. Jika mediatornya kelelahan, maka upaya mediasiakan semakin tidak optimal. Sehingga sangat sulit meminimalisir jumlah pasangan yang rujuk kembali. Pengadilan Agama memang bisa menolak perkara yang masuk. Namun, peran mediator sangat penting diharapkan untuk meminimalisir jumlah pasangan yang bercerai.

Ketidak optimalan efektivitas peran mediator di pengadilan Agama Sidoarjo ditunjang juga lantaran beberapa kendala. Kendala yang dimaksut adalah setiap pasangan yang melakukan mediasi tentunya mereka memiliki karakter yang berbeda-beda. Karena, beberapa pasangan yang memang dari rumah sudah beritikat atau sudah bulat ingin bercerai maka mediatorpun tidak bisa memaksa meskipun mediator sudah memberi nasihat-nasihat.

Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan yaitu: mediasi perceraian di pengadilan Agama Sidoarjo, belum efektif karena belum sesuai dengan maksut diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan proses mediasi hanya berlangsung 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Untuk di Pengadilan Sidoarjo sendiri penerapan prosedur mediasi tidak semua dijalankan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016. Karena jika itu diterapkan kemungkinan akan terjadi bentrok dengan jadwal sidang. Misal katakan untuk lamanya waktu mediasi ada 30 hari kerja jika itu diterapkan tidak mungkin sampai, karena mediator juga mengikuti sidang (adanya mediasi itu karena adanya sidang) jadi mediasi itu ada yang satu kali cukup ada yang dua kali cukup, bisa lebih jika kasusnya terkait waris. Waktu 30 hari kerja tersebut akan diterapkan dalam keadaan tertentu saja. Tentunya hal itu juga tidak menyimpang dari aturan tersebut. Tapi mediasi berapapun akan tetap dilaksanakan sebelum perkara diputus selama para pihak masih ada upaya damai dan itikat baik. Penerapan SOP Mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo, jika dilihat dri dua sisi terkait dari pihak mediator ataupun lawyer dalam mendamaikan para pihak tidak ada perbedaan. Tujuan seorang mediator mapaun Lawyer adalah sama-sama ingin mendamaikan. Berbeda lagi jika memang bersepakat ingin bercerai. Karena kebanyakan para pihak memakai jasa lawyer memang ingin cepat-cepat bercerai tanpa adanya susah panyah dalam mengurus perceraian. Pekembangan jumlah kasus di Pengadilan Agama Sidoarjo tidak mengalami penurunan di setiap tahunnya bahkan malah semakin meningkat di setiap tahunnya. Pihak Pengadilan Agama Sidoarjo dalam hal ini tidak bisa meminimalisir jumlah kasus perceraian karena pihak Pengadilan Agama Sidoarjo tidak boleh menolak setiap permohonan yang masuk akan tetapi Pengadilan Agama Sidoarjo tentunya akan memberikan upaya agar para pihak untuk tidak terjadi perceraian. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan proses mediasi oleh Hakim dan Mediator. Dengan jumlah mediator di pengadilan Agama Sidoarjo berjumlah mediator ada 5 orang dan tidak semua mediator datang, karena meraka mempunyai jadwal tersendiri, hal tersebut juga dikarenakan ruang mediasi yang terbatas. Hanya 2 ruangan mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo, dibandingkan dengan jumlah kasus perceraian yang mencapai ribuan, maka peran mediator tentu tidak akan optimal. Dari hal tersebut juga bisa dilihat jumlah berhasilnya pelaksanaan mediasi dibulan Juli hanya 4 dari total 91 kasus perceraian, dan dibulan agustus hanya 4 yang berhasil dimediasi dari total 81 kasus perceraian.

Saran Peneliti adalah agar Pengadilan Agama Sidoarjo menambah jumlah mediatornya, agar berkesesuaian rasionya dengan jumlah kasus yang ditangani. Bisa juga Pengadilan Agama Sidoarjo berkerja sama dengan lembaga lain untuk secara masiv memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait dampak perceraian terutama bagi anak.

Ucapan Terima Kasih

Saya ucapkan terimaksih kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan kedua orang tua saya atas dukungan terhadap penelitian ini.

References

  1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI]. Accessed: Sep. 15, 2022. [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974
  2. N. F. Mediawati, E. W. Maryam, S. B. Purwaningsih, R. R. Azizah, and M. O. Cassey, “Bekwaamheid Effect in the Distribution of Divorce Cases in Indonesia: A Lesson from Sidoarjo:,” Rechtsidee, vol. 6, no. 2, Art. no. 2, 2020, doi: 10.21070/jihr.2020.6.694.
  3. M. C. A. Irani and N. F. Mediawati, “Significant Role of Third Person in the Distribution to the Number of Divorce Cases in Sidoarjo:,” Indones. J. Law Econ. Rev., vol. 12, p. 10.21070/ijler.v12i0.732-10.21070/ijler.v12i0.732, Aug. 2021, doi: 10.21070/ijler.v12i0.732.
  4. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
  5. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama [JDIH BPK RI]. Accessed: Sep. 15, 2022. [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40154/uu-no-3-tahun-2006
  6. R. Astutik, “Jumlah Percerahan di Bulan Juli dan Agustus 2022 dan Tingkat Keberhasilan Mediasi (Interview dengan Mediator 1 PA. Sidoarjo),” Aug. 29, 2022.
  7. Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan [JDIH BPK RI]. Accessed: Sep. 15, 2022. [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/209641/perma-no-1-tahun-2016
  8. R. Arisandi, “Perbedaan Pengurusan SOP mediasi diurus Sendri dengan dibantu Advokat (Interview dengan Advokat),” Aug. 29, 2022.
  9. Heru, “Waktu yang Diperlukan dalam Mediasi (Interview dengan Staff PA. Sidoarjo),” Aug. 28, 2022.
  10. Syatibi, “Kendala-Kendala dalam Mediasi (interview dengan Mediator 2 PA. Sidoarjo),” Aug. 29, 2022.