Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.3924

The Views of the Mufassirs About the Basics of Moral Education in Surah AL-A'raf Verses 199-202


Pandangan Para Mufassir Tentang Dasar Pendidikan AKhlak Dalam Surat AL-A'raf Ayat 199-202

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Moral Education Al-A'raf verses mufassir opinion library research descriptive approach

Abstract

The purpose of this study is to determine the basis of moral education contained in the letter Al-A'raf verses 199-202. By knowing the basics of moral education, educators can be more careful in educating. In this case, the researcher provides answers to the questions: What is the opinion of the mufassir regarding the basis of moral education contained in the letter Al-A'raf verses 199-202. The type of research used by researchers is library research, for the method used is an analytical method taken from various sources of data that have been collected. This study uses a descriptive approach that is to explain the meanings contained in each verse and analyze the meaning contained in the secondary data so that the results are obtained. The results of the research findings show that the basics of moral education are: (1) forgiving, doing good and turning away from stupid people (2) holding anger and taking refuge in Allah (3) piety to Allah (4) being disobedient in error (religious value).

Highlights:

  • Forgiveness, goodness, and avoidance of ignorant people: The basis of moral education in Al-A'raf verses 199-202 emphasizes the importance of forgiving others, doing good deeds, and staying away from ignorant individuals who may lead one astray.

  • Controlling anger and seeking refuge in Allah: Another aspect highlighted in these verses is the need to control anger and find solace in seeking refuge with Allah, emphasizing self-discipline and seeking spiritual guidance in handling emotions.

  • Piety towards Allah and avoiding disobedience: The verses stress the significance of piety towards Allah and maintaining obedience to Him, emphasizing the religious value and the need for moral conduct based on divine guidance.

Keywords: moral education, Al-A'raf verses, mufassir opinion, library research, descriptive approach

Pendahuluan

Proses pembentukan kecakapan pada anak secara intelektual maupun emosional mengenai kehidupan merupakan pandangan John Dewey mengenai pendidikan. Tujuan pendidikan dalam hal ini sebagai generasi penerus di kemudian hari sehingga dapat memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang telah di pelajari dengan cara mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan sehingga dapat meneruskan estafet kepemimpinan dan cita-cita bangsa [4]

Pendidikan merupakan sebuah bimbingan yang diimplementasikan dengan tujuan agar anak cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Peranan pendidikan sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh, mandiri, memiliki spiritual yang baik serta menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Dengan mengenyam pendidikan manusia akan memahami tujuan ia diciptakan, serta akan memahami bahwa manusia memiliki kedudukan yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan demi terciptanya proses pembelajaran agar peserta didik mampu mengembangkan potensinya supaya memiliki kemampuan spiritual yang baik, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia, serta keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, agamanya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan akhlak adalah ikhtiar atau usaha seseorang untuk mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dan berakhlakul karimah sesuai dengan ajaran islam. Dalam islam akhlak merupakan sesuatu yang sangat penting, ia memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menjadikan akhlak sebagai baromater keimanan seseorang. Beliau bersabda:

أَكْمَلُ اْلمُؤمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dalam hadits ini Nabi menjelaskan bahwa akhlak berkaitan erat dengan iman seseorang. Ketika segala sesuatu ditujukan untuk ibadah dan ridho Allah yang dijadikan orientasinya, maka ia akan meninggalkan segala sesuatu yang dapat menghalanginya untuk mencapai ridho Allah.

Akhlak merupakan perbuatan maupun tindakan yang dilakukan secara spontan dan mendalam tanpa pemikiran, namun perbuatan tersebut sudah melekat dalam jiwa seseorang, sehingga tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi dalam melakukan perbuatan tersebut.

Quraisy shihab membagi ajaran al-Qur’an menjadi tiga aspek diantaranya aspek aqidah (ajaran mengenai keimanan dan keesaan Allah serta percaya akan adanya hari pembalasan), kedua aspek syari’ah (mengenai hubungan antara manusia dengan tuhannya atau sesamanya), ketiga aspek akhlak (mengenai norma-norma keagamaan dan sosial yang harus diterapkannya dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat).[1]

Di era 4.0 ini sering ditemukan secara nyata dalam kehidupan maupun di dunia maya berita yang tidak mengenakkan hati, mengenai krisis moral dan akhlak. Arus modernisasi yang masuk melalui media masa dan media sosial sangat masif belakangan ini. Budaya barat yang masuk melalui media teknologi memberikan dampak yang cukup besar pada pendidikan akhlak remaja. Akibatnya berbagai kasus kriminal dapat kita jumpai diantaranya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan boarding school kepada beberapa santriwatinya, baku hantam antar remaja, korupsi dan berbagai perilaku-perilaku menyimpang lainnya.

Pendidikan sangat menentukan arah hidup seseorang dalam Islam, oleh karenanya Islam mewajibkan bagi seorang muslim dan muslimah untuk menuntut ilmu.Melihat keadaan dunia semakin modern, pendidikan akhlak justru semakin menurun. Berbagai kenakalan remaja dapat dijumpai di sekolah dan dimanapun itu. Banyak tindakan kriminal yang beredar. Seseorang yang terlalu fokus dengan dirinya sendiri dan kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. Salah satu penyebab terjadinya masalah ini adalah kurangnya pendidikan akhlak. Maka, diperlukan landasan yang baik agar berhasil dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagai makhluk yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya, maka setiap orang khususnya seorang pendidik harus mampu menjadi teladan yang baik kepada anak didiknya berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Hadits agar tercipta akhlak yang mulia. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan mengenai dasar pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Surat Al-A’raf ayat 199-202 memaparkan tentang landasan agar terbentuknya individu yang berakhlak mulia berupa dasar-dasar pendidikan akhlak.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian yang berjudul “Pandangan Para Mufassir Tentang Dasar Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-A’raf Ayat 199-202” adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang sumber datanya didapat dan ranah penelitiannya berada pada perpustakaan. Perpustakan disini tidak harus diartikan secara formal, namun segala referensi dan dokumen yang bisa dijadikan sumber data penelitiaan.[2] Tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis teks atau data.

Hasil dan Pembahasan

Al-Qur’an adalah pedoman yang Allah berikan kepada umat manusia diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur. Surat Al-A'raf merupakan surat Makiyyah yaitu surat yang turun sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah. Jumlah ayat surat Al-A’raf ada 206 ayat termasuk urutan surat yang ke tujuh di dalam Al-Qur'an. Dinamakan Al-A'raf karena Allah menyebutkan tentang penghuni surga, neraka dan Al-A’raf yang artinya sebuah pembatas yang tinggi di batas surga dan neraka diatasnya terdapat sekelompok manusia yang antara timbangan kebaikan dan keburukannya sama. Hingga Allah menempatkan merek di Al-A’raf, mereka tidak tahu kemanakah akhir dari perjalanan mereka.

Tema dari surat Al-A’raf adalah menentukan peran dan posisi yang harus diambil sorang mukmin ketika terjadi pergolakan antara yang haq dan yang bathil. [3] Berikut penulis jabarkan QS. Al-A’raf 199-202 beserta artinya yang menjadi focus dalam penelitian ini:

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩ وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٠٠ إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ إِذَا مَسَّهُمۡ طَٰٓئِفٞ مِّنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ ٢٠١ وَإِخۡوَٰنُهُمۡ يَمُدُّونَهُمۡ فِي ٱلۡغَيِّ ثُمَّ لَا يُقۡصِرُونَ ٢٠٢

199. Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh

200. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah

201. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya

202. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)

Dari penjabaran QS. Al-A’raf ayat 199-202 diatas, penulis menemukan beberapa nilai dasar pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya menurut tafsir Al-Misbah, Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Ibnu Katsir sebagai berikut:

A.        Pandangan Para Mufassir Tentang Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-A'raf Ayat 199-202

1. Memaafkan, Mengajak Kepada Yang Ma'ruf Dan Berpaling Dari Orang-orang Jahil.

a. Memaafkan

Memaafkan merupakan bagian dari akhlak terpuji yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Tidak ada manusia yang sempurna, karena manusia tempatnya salah dan khilaf. Memaknai kehidupan akan lebih indah jika saling memaafkan. Memaafkan merupakan bagian dari akhlak dan Al-Qur’an adalah pedoman yang ditinggalkan untuk manusia dalam berakhlak maupun dalam pendidikan.

a) Tafsir Al-Misbah

Dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab menjelaskan mengenai surat Al-A’raf ayat 199 bahwa Setelah ayat-ayat sebelumnya mengecam dengan keras kaum-kaum musyrikin dan apa yang mereka sembah. Sekarang datang tuntunan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dan umatnya tentang bagaimana menghadapi mereka, agar kebejatan dan keburukan yang mereka lakukan dapat dihindari. Ayat ini berpesan; Hai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam ambillah maaf (jadilah pemaaf) dan suruhlah orang mengerjakan sesuatu yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang jahil.[4]

b) Tafsir Al-Azhar

Dalam Tafsir Al-Azhar Hamka menjelaskan bahwa ayat ini adalah suatu pedoman perjuangan yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam. Ada tiga unsur yang harus dipegang teguh dalam menghadapi pekerjaan yang sangat besar yaitu menegakkan dakwah Islam kepada seluruh ummat manusia. Pertama yaitu memaafkan, kedua menyuruh berbuat ma’ruf dan yang ketiga berpaling dari orang-orang yang bodoh.

Dalam pergaulan kehidupan yang sangat luas, ada banyak manusia yang masing-masing memiliki kelebihan dan masing-masingpun memiliki segi kekurangan yang membosankan dan dapat menyinggung perasaan. Hal inilah yang Allah peringatkan kepada Nabi Muhammad Shlallallahu ‘Alayhi Wasallam, bahwa hal tersebut akan ditemukan pada ummatnya. Maka hendaklah memaafkan kekurangannya. Jika dalam hal tersebut terlalu bersikap keras, tidaklah mempunyai teman karena tidak ada teman yang bersih dari cacat.[5]

c) Tafsir Ibnu Katsir

Dalam Tasir Ibnu Katsir Karya menjelaskan bahwa “al-‘afwu” menurut Ibnu Abbas, ‘yaitu kebajikan”. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata bahwa: “Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam untuk menjadi pemaaf dan melapangkan dada kepada orang-orang musyrik selama sepuluh tahun. Kemudian Allah memerintahkan untuk bersikap keras kepada mereka, pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir

Pendapat yang paling masyhur adalah pendapat Abu Zubair. Beliau berkata bahwa Firman Allah yang artinya "Jadilah pemaaf" merupakan akhlak yang harus dimiliki manusia.[6]

b. Peduli Lingkungan (Sosial)

Maksud dari peduli lingkungan (sosial) disini adalah mengajak kepada sesuatu yang ma’ruf, maksudnya yaitu sesuatu yang baik dan dinyatakan baik oleh masyarakat serta sesuai dengan pedoman yang telah Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk dalam susuatu yang ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, mendekatkan diri kepada-Nya serta berbuat baik kepada masyarakat.

a) Tafsir Al-Misbah

Dalam kitab Al-Misbah karya Qurais Shihab kata (العرف) al-‘urfu sama dengan artinya dengan kata (معروف) ma’ruf yaitu sesuatu yang dikenal dan dan dibenarkan oleh masyarakat namun tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Surat Ali-‘Imran [3]: 104 terdapat kata (حير) khair menunjukkan wahyu dari Allah merupakan nilai-nilai yang universal dan mendasar, sedangkan nilai-nilai yang lokal dan temporal disebut ma’ruf. Yang pertama menunjukkan tidak boleh dipaksakan sedangkan yang kedua merupakan hasil persepakatan. Karena ini merupakan hasil persepakatan, maka dapat berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Bahkan antara satu waktu dengan waktu yang lainnya. Dalam konteks ini dipahami sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “Apabila ma’ruf kurang diamalkan, maka akan menjadi munkar dan apabila munkar telah tersebar luas maka dia menjadi ma’ruf” pandangan ini bisa diterima dalam konteks budaya, tetapi penerimaan dan penolakannya dalam agama harus dikaitkan dengan nilai-nilai agama yang bersifat universal dan mendasar.

Dalam Al-Qur’an konsep ma’ruf hanya membuka pintu untuk perkembangan yang mengarah ke arah yang positif bagi masyarakat, bukan perkembangan yang negatif.

b) Tafsir Al-Azhar

Dalam ayat ini di tulis ‘Urfi, yang satu artinya ma’ruf, yaitu sesuatu yang diakui orang banyak atau pendapat umum bahwa pekerjaan itu adalah sesuatu yang baik. Dikenal baik oleh manusia, dipuji, disetujui dam tidak diingkari. Segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar disebut ma’ruf. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam diperintahkan Allah untuk menyuruh seluruh manusia terkhusus orang yang beriman mengerjakan yang ma’ruf, maka dengan demikian kekurangan yang ada pada tiap-tiap orang hendaknya diimbangi dengan berbuat ma’ruf sehingga masyarakat Islam menjadi masyarakat yang fokusnya kepada sesuatu yang ma’ruf, dan memiliki jiwa besar.[7]

c. Berpaling dari orang-orang yang bodoh

Maksud dari berpaling dari orang-orang bodoh adalah menghindarinya dan perintah untuk tidak mengukutinya supaya tidak terjerumus dalam sesuatu yang sesat serta tidak diridhoi Allah. Namun dalam amr’ ma’ruf atau mengajaknya dalam kebaikan sangat diperbolehkan tanpa mengikuti perbuatan jahilnya yang tidak dilandaskan pada ilmu. Berikut adalah penjelasan tafsir berpaling dari orang-orang bodoh:

a) Tafsir Al-Azhar

Dalam kitab Tafsir Al-Azhar karya Hamka disebutkan bahwa bodoh adalah orang-orang yang segala sesuatunya berasal dari fikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Segala sesuatu tidak dipertimbangkan, hanya mengikuti perasaan hati bukan perimbangan akal. Segala perkataan sangat mudah dikeluarkan tanpa melalui berbagai pertimbangan akal dan hati, bisa menyakitkan hati. Orang-orang yang bodoh sangat mudah diperbudak atau dipergunakan oleh pihak lawan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak bertanggungjawab.

b) Tafsir Al-Misbah

Kata الجهلينal-Jaahiliin adalah bentuk jamak dari kata جاهل jaahil. Dalam AL-Qur’an kata ini diartikan sebagai orang yang tidak tahu serta seseorang yang kehilangan kendali terhadap dirinyaatau mengikuti hawa nafsunya, sehingga melakukan sesuatu yang tidak wajar atas dorongan nasu, demi kepentingan yang semu ataupun kepicikan pandangan serta mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi.

Dari beberapa pendapat ulama yang tertulis dalam berbagai kitab beliau dapat disimpulkan bahwa dalam surat Al-A’raf ayat 199 berisi tentang tiga siat terpuji yang dapat dijadikan pedoman untuk bermuamalah diantaranya yaitu bersikap pemaaf, perintah untuk mengajak dan berbuat kebaikan serta perintah untuk menjauhi perbuatan orang-orang yang bodoh.

2. Menahan Amarah dan Berlindung Kepada Allah

Musuh terbesar manusia yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah iblis. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam sebagai manusia juga dapat marah terhadap kejahilan orang-orang musyrik tapi Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam agar memaafkan dan menjauhi orang-orang jahil. Iblis yang merupakan musuh terbesar manusia enggan melihat akhlak baik dan mulia yang dimiliki manusia karena taat kepada Rabb-Nya, maka iblis tersebut akan berusaha menggoda manusia dan menjerumuskannya ke arah kesesatan. Oleh karenanya Allah Subhaanahu Wata’ala mengingatkan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dalam surat Al-A’raf ayat 200 yaitu jika benar-benar dibisikkan oleh setan untuk meninggalkan apa yang telah Allah Subhaanahu Wata’ala perintahkan maka mohonlah perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, dengan demikian Allah Subhaanahu Wata’ala akan mengusir godaan tersebut serta melindungimu karena Allah Maha Mendengar dan mengetahui apa yang kamu inginkan serta segala sesuatu yang direncanakan oleh setan/ iblis.

a) Tafsir Al-Azhar

Gangguan pada manusia tidak hanya datang dari luar tapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri, yaitu gangguan setan yang berbisik di dalam hati manusia. Iblis telah mengganggu nenek moyang kita Nabi Adam Alayhissalam dan Hawa di surga hingga tersingkapnya penutup aurat mereka karena terperdaya oleh setan hingga memakan buah terlarang yaitu buah khuldi. Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dan umatnyapun tidak akan terlepas dari gangguan setan dan iblis. Namun, orang-orang yang selalu berlindung kepada Allah Subhaanahu Wata’ala tidak akan terpengaruh oleh godaan setan.

b) Tafsir Al-Misbah

Kata (ينزغنّك) diambil dari kata (نزغ) yang artinya adalah menusuk atau masuknya sesuatu kedalam sesuatu yang lain bertujuan untuk merusak. Kata nazagha diartikan sebagai bisikan, rayuan, dan godaan setan agar seseorang berpaling dari kebenaran. Nazagha yang sumbernya dari setan merupakan bisikan halus setan kedalam hati manusia sehingga melakukan sesuatu yang tidak terpuji. Dalam Al-Qur’an digunakan banyak istilah untuk menggambarkan upaya setan memalingkan manusia dari kebaikan diantaranya adalah (نزغ) nazagha (همز) hamz (مس) mas dan (وسوسة) waswasah.

c) Tafsir Ibnu Katsir

Penjelasan Ibnu Katsir dalam kitabnya dalam menafsirkan firman Allah surat Al-A’raf ayat 200 bahwa Ibnu Jarir berkata: “Apabila kamu menjadi marah karena setan telah mengganggu dan menghalangimu berpaling dari orang-orang yang bodoh kemudian mengajakmu untuk membalasnya. Maka, mohonlah perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dari godaan setan yang terkutuk dan segala pembicaraan dari para makhluk-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui apa yang dapat membebaskan dari godaan setan yang terkutuk dan lainnya dari urusan makhluk-Nya.

3. Taqwa Kepada Allah

Setan telah melakukan perjanjian dengan Allah Subhaanahu Wata’ala bahwa ketika dikeluarkan dari surga akan menggoda manusia hingga manusia tergelincir dari kebenaran. Mereka tidak pernah merasa puas walaupun sudah banyak mengikuti bisik rayunya, orang bertaqwapun tidak terlepas dari godaan setan. Namun orang bertwakwa tahu ketika semangatnya dalam beribadah mulai menurun, berarti ia telah digoda setan, sehingga bersegera memohon perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.

a) Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir dalam kitabnya menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu Wata’ala memberitahukan kepada hamba-hamba Nya yang selalu berusaha taat kepada perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya bahwa ketika keadaan mereka:

إِذَا مَسَّهُمۡ

“Apabila mereka ditimpa godaan atau was-was dari setan (Al-A’raf: 201)” sebagian ulama membacanya Thaaifun dan sebagian yang lain membacanya dengan Thaifun. Kedua qira’at ini masyhur sebagaimana yang terdapat dalam hadits. Terdapat beberapa pendapat mengenai makna dari kata tersebut. Sebagian berpendapat bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang sama dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda. Ada ulama yang menafsirkannya dengan pengertian alghodhab (amarah atau kemurkaan) dan ada yang mengartikannya sebagai sentuhan dari setan yaitu terjatuh, pingsan dan semisalnya, ada yang menafsirkannya sebagai keinginan untuk berbuat dosa, ada juga yang menafsirkan dengan perbuatan dosa. Dalam Firman-Nya:

تَذَكَّرُواْ

Mereka ingat kepada Allah (Surat Al-A’raf: 21) yaitu mereka ingat akan adzab Allah yang sangat pedih, besarnya pahala yang Allah berikan, janji serta ancaman-Nya. Sehingga mereka segera bertaubat memohon ampun kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, memohon perlindungan dan kembali kepada-Nya.

فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ

Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Maksud dari ayat tersebut adalah mereka telah sadar dan kembali dari keadaan sebelumnya istiqomah serta berpegang teguh dengan hukum Allah.

b) Tafsir Al-Misbah

Ayat ini dan ayat sebelumnya menyatakan bahwa perintah memohon perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala adalah cara yang paling tepat menghadapi rayuan setan, dan itulah yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang bertakwa. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila ditimpa thaif godaan setan yang menimbulkan was-was mereka mengingat Allah. Mengingat betapa besarnya dampak buruk yang diakibatkan oleh permusuhan dan kelicikan yang dilakukan setan terhadap manusia. Seketika langsung dengan cepat (tiba-tiba) sebagaimana dalam kata فَإِذَا faidzha “maka ketika itu juga” mereka melihat dan sadar semua kesalahannya.

4. Pendurhaka Dalam Kesesatan (Nilai Religius)

Ayat ini menjelaskan bahwa setan memiliki saudara yaitu orang-orang jahil, dalam hal ini setan berpeluang besar untuk menyesatkan meraka hingga melupakan Allah bahkan merasa Allah tidak lagi dibutuhkan bagi mereka. Mereka berkesinambungan melakukan kejahatan dan kerusakan karena sudah gersang keimanan di dalam hati mereka sehingga tidak dapat mengendalikan nafsu dan penasehat dalam diri yang dapat menasehati dirinya.

a) Tafsir Al-Misbah

Memahami ayat ini para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Perbedaan terdapat ketika berhadapan dengan huruf waw yang biasanya dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan arti “dan”. Thabathaba’i berpendapat bahwa ini berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu setelah menghubungkannya dengan ayat sebelumnya.

Al-Biqa’i menyatakan bahwa ayat ini memaparkan tentang lawan dari orang-orang yang bertaqwa adalah teman-teman setan, mereka adalah kaum musyrikin atau orang-orang yang durhaka. Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang keadaan orang yang bertaqwa, perlindungan yang didapatkan oleh mereka serta musuh mereka yaitu setan.

Kata ((يمدونهم yamuddunahum berasal dari kata ((امداد imdaad artinya mendukung dan membantu, atau mengulur tali. Kata ini biasanya digunakan untuk hal-hal yang positif. Penggunaannya serupa dengan penggunaan kata kata basyirhum/ gembirakan namun untuk menyampaikan siksa. Penggunaan kata yang dugunakan untuk hal positif ini mengisyaratkan bahwa setan sering sekali menampilkan diri dalam wujud penasehat yang bermaksud baik untuk menggoda manusia.

b) Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menjelaskan ayat 202 dalam kitabnya bahwa firman Allah Subhaanahu Wata’ala (وَإِخۡوَٰنُهُمۡ يَمُدُّونَهُمۡ) “Dan teman-teman mereka (Orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan.” Yaitu sekutu-sekutu setan berasal dari kalangan manusia sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah surat Al-Isra’ ayat 27:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan” (QS, Al-Isra’: 27) mereka adalah pengikut, orang-orang yang setia dan taat pada tipu daya setan. يَمُدُّونَهُمۡ فِي ٱلۡغَيِّ “Membantu setan-setan dalam menyesatkan” maksudnya setan telah membantu mereka untuk selalu berbuat maksiat, mempermudah jalan bagi mereka dalam kesesatan serta memperindah jalan mereka. Menurut ibnu katsir “al-Muddu” yang artinya tambahan. Maksud dari ayat tersebut ialah mereka dijadikan semakin bertambah dalam kebodohan.

(ثُمَّ لَا يُقۡصِرُونَ) “Dan mereka tidak henti-hentinya menyesatkan”. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setan tidak pernah berhenti menggoda manusia dan menyesatkannya.

B. Relevansi Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-A'raf Ayat 199-202 Dengan Pendidikan Era 4.0

Dunia telah masuk di era revolusi teknologi, secara fundamental mengubah cara hidup seseorang. Kemajuan bidang teknologi, informasi dan teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat dan cepat serta membawa perubahan radikal di semua dimensi kehidupan. Pendidika era 4.0 adalah istilah yang digunakan oleh para ahli teori pendidikan untuk menanamkan pengajaran pada siswa agar menghasilkan inovasi.

Era revolusi 4.0 menjadi tantangan yang cukup besar bagi dunia pendidikan untuk melakukan transformasi agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 diperlukan dua keterampilan khusus yang harus dimiliki individu yaitu hard skill dan soft skill. Perubahan era ini tidak dapat dihindari oleh siapapun sehingga diperlukan penyiapan sumber daya manusia yang memadai untuk menghadapi tantangan era 4.0. keberhasilan suatu Negara dalam menghadapi revolusi 4.0 turut ditentukan juga oleh kualitas para pendidik.

Pendidik harus memiliki peran dalam mensukseskan pendidikan era 4.0. Dalam pendidikan seseorang dapat menemukan kelebihan dan kekurangannya. Inti dari pendidikan adalah pendidikan akhlak, yaitu terciptanya sikap yang baik dalam diri individu sehingga terbentuknya manusia yang memiliki perangai baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.[8]

Kemajuan teknologi di era 4.0 hampir merubah pola pikir seseorang. Globalisasi di era revolusi 4.0 dan gaya hidup (lifestyle) menjadi dampak dari arus globalisasi yang sulit untuk diatasi. Modernisasi di segala bidang modern sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, seolah-olah masyarakat tidak dapat hidup tanpa teknologi.

Sejumlah penelitian mengenai dampak dan pemanfaatan internet mengatakan bahwa internet menjadi sumber utama dalam melakukan segala sesuatu (baik maupun tidak baik). Dengan internet kita bisa mempelajari segala sesuatu yangbisa jadi untuk melupakan masalah yang dihadapinya.[9]

Kecanggihan dunia teknologi tersebut memerlukan perhatian lebih untuk memfilter terjadinya penurunan nilai-nilai akhlak pada remaja dan masyarakat. Kondisi sosial dan budaya masyarakat sekitar sangat berpengaruh dengan kemerosotan moral yang terjadi pada individu. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk kurangnya mengendalikan perubahan sosial yang negatif sehingga memiliki dampak yang sangat besar dalam pendidikan akhlak. [10]

Kemerosotan akhlak yang dihadapi sekolah dan masyarakat seiring masuknya nilai budaya global di era 4.0 ini adalah adanya berbagai nilai budaya asing khususnya generasi milenial di era 4.0 yang menjadikan teknologi sebagai gaya hidup yang tidak bisa ditinggalkan dan dipicu dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat akan berpengaruh terhadap aspek pendidikan, maupun kehidupan individu dalam keluarga. Baik perubahan positif ataupun negatif. Gaya hidup tersebut menjadi sebuah kebiasaan ditandai dengan tidak dapat terpisahkannya individu dengan kebutuhannya terhadap teknologi.

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan oleh penulis mengenai dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202, penulis menganalisis relevansi dasar-dasar pendidikan akhlak surat Al-A'raf ayat 199-202 dengan pendidikan era 4.0.

Dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202 memiliki tiga perintah antara lain perintah untuk memaafkan, berbuat baik, dan menghindari orang-orang yang bodoh. Perintah tersebut selaras dan relevan dengan tujuan pendidikan akhlak yaitu menjadikan manusia yang baik perangainya untuk dirinya sendiri dan orang lain. Tiga dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202 relevan dengan pendidikan era 4.0 yaitu dalam pendidikan era ini terdapat mata pelajaran aqidah akhlak di MTs mengenai sabar. Dalam surat Al-A’raf ayat 199 orang yang memaafkan selalu lemah lembut sehingga ia selalu sabar dalam menghadapi segala ujian atau masalah yang menimpanya dengan mamaafkan kesalahan dan kekurangan seseorang yang berbuat salah. Seseorang yang memiliki sikap sabar tidak mudah terpengaruh dengan emosi yang membuatnya marah. Relevan juga dengan materi tawadhu'. Orang yang bersikap tawadhu' dia bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah dan tidak seharusnya ia sombong maupun marah sehingga tidak mau memaafkan kesalahan temannya.

Kedua, perintah untuk berbuat ma’ruf (baik) dalam surat Al-A’raf ayat 199 relevan dengan materi pendidikan akhlak mengenai membiasakan perilaku terpuji yaitu, husnudzhon, tasammuh, ta'awun. Husnudzhon adalah berbaik sangka kepada Allah Subhaanahu Wata’ala atas segala takdir-Nya dan berprasangka baik terhadap orang lain. Apabila berprasangka baik selalu ditanamkan dalam diri ketika bergaul dengan masyarakat dapat mempererat hubungan persaudaraan antar sesama. Sikap tasammuh adalah toleransi kepada orang lain untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Sikap tasammuh dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta kerukunan dan persatuan dalam bersosial. Ta’awun adalah sikap tolong menolong untuk kebaikan. Manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, sehingga sikap ta’awun ini sangat penting dalam bermasyarakat.

Ketiga, perintah berpaling dari orang-orang yang bodoh relevan dengan pembahasan pergaulan remaja. Yang termasuk akhlak terpuji dalam bahasan ini adalah ta’aruf yaitu mengetahui satu sama lain. Tafahum yaitu saling mengerti dan paham dengan keadaan orang lain, ta’awun yaitu saling tolong menolong dalam kebaikan, tasammuh (saling berperilaku dalam hal kebaikan), jujur, adil, amanah, dan menepati janji. Perlu adanya pembahasan yang rinci mengenai akhlak terpuji pada pergaulan remaja karena mengingat masa remaja adalah masa dimana seseorang mencari jati dirinya. Dalam kalangan remaja orang-orang yang berakhlak karimah dan membahas tentang akhlak karimah akan dianggap tidak gaul dan modern. Penyebabnya adalah masuknya budaya barat yang mempengaruhi kehidupan remaja sehingga memiliki pergaulan yang bebas dan dianggap sebagai budaya modern. Sedemikian rupanya budaya barat menjajah pikiran para pemuda islam, akan tetapi para pemuda tidak menyadarinya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai yang diajarkan dalam islam.

Surat Al-A'raf ayat 199-202 relevan dengan pengembangan pendidikan khususnya pada materi pelajaran aqidah akhlak. Mengandung perintah untuk meminta pertolongan dan berlindung kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dari godaan dan bisikan setan yang mengganggu manusia. Dalam pengembangan materi aqidah akhlak yang membahas tentang taat relevan dengan ayat ini, karena orang-orang yang taat pasti takut dengan siksa dan ancaman yang diberikan oleh Allah saat melanggar perintah-Nya. Orang yang taat dan memiliki sifat takut kepada Allah ketika ia melanggar perintah Allah karena bisik rayu setan dan kemudian tersadar telah melanggar hukum Allah akan segera memohon ampunan kepada Allah, menyesal dengan apa yang telah dilakukannya dan berjanji untuk tidak melakukannya kembali serta mengiringinya dengan berbuat baik. Seseorang yang taat dan takut kepada Allah Subhaanahu Wata’ala ketika sedang diganggu setan bersegera untuk berlindung dan mengingat Allah Subhaanahu Wata’ala.

Materi aqidah akhlak menekankan pada teori dan pemahaman mengenai apa serta bagaimana maksud dari iman dan islam yang harapannya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melangsungkan kehidupan sehari-hari agar tercapai Ridho Allah Subhaanahu Wata’ala dan kehidupan yang baik di akhirat. Pengertian ini sejalan dengan tujuan dari pendidikan akhlak, maka pendidikan era 4.0 menurut analisis penulis relevan dan sesuai dengan dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202.

Pelajaran aqidah akhlak memberikan motivasi kepada setiap individu untuk mempelajarinya yang kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga akhlak terpuji menjadi kebiasaan. Namun, karena canggihnya teknologi para remaja banyak yang terpengaruh dengan budaya barat yang tanpa sadar mereka sedang di jajah oleh budaya barat melalui teknologi. Menjadikan motivasi pendidikan era 4.0 harus lebih ditingkatkan lagi dalam mendidik akhlak para remaja.

Berdasarkan penjelasan analisis diatas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan era 4.0 dalam teorinya relevan dengan dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202. Kesesuaian tersebut karena pendidikan era 4.0 dan pendidikan akhlak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membentuk pribadi yang berakhlak karimah dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Namun, dalam prakteknya banyak remaja yang belum mengimplementasikan pendidikan aqidah akhlak yang di dapatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang telah peneliti lakukan, peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Pemahaman mufassir mengenai dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202 tidak jauh berbeda, pendapat mereka sama yaitu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam untuk memaafkan dan berlapang dada terhadap orang-orang musyrik, Allah memberi petunjuk agar Nabi Muhammad memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, karena setan tidak ingin apabila ada hamba Allah berbuat kebaikan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Diantara teman-teman setan dari umat manusia adalah orang-orang yang mengikuti rayuan setan, mendengar perkataan setan, dan mentaati semua bisikan setan dalam kemaksiatan. Terdapat banyak nilai atau dasar pendidikan akhlak yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam surat Al-A’raf ayat 199-202 diantaranya, Sikap pemaaf dan lapang dada, Suka berbuat ma’ruf, Menjauhkan diri dari orang-orang jahil, Memohon perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, Memelihara hati atau jiwa dari pengaruh setan serta mengetahui bahwa manusia yang kafir dan jahil adalah teman setan.
  2. Pendidikan era 4.0 dalam teorinya, apa yang diajarkan oleh pendidik relevan dengan dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat Al-A'raf ayat 199-202. Kesesuaian tersebut karena pendidikan era 4.0 dan pendidikan akhlak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membentuk pribadi yang berakhlak karimah dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Namun, dalam prakteknya banyak remaja yang belum mengimplementasikan pendidikan aqidah akhlak yang di dapatkannya dalam kehidupan sehari-hari karena terpengaruh dengan budaya barat. Disinilah peran pendidikan Islam sangat diperlukan untuk pembentukan akhlak dengan berbagai metode dan strategi.

References

  1. Q. Shihab, membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. bandung: mizan, 1992.
  2. Musfiqon, metode penelitian pendidikan. Jakarta: prestasi pustaka, 2012.
  3. M. Khalil and S. Adil, tadabbur Al-Qur’an. jakarta: pustaka al-kautsar, 2018.
  4. M. Q. Shihab, tafsir al-mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. jakarta: lentera hati, 2002.
  5. Hamka, tafsir al-azhar. jakarta: PT pustaka panjimas, 1984.
  6. al-imam abul fida isma’il ibnu katsir Ad-dimasyqi, tafsir ibnu katsir, Cetakan ke. bandung: sinar baru algensindo, 2015.
  7. Hamka, tafsir al-azhar. jakarta: gema insani, 2015.
  8. Suwito, filsafat pendidikan islam. Yogyakarta: Belukar, 2004.
  9. U. Shidiq and M. Choiri, “metode penelitian kualitatif di bidang pendidikan,” Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, 2019, [Online]. Available: http://repository.iainponorogo.ac.id/484/1/METODE PENELITIAN KUALITATIF DI BIDANG PENDIDIKAN.pdf.
  10. D. S. SUMARA, S. HUMAEDI, and M. B. SANTOSO, “Kenakalan Remaja Dan Penanganannya,” Pros. Penelit. dan Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 4, no. 2, 2017, doi: 10.24198/jppm.v4i2.14393.