Abstract
General Background: The recognition of land rights in Indonesia reflects a complex legal landscape marked by the coexistence of national land law and indigenous customary (ulayat) rights. Specific Background: This dualism often leads to legal uncertainty and conflicts, particularly in areas where indigenous land tenure systems remain active. Knowledge Gap: While existing studies acknowledge the presence of legal dualism, few explore it through the lens of dignified justice rooted in Pancasila values. Aims: This research aims to analyze the dualism of land rights recognition in Indonesia through the perspective of dignified justice, which upholds human dignity, balanced rights and obligations, and non-discriminatory legal treatment. Results: The findings reveal that dignified justice requires national land law to not merely coexist with, but harmonize and complement, ulayat rights to protect indigenous socio-cultural values while ensuring legal certainty. Novelty: The study introduces a framework wherein the UUPA (Basic Agrarian Law) serves as a foundational bridge to align state sovereignty over land with the recognition of living customary laws. Implications: Future regulatory frameworks must promote structural and administrative harmony, ensuring equitable land governance that respects cultural identity without compromising national legal unity.
Highlights:
-
Balances national legal certainty with indigenous land rights.
-
Promotes harmony between customary and state law.
-
Emphasizes justice based on Pancasila values.
Keywords: Legal Dualism, Land Rights, Dignified Justice
Pendahuluan
Hak atas tanah merupakan hak hukum yang diberikan kepada individu, kelompok, atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan sebidang tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia [1]. Hak ini lahir berdasarkan undang-undang, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA sejatinya menegaskan bahwa negara, sebagai pemegang hak menguasai atas tanah, memiliki kewenangan untuk menentukan dan memberikan berbagai jenis hak atas tanah kepada masyarakat atau badan hukum [2].
Jenis-jenis hak atas tanah yang diatur oleh UUPA meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan [3]. Setiap jenis hak tersebut memberikan serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan tertentu kepada pemegangnya, yang membedakan satu hak dengan hak lainnya. Misalnya, hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, sedangkan hak guna usaha dan hak guna bangunan diberikan untuk keperluan usaha atau mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri [4]. Proses perolehan hak atas tanah dilakukan melalui mekanisme yang ditetapkan oleh negara, di mana permohonan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan tertentu dan akan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) oleh Badan Pertanahan Nasional [5]. Hak atas tanah ini kemudian didaftarkan dan dibuktikan dengan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan atau penguasaan yang sah secara hukum. Dengan demikian, hak atas tanah tidak hanya mencerminkan hubungan hukum antara pemegang hak dan tanah yang bersangkutan, tetapi juga menjadi dasar perlindungan hukum bagi pemilik atau pemegang hak dalam menggunakan, memanfaatkan, dan mempertahankan tanahnya dari sengketa atau klaim pihak lain.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa secara substantif menegaskan berkaitan dengan penguasaan negara terhadap semua sumber daya, termasuk juga tanah di mana penguasaan negara ini bermakna publik di mana tetap menjamin hak kepemilikan pribadi sepanjang berkaitan dengan dimensi sosial [6]. Secara umum, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa seluruh tanah di Indonesia bukanlah milik perseorangan, melainkan dikuasai oleh negara sebagai wakil seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks hak atas tanah, pasal ini memberikan dasar konstitusional bahwa negara memiliki hak menguasai atas tanah dan sumber daya alam di wilayahnya. Negara bertanggung jawab mengatur, mengelola, dan memanfaatkan tanah tersebut agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat secara adil dan merata [7]. Oleh karena itu, hak atas tanah yang dimiliki oleh individu atau badan hukum pada dasarnya merupakan hak yang diberikan dan diatur oleh negara dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran bersama sesuai amanat UUD NRI 1945.
Penguasaan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan kepentingan umum dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menjadi landasan utama dalam pembentukan peraturan pertanahan di Indonesia, termasuk Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah dan tata cara pemberian hak tersebut. Di Indonesia, hak atas tanah diatur oleh dua sistem hukum yang berjalan secara bersamaan, yaitu hukum negara dan hukum adat [8]. Hukum negara mengatur hak atas tanah melalui UUPA, yang menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan hak atas tanah di Indonesia. UUPA menetapkan berbagai jenis hak atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain, serta mengatur tata cara pemberian, pendaftaran, dan peralihan hak atas tanah tersebut demi kepastian hukum dan perlindungan hak pemegang hak. Di sisi lain, hukum adat juga masih berlaku dan diakui dalam pengaturan tanah, terutama tanah adat yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat adat secara kolektif [9]. Meskipun tanah adat tidak selalu memiliki sertifikat resmi dari negara, keberadaannya diakui sebagai bagian dari sistem hukum agraria nasional, dan negara berkewajiban memberikan kepastian hukum bagi tanah adat tersebut sesuai dengan prinsip pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Dengan demikian, sistem hukum pertanahan di Indonesia merupakan perpaduan antara hukum negara yang bersifat formal dan tertulis serta hukum adat yang bersifat tidak tertulis dan berdasarkan kebiasaan masyarakat. Negara mengatur dan mengelola hak atas tanah dengan tetap menghormati dan mengakomodasi keberadaan hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pemanfaatan dan penguasaan tanah.
Adanya dualisme sistem hukum hak atas tanah di Indonesia ini sejatinya menimbulkan permasalahan khususnya ketika terdapat pertentangan antara pengaturan dalam hukum pertanahan nasional dengan hukum adat. Dalam praktiknya seringkali ketentuan hukum adat menjadi “kalah” dan cenderung “tersimpangi” dengan ketentuan hukum pertanahan nasional [10]. Dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek dualisme pengakuan hak atas tanah di Indonesia dalam sistem hukum nasional dan adat dalam perspektif keadilan bermartabat. Isu hukum yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu, pertama, perspektif keadilan bermartabat berkaitan dengan dualisme sistem hukum hak atas tanah di Indonesia dan kedua, pengaturan ke depan dualisme sistem hukum hak atas tanah di Indonesia yang menjamin harmoni antara hukum nasional dan hukum adat dalam perspektif keadilan bermartabat.
Metode
Penelitian ini dengan fokus pada analisis aspek dualisme pengakuan hak atas tanah di Indonesia dalam sistem hukum nasional dan adat dalam perspektif keadilan bermartabat merupakan penelitian hukum normatif [11]. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum dengan berbasis pada analisis berbasis doktrinal sehingga menekankan pada doktrin dan teori hukum untuk menjawab isu hukum [12]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah artikel jurnal, buku, serta hasil penelitian yang membahas mengenai hak atas tanah, sejarah UUPA, dan terkait dengan perspektif keadilan bermartabat. Bahan non-hukum adalah kamus hukum. Analisis bahan hukum terlebih dahulu dilakukan dengan melakukan kompilasi atas bahan hukum yang ada kemudian dilakukan klasifikasi hingga pada bagian analisisnya dilakukan secara preskriptif dengan menekankan pada solusi hukum atas permasalahan yang ada [13]. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah, konseptual, dan perundang-undangan.
Hasil dan Pembahasan
A. Perspektif Keadilan Bermartabat Berkaitan dengan Dualisme Sistem Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia
Menurut Black's Law Dictionary, hak atas tanah (property rights in land) didefinisikan sebagai hak kepemilikan yang memberi pemegangnya kewenangan untuk menguasai, menggunakan, dan mengambil manfaat dari tanah tersebut, serta hak untuk mengecualikan orang lain dari penggunaan tanah itu [14]. Hak ini bersifat turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang terhadap tanah, yang meliputi hak untuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, atau memanfaatkan tanah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengakuan hak atas tanah di Indonesia merupakan proses penting yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pemilik atau pemegang hak atas tanah, baik yang bersifat adat maupun yang diatur oleh hukum negara [15].
Negara memegang peran yang sangat penting dalam melakukan pengakuan hak atas tanah di Indonesia sebagai wujud pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawabnya dalam mengatur, mengelola, dan melindungi sumber daya agraria demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai pemegang hak menguasai atas tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, negara bertugas menjamin bahwa pengelolaan tanah tidak hanya memenuhi kepentingan individu atau kelompok, tetapi juga tidak bertentangan dengan kepentingan umum serta memberikan manfaat yang adil bagi seluruh masyarakat [16]. Sebagai tindak lanjut dari UUD NRI 1945, negara mengatur secara khusus mengenai hak atas tanah secara umum dalam UUPA. Pengakuan hak atas tanah dalam UUPA merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi pemegang hak atas tanah di Indonesia [17].
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 lahir sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk membangun sistem hukum agraria nasional yang adil dan berkeadaban, menggantikan sistem hukum agraria kolonial yang bersifat diskriminatif dan tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Sebelum UUPA, pengaturan tanah di Indonesia masih didominasi oleh hukum agraria Belanda yang berpijak pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta hukum adat yang tersebar secara beragam di berbagai daerah, sehingga menimbulkan dualisme hukum dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, khususnya rakyat tani yang menjadi mayoritas [18]. Kondisi ini memunculkan ketimpangan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, yang lebih menguntungkan pemilik modal asing dan golongan tertentu, sementara rakyat kecil sering kali kehilangan hak atas tanah yang mereka garap secara turun-temurun.
UUPA kemudian dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan kerakyatan yang kuat, berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan konstitusi negara, terutama Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang ini bertujuan meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional yang menyatukan berbagai sistem hukum pertanahan yang ada, menghapus dualisme hukum agraria, serta memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya petani dan masyarakat adat [19]. Nilai-nilai yang melatarbelakangi UUPA sangat kental dengan semangat keadilan sosial dan fungsi sosial tanah. UUPA mengandung delapan asas pokok, antara lain asas kenasionalan, asas hak menguasai negara, asas fungsi sosial hak atas tanah, asas persamaan hak antara warga negara, serta asas tata guna tanah yang berencana dan berkelanjutan. Hal ini mencerminkan filosofi integralistik Indonesia yang menempatkan kepentingan masyarakat dan bangsa di atas kepentingan individu semata, sekaligus menghormati hak dan martabat individu sebagai bagian dari masyarakat. UUPA juga mengakui keberadaan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional, sehingga hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat tetap dihormati dan dilindungi selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Secara historis, UUPA merupakan tonggak penting dalam pembaruan agraria di Indonesia yang berupaya menghilangkan warisan kolonialisme dan kapitalisme dalam pengelolaan tanah, menggantikannya dengan sistem yang berorientasi pada kemakmuran rakyat dan keadilan sosial. Dengan demikian, UUPA tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga manifestasi nilai-nilai Pancasila dan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat atas sumber daya alamnya. Perumusan UUPA sebagai hukum pertanahan nasional merupakan hasil perjalanan panjang yang dimulai sejak masa kemerdekaan Indonesia dengan tujuan utama menggantikan hukum agraria kolonial yang bersifat dualistik dan tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan serta kepentingan rakyat Indonesia [20]. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia menyadari perlunya suatu hukum agraria yang bersifat nasional, yang mampu menyatukan berbagai sistem hukum pertanahan yang berlaku, yaitu hukum agraria Belanda yang bersifat kolonial dan hukum adat yang beragam di berbagai daerah, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat, terutama petani dan masyarakat adat.
Proses perumusan UUPA dimulai dengan pembentukan beberapa panitia agraria yang bertugas menyusun dasar-dasar hukum pertanahan nasional. Panitia Agraria Yogyakarta yang dibentuk pada tahun 1948 menjadi salah satu langkah awal dalam merancang kebijakan agraria yang sesuai dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan negara [21]. Selanjutnya, beberapa rancangan hukum agraria disusun oleh panitia-panitia lain, termasuk Rancangan Soewahjo, Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo, yang masing-masing berusaha menyesuaikan konsep hukum agraria dengan perkembangan politik dan konstitusi Indonesia, seperti penyesuaian dengan UUD 1945 setelah diberlakukannya kembali pada tahun 1959 [18]. Pada tanggal 24 September 1960, rancangan UUPA akhirnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 [18]. UUPA ini memiliki dua substansi utama, yaitu mencabut dan tidak memberlakukan lagi hukum agraria kolonial serta membangun hukum agraria nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, UUPA menjadi dasar hukum yang menyatukan seluruh aturan pertanahan di Indonesia dalam satu sistem hukum nasional yang tunggal, menghapus dualisme hukum agraria, dan memberikan kepastian hukum bagi rakyat.
Secara materiil, UUPA mengandung nilai-nilai penting seperti pengakuan atas hak menguasai negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam sebagai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta menegaskan fungsi sosial tanah yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UUPA juga mengusung program pembaruan agraria yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum, penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial, pengakhiran penghisapan feodal, perombakan pemilikan dan penguasaan tanah untuk pemerataan kemakmuran, serta perencanaan penggunaan sumber daya alam secara terencana dan berkelanjutan [22]. Dengan diundangkannya UUPA, Indonesia memiliki hukum agraria nasional yang tidak hanya bersifat formal dan tertulis dalam bahasa Indonesia, tetapi juga berlandaskan pada nilai-nilai keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan penghormatan terhadap hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. UUPA menjadi instrumen utama dalam mewujudkan pemerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah, menghindari ketimpangan sosial, serta memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya petani dan masyarakat adat, dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur [23].
Salah satu substansi penting yang diatur oleh UUPA adalah berkaitan dengan pengakuan hak atas tanah. UUPA mengatur bahwa hak atas tanah harus didaftarkan secara resmi agar memperoleh pengakuan hukum yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa setiap hak milik serta peralihan, hapusnya, dan pembebanannya harus didaftarkan. Pengakuan hak atas tanah juga diberikan kepada tanah yang sebelumnya tidak memiliki bukti kepemilikan formal atau surat tanda bukti hak yang lengkap. Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Keputusan Menteri Negara Agraria, pengakuan hak dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan oleh panitia khusus dan diumumkan selama dua bulan berturut-turut di kantor desa atau kelurahan serta instansi terkait, untuk memastikan tidak ada keberatan dari pihak lain terkait hak, letak, luas, dan batas-batas tanah tersebut. Setelah itu, Kepala Inspeksi Agraria atau instansi yang berwenang dapat mengeluarkan Surat Keputusan Pengakuan Hak, yang kemudian dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai sesuai permohonan pemohon dan didaftarkan di kantor pertanahan [24].
UUPA juga mengakui hal penting lainnya berupa keberadaan hak ulayat atau hak masyarakat adat atas tanah selama hak tersebut masih ada secara nyata dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku [25]. Pengakuan hak ulayat ini penting untuk melindungi tanah adat sebagai bagian dari warisan budaya dan sumber kehidupan masyarakat hukum adat [26]. Hal ini mempertegas bahwa sejatinya UUPA mengakui dan mengakomodasi dualisme pengakuan hak atas tanah. UUPA mengakui adanya dualisme hak atas tanah di Indonesia antara hukum nasional dan hukum adat karena Indonesia merupakan negara dengan pluralisme hukum yang kompleks, di mana hukum adat telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai sistem hukum yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah secara tradisional [27]. Pluralisme hukum adalah kondisi atau situasi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berbeda dan berlaku secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara [28]. Hal ini berarti dalam kehidupan sosial, berbagai mekanisme hukum yang berbeda—seperti hukum negara, hukum adat, hukum agama, dan sistem hukum lainnya—berdampingan dan saling berinteraksi dalam mengatur perilaku masyarakat. Pluralisme hukum mencerminkan keberagaman nilai, budaya, dan tradisi yang ada dalam masyarakat, serta menunjukkan bahwa hukum tidak hanya berasal dari satu sumber tunggal, melainkan dari berbagai tatanan norma yang hidup di tengah masyarakat [29]. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum sangat nyata karena negara mengakui keberadaan hukum adat, hukum Islam, dan hukum positif sebagai sistem hukum yang eksis dan berfungsi bersama dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pluralisme hukum merupakan kenyataan sosial yang harus diakui dan dikelola agar dapat memberikan perlindungan hukum yang adil dan sesuai dengan keberagaman masyarakat [30].
UUPA mengadopsi konsep pluralisme hukum dalam pengaturan hak atas tanah di Indonesia dengan mengakui keberadaan dua sistem hukum yang berjalan berdampingan, yaitu hukum nasional dan hukum adat. Hal ini tercermin dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, dan sosialisme Indonesia, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengakuan pluralisme hukum ini didasarkan pada kenyataan sosial dan budaya Indonesia yang sangat beragam, di mana masyarakat adat dengan sistem hukum adatnya telah lama mengelola tanah secara turun-temurun sebelum adanya negara modern. Konsep pluralisme hukum dalam UUPA muncul sebagai respons terhadap kompleksitas sosial dan sejarah hukum pertanahan di Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh hukum kolonial Belanda dan hukum adat yang tidak terintegrasi secara harmonis. Dengan mengakui pluralisme hukum, UUPA berusaha menyatukan sistem hukum pertanahan nasional tanpa menghilangkan keberadaan hukum adat yang menjadi sumber hukum agraria di banyak daerah. Hal ini juga merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum sekaligus menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka, sehingga tidak terjadi pengabaian atau penggusuran yang merugikan masyarakat adat. Namun, pengakuan pluralisme hukum dalam UUPA bukan berarti hukum adat berlaku tanpa batas, melainkan harus disesuaikan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip-prinsip dasar UUPA. Dengan demikian, pluralisme hukum dalam UUPA mencerminkan keseimbangan antara menghormati keberagaman hukum adat dan menjamin kesatuan serta kesederhanaan hukum agraria nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945. Pengakuan ini juga menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan, terutama dalam proses pendaftaran tanah adat, di mana masyarakat adat sering khawatir sertifikasi tanah akan mengubah status kepemilikan dan menghilangkan hak kolektif mereka. Secara keseluruhan, pluralisme hukum yang dianut dalam UUPA menjadi landasan penting dalam pembangunan hukum pertanahan di Indonesia, yang mengakomodasi keberagaman sosial budaya sekaligus mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang berada dalam sistem hukum nasional maupun hukum adat.
Pasal 5 UUPA secara eksplisit menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, dan sosialisme Indonesia. Pengakuan ini didasarkan pada kesadaran bahwa hukum adat memegang peranan penting sebagai sumber hukum agraria nasional yang mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Indonesia, sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembentukan hukum pertanahan nasional. Sebelum berlakunya UUPA, terdapat dualisme hukum yang tajam antara hukum agraria Belanda yang bersifat kolonial dan hukum adat yang diakui secara terbatas, di mana hukum kolonial lebih diutamakan jika terjadi konflik, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat adat pemilik tanah ulayat [31]. UUPA hadir sebagai upaya unifikasi hukum agraria dengan memberlakukan satu sistem hukum tanah nasional yang mengakomodasi hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sehingga menghapuskan dominasi hukum kolonial dan memberikan kedudukan sederajat antara hukum adat dan hukum nasional dalam pengaturan hak atas tanah. Namun, UUPA tidak sepenuhnya menghilangkan dualisme, melainkan mengintegrasikan hukum adat ke dalam sistem hukum nasional dengan mensyaratkan bahwa hukum adat harus disesuaikan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar UUPA dan kepentingan negara. Hal ini mencerminkan hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum nasional, di mana hukum adat menjadi dasar dan sumber penting dalam pembentukan hukum agraria nasional yang berkeadilan dan sesuai dengan nilai-nilai sosialisme Indonesia. Dengan pengakuan ini, UUPA memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mempertahankan hak ulayat mereka, sekaligus memastikan bahwa pengelolaan tanah tetap berada dalam kerangka hukum nasional yang menjamin kepastian hukum dan kesejahteraan rakyat secara luas. Singkatnya, pengakuan dualisme hak atas tanah dalam UUPA merupakan refleksi dari realitas sosial dan kultural Indonesia yang beragam, sekaligus upaya untuk menyatukan dan menyelaraskan berbagai sistem hukum agraria demi terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan kemakmuran rakyat secara menyeluruh.
Dualisme pengakuan hak atas tanah dalam UUPA sejatinya relevan dengan perspekif keadilan bermartabat. Hal ini dikarenakan perspekif keadilan bermartabat tidak hanya melihat hukum secara sempit sebagai kerangka aturan formal yang hanya dibuat oleh negara, tetapi termasuk juga hukum yang hidup dan eksis di masyarakat, salah satunya hukum adat [32]. Keadilan bermartabat merupakan sebuah konsep keadilan yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek hukum formal, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap martabat individu, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban [33]. Dalam perspektif ini, keadilan tidak semata-mata diukur dari terpenuhinya aturan atau perundang-undangan, melainkan juga dari sejauh mana proses dan hasil penegakan hukum mampu menjaga dan mengangkat harkat serta martabat manusia.
Perspektif keadilan bermartabat menuntut adanya perlakuan yang adil dan setara bagi setiap orang tanpa diskriminasi, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil memberikan manfaat dan perlindungan bagi semua pihak, khususnya yang lemah dan rentan [34]. Keadilan bermartabat juga menolak segala bentuk perlakuan yang merendahkan, menindas, atau mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, keadilan yang bermartabat menjadi fondasi penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan beradab, di mana setiap individu merasa dihargai dan diperlakukan secara manusiawi. Perspektif keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo adalah sebuah teori hukum yang berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Teori ini menegaskan bahwa hukum harus didasarkan pada keadilan yang memanusiakan manusia, yaitu hukum yang tidak hanya menegakkan norma formal tetapi juga menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa [35].
Keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo merupakan grand theory hukum yang menjelaskan koherensi konsep hukum dalam kaidah dan asas yang berlaku di sistem hukum Indonesia, yang berlandaskan pada jiwa bangsa (volksgeist) dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum [36]. Teori ini menekankan bahwa hukum harus memperlakukan manusia secara adil dan bermartabat, mengakui hak dan kewajiban setiap individu serta menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara filosofis, teori keadilan bermartabat juga menolak pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang egois dan saling memangsa, melainkan menempatkan manusia sebagai makhluk mulia yang harus diperlakukan dengan penghormatan dan keadilan sejati sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Perspektif Teguh Prasetyo tentang keadilan bermartabat adalah bahwa hukum harus menjadi instrumen yang memanusiakan manusia, berlandaskan Pancasila, dan menjunjung tinggi martabat serta hak asasi manusia dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara [37]. Perspektif keadilan bermartabat dalam konteks dualisme pengakuan hak atas tanah antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan hukum adat menuntut adanya penghormatan yang seimbang dan bermartabat terhadap hak-hak masyarakat hukum adat sekaligus kepastian hukum nasional. UUPA secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat adat sebagai hak atas tanah yang bersifat komunal dan turun-temurun, yang harus dihormati sepanjang masih ada dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan.
Pengakuan ini bukan hanya sekadar formalitas hukum, melainkan merupakan wujud penghormatan martabat masyarakat adat sebagai pemilik sah tanah leluhur mereka yang memiliki nilai kultural dan spiritual mendalam. Namun, dalam praktiknya, terdapat dualisme antara hukum nasional yang mengatur hak atas tanah secara formal dan hukum adat yang mengatur hak atas tanah berdasarkan tradisi dan kearifan lokal. Perspektif keadilan bermartabat menuntut agar kedua sistem hukum ini tidak saling bertentangan atau menghilangkan hak satu sama lain, melainkan harus saling melengkapi dalam kerangka keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Hal ini berarti negara harus memberikan kepastian hukum yang adil dan bermartabat bagi masyarakat adat, dengan tetap mengintegrasikan hak ulayat ke dalam sistem hukum nasional tanpa mengabaikan nilai-nilai adat yang melekat pada tanah tersebut. Dengan demikian, keadilan bermartabat dalam pengelolaan tanah mengandung makna bahwa pengakuan hak atas tanah adat tidak hanya soal legalitas formal, tetapi juga penghormatan terhadap hak-hak kultural dan sosial masyarakat adat sebagai bagian dari bangsa yang berdaulat. Pendekatan ini mengedepankan keseimbangan antara hak individu, masyarakat adat, dan kepentingan nasional, sehingga pengelolaan tanah dapat memberikan manfaat yang merata dan menjaga keharmonisan sosial serta martabat seluruh pihak yang terlibat. Perspektif keadilan bermartabat dalam dualisme pengakuan hak atas tanah menuntut integrasi yang harmonis antara hukum nasional dan hukum adat, dengan penghormatan penuh terhadap hak ulayat masyarakat adat sebagai bagian dari keadilan sosial yang bermartabat dan berkeadilan di Indonesia.
B. Pengaturan Ke Depan Dualisme Sistem Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia yang Menjamin Harmoni antara Hukum Nasional dan Hukum Adat dalam Perspektif Keadilan Bermartabat
Dualisme pengakuan hak atas tanah di Indonesia dengan mengakui hukum adat dan hukum nasional secara bersamaan sejatinya tidak hanya ditegaskan dalam UUPA tetapi juga dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi. Di era reformasi, hadirnya Mahkamah Konstitusi melalui putusannya sekaligus mempertegas tafsir resmi konstitusi suatu negara [38]. Hal ini mempertegas bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, hukum dan konstitusi menjadi lebih kontekstual dan memberikan tafsir yang relevan dari berbagai permasalahan hukum dan konstitusi yang sedang dihadapi [39]. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan merupakan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat dan menjadi hak mereka secara konstitusional [40]. Putusan ini mengubah status hukum hutan adat dari sebelumnya yang diatur sebagai hutan negara dalam Undang-Undang Kehutanan menjadi hutan hak yang dimiliki dan dikelola secara komunal oleh masyarakat adat. MK juga menegaskan bahwa masyarakat adat adalah subjek hukum yang memiliki hak atas tanah dan wilayah adatnya yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara sesuai dengan nilai-nilai konstitusi, khususnya UUD NRI 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 juga mempertegas kedudukan hak ulayat atas tanah dari masyarakat adat [41]. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas tanah yang menjadi milik bersama warga komunitas tersebut. Hak ini bersifat komunal dan melekat pada masyarakat hukum adat sebagai persekutuan hukum yang mengatur pengelolaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan tanah berdasarkan hukum adat yang berlaku di wilayaha adat [42]. Dalam konteks hukum nasional Indonesia, hak ulayat diakui secara eksplisit dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa negara menghormati dan mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hak ulayat meliputi kewenangan untuk mengatur penggunaan tanah, menetapkan hubungan hukum antara orang dan tanah, serta mengelola perbuatan hukum terkait tanah seperti jual beli dan warisan [43]. Subjek hak ulayat bukan individu, melainkan masyarakat hukum adat sebagai kesatuan sosial yang memiliki identitas budaya, wilayah, dan sistem nilai adat yang mengikat anggotanya. Kepala adat atau tetua adat bertindak sebagai pelaksana kewenangan masyarakat adat dalam mengelola hak ulayat tersebut. Secara kultural dan spiritual, tanah ulayat memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat adat karena dianggap sebagai warisan leluhur yang menjadi sumber kehidupan dan keberlangsungan komunitas. Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan hak ulayat bukan hanya soal legalitas formal, tetapi juga penghormatan terhadap nilai-nilai adat, budaya, dan martabat masyarakat hukum adat sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.
Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 merupakan langkah penting dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk lambatnya proses pengukuhan wilayah adat dan hutan adat oleh pemerintah serta tumpang tindih regulasi yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemerintah diminta untuk segera melaksanakan putusan MK ini secara konkrit dan mengesahkan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang efektif bagi masyarakat adat. Putusan MK Nomor 35 ini menjadi dasar hukum yang kuat untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam di wilayah adat mereka, sekaligus menjadi tonggak penting dalam upaya keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
Permasalahan hukum dan non-hukum mengenai dualisme pengakuan hak atas tanah dalam UUPA antara hukum nasional dan hukum adat di Indonesia sangat kompleks. Secara hukum, meskipun UUPA dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah menegaskan dualisme hukum agraria dengan mengakomodasi sistem hukum adat dan hukum nasional berkaitan dengan tanah secara bersamaan, namun dalam praktiknya masih terjadi tumpang tindih dan konflik antara hukum nasional dan hukum adat. Permasalahan masyarakat adat yang berkonflik dengan tanah adat sering muncul akibat ketidaksesuaian antara aturan hukum adat dan hukum nasional di Indonesia. Hukum adat yang tumbuh dari tradisi lokal mengatur hak-hak tradisional atas tanah secara komunal dan mengedepankan penyelesaian sengketa melalui mekanisme musyawarah dan konsensus. Sebaliknya, hukum nasional bersifat formal, universal, dan menekankan kepastian hukum melalui proses peradilan resmi yang seringkali mengabaikan nilai-nilai adat. Perbedaan prinsip dan kewenangan ini menimbulkan konflik, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan kepemilikan tanah, di mana hak ulayat masyarakat adat sering terabaikan oleh kebijakan negara yang mengutamakan kepentingan nasional atau investasi. Contoh nyata konflik ini terjadi ketika pemerintah memberikan izin eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat, sehingga mengakibatkan perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup komunitas adat [44]. Krisis kepercayaan masyarakat adat terhadap hukum nasional semakin memperparah konflik, karena mereka merasa nilai dan martabatnya tidak dihormati. Oleh karena itu, penyelesaian konflik ini memerlukan pendekatan yang inklusif dan holistik, dengan mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat dalam kerangka hukum nasional, serta mendorong dialog antara pemerintah, komunitas adat, dan lembaga hukum untuk mencapai keadilan yang berkelanjutan dan menghormati keberagaman budaya Indonesia.
Permasalahan lainnya yaitu berkaitan dengan kebijakan pemberian hak atas tanah jangka panjang melalui hak guna usaha (HGU) yang dapat diperpanjang dan diperbarui sekaligus menimbulkan dualisme dengan prinsip UUPA yang mengutamakan pemerataan dan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat dan petani kecil. Praktik ini sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menimbulkan konflik agraria yang berlarut-larut. Dari sisi non-hukum, permasalahan muncul karena adanya ketidakseimbangan antara pengakuan formal negara terhadap hak atas tanah dan nilai-nilai kultural, sosial, serta spiritual masyarakat adat yang melekat pada tanah mereka. Hal ini menimbulkan ketegangan sosial, ketidakadilan, dan ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat adat sebagai komunitas yang bergantung pada tanah leluhur mereka. Konflik ini juga berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat dan kerusakan hubungan sosial di komunitas terdampak. Dengan demikian, dualisme pengakuan hak atas tanah antara hukum nasional dan hukum adat menuntut solusi yang tidak hanya bersifat legal formal, tetapi juga harus mengakomodasi nilai-nilai adat dan keadilan sosial agar tercipta kepastian hukum yang adil, perlindungan hak masyarakat adat, serta harmonisasi antara hukum nasional dan hukum adat demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh di Indonesia.
Pengaturan ke depan mengenai dualisme sistem hukum hak atas tanah di Indonesia harus menjamin harmoni yang seimbang antara hukum nasional dan hukum adat, sehingga tercipta keadilan bermartabat bagi seluruh masyarakat. Setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), problem dualisme hukum tanah yang selama ini terjadi dapat diatasi dengan meletakkan dasar hukum agraria nasional yang mengakui tanah sebagai milik negara sekaligus menghormati keberadaan hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional yang disesuaikan dengan nilai sosial dan budaya masyarakat. Dalam perspektif keadilan bermartabat, pengaturan ini harus mengakomodasi keberlanjutan hukum adat yang masih hidup dan berfungsi di masyarakat, terutama di daerah yang masih memiliki hak ulayat, tanpa mengabaikan prinsip kesatuan hukum nasional yang mengatur hak-hak atas tanah secara menyeluruh. Hal ini menuntut suatu sistem hukum yang tidak saling mengenyampingkan, melainkan saling melengkapi dan berharmoni, sehingga hak atas tanah dapat diatur secara adil dan berkeadaban sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan kepentingan bangsa Indonesia.
Dualisme dalam pelaksanaan pengaturan hak atas tanah, seperti kewenangan Notaris dan Camat dalam pelepasan hak, perlu diselaraskan agar tidak menimbulkan disharmonisasi dan inkonsistensi dalam mekanisme administrasi pertanahan. Pengaturan yang harmonis akan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat di daerah terpencil sekaligus menjaga kekuatan hukum yang sah dan mengikat demi tercapainya tujuan hukum yang adil dan bermartabat. Dengan demikian, pengaturan ke depan harus mengedepankan prinsip unifikasi hukum tanah yang tetap menghormati hukum adat sebagai hukum hidup di masyarakat, serta mengintegrasikan kedua sistem hukum tersebut dalam bingkai keadilan sosial dan martabat manusia, sesuai dengan semangat UUPA dan konstitusi negara. Pendekatan ini akan memperkuat kesatuan bangsa dan negara sekaligus melindungi hak-hak masyarakat adat secara bermartabat dalam tata kelola agraria nasional.
Simpulan
Dualisme pengakuan hak atas tanah dalam UUPA relevan dengan perspektif keadilan bermartabat yang tidak hanya mengacu pada hukum formal negara, tetapi juga menghormati hukum adat sebagai hukum hidup di masyarakat. Perspektif ini menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, keseimbangan hak dan kewajiban, serta perlakuan adil tanpa diskriminasi. Keadilan bermartabat yang berlandaskan nilai Pancasila dan menjadikan hukum sebagai instrumen yang memanusiakan manusia. Dalam konteks hak atas tanah, keadilan bermartabat menuntut penghormatan seimbang antara hak ulayat masyarakat adat dan kepastian hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut saling melengkapi dan menjaga nilai kultural serta sosial masyarakat adat. Dengan demikian, pengakuan hak atas tanah adat bukan sekadar legalitas formal, melainkan penghormatan terhadap martabat dan hak asasi manusia, yang mendorong integrasi harmonis antara hukum nasional dan hukum adat demi keadilan sosial yang bermartabat di Indonesia.
Pengaturan ke depan terhadap dualisme sistem hukum hak atas tanah di Indonesia harus mampu menciptakan harmoni yang seimbang antara hukum nasional dan hukum adat guna mewujudkan keadilan bermartabat bagi seluruh masyarakat. Melalui landasan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, dualisme hukum tanah dapat diatasi dengan mengakui tanah sebagai milik negara sekaligus menghormati keberadaan hukum adat yang hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Sistem hukum yang diusulkan harus bersifat saling melengkapi dan harmonis, mengakomodasi keberlanjutan hukum adat tanpa mengabaikan prinsip kesatuan hukum nasional. Selain itu, penyelarasan kewenangan dalam administrasi pertanahan diperlukan untuk menghindari disharmonisasi dan menjamin kemudahan akses serta kekuatan hukum yang sah. Dengan demikian, unifikasi hukum tanah yang tetap menghormati hukum adat dan mengintegrasikan kedua sistem hukum tersebut dalam kerangka keadilan sosial dan martabat manusia akan memperkuat kesatuan bangsa serta melindungi hak-hak masyarakat adat secara bermartabat dalam tata kelola agraria nasional.
Ucapan Terima Kasih
Bagian ini menyatakan ucapan terima kasih kepada pihak yang berperan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian, misalnya laboratorium tempat penelitian. Peran donor atau yang mendukung penelitian disebutkan perannya secara ringkas.
References
- A. E. A. Tr, “The Essence of Notary Legal Offering in West Land Rights Disputes (Eigendom Verklaring),” International Journal of Social Policy and Law, vol. 2, no. 1, pp. 1–13, 2021.
- R. Ramadhani, “Pendaftaran Tanah sebagai Langkah untuk Mendapatkan Kepastian Hukum terhadap Hak atas Tanah,” Jurnal Sosial dan Ekonomi, vol. 2, no. 1, pp. 31–40, 2021.
- N. L. M. E. R. I. G. A. K. Artatik and I. G. N. A. Saputra, “Penyelesaian Sengketa Tanah Waris antara Ahli Waris Beralih Agama dengan Beragama Hindu di Desa Adat Padang Luwih Perspektif Pluralisme Hukum,” Vidya Wertta, vol. 5, no. 1, pp. 29–42, 2022.
- G. Elbert and Fernando, “Analisa Hukum atas Tanah Hak Milik yang Terlantar Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Terlantar,” Adigama, vol. 4, no. 2, pp. 2945–2968, 2021.
- E. Susilowati, “Penyelesaian Kasus Tanah dengan Surat Tanah Lebih dari Satu (Sertifikat Ganda) di Kota Palangka Raya,” Anterior Journal, vol. 20, no. 2, pp. 76–83, 2021, doi: 10.33084/anterior.v20i2.1778.
- A. Pratiwi, “Pemanfaatan dan Perlindungan Hukum terhadap Sumber Daya Air dalam Perspektif Investasi dan Kesejahteraan,” Program Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, vol. 2, no. 1, pp. 1–12, 2022.
- J. K. Matuankotta and E. S. Holle, “State Recognition and Respect for the Rights of Customary Law Communities in the Maluku Islands Region in the Exploitation of Forest Resources,” SASI, vol. 28, no. 1, p. 107, Apr. 2022, doi: 10.47268/sasi.v28i1.852.
- R. Sulistyaningsih, “Reforma Agraria di Indonesia,” Perspektif, vol. 26, no. 1, p. 57, 2021, doi: 10.30742/perspektif.v26i1.753.
- T. Veronika and A. Winanti, “Keberadaan Hak atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Ditinjau dari Konsep Hak Menguasai oleh Negara,” Humani: Hukum dan Masyarakat Madani, vol. 11, no. 2, p. 309, 2021.
- D. E. Prasetio, F. P. Disantara, and N. H. Azzahra, “The Legal Pluralism Strategy of Sendi Traditional Court in the Era of Modernization Law,” Rechtsidee, vol. 8, no. 1, p. 4, 2021.
- I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. ke-1. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
- J. L. Fabra-Zamora, “Legal Positivism as a Theory of Law’s Existence,” Isonomía: Revista de Teoría y Filosofía del Derecho, no. 55, pp. 193–211, 2021, doi: 10.5347/isonomia.v0i55.487.
- Irwansyah, Penelitian Hukum: Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, 3rd ed. Yogyakarta: Mira Buana Media, 2020.
- B. A. Garner, Black’s Law Dictionary, 11th ed. St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 2019.
- S. Wahyuni, T. Prasetyo, and U. Ma’ruf, “Legal Reconstruction of Indigenous Land Registration Regulations Based on Dignified Justice,” Scholars International Journal of Law, Crime and Justice, vol. 6, no. 2, pp. 101–107, 2023, doi: 10.36348/sijlcj.2023.v06i02.007.
- I. F. Agustinus, “Mineral and Coal Mining Business and Management in Indonesia from the Indonesian Constitutional Viewpoint,” Journal of World Science, vol. 1, no. 7, pp. 500–510, 2022, doi: 10.58344/jws.v1i7.68.
- I. Koeswahyono and D. Maharani, “Rasionalisasi Pengadilan Agraria di Indonesia sebagai Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berkeadilan,” Arena Hukum, vol. 15, no. 1, pp. 1–19, 2022, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2022.01501.1.
- B. Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2003.
- D. Krismantoro, “Sejarah dan Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia dalam Memberikan Keadilan bagi Masyarakat,” IJD-Demos, vol. 4, no. 2, pp. 880–889, 2022, doi: 10.37950/ijd.v4i2.287.
- P. Damanik, “Strengthening Land Law Reforms through Legal Pluralism in Indonesia,” Rechtsidee, vol. 11, no. 2, pp. 1–13, Dec. 2023, doi: 10.21070/jihr.v12i2.993.
- A. N. Nurrokhman, “Quo Vadis Indonesian Agrarian Reform: Implementation of UUPA in the President Regulation No. 86 of 2018,” Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 3, pp. 19–24, 2020, doi: 10.31292/jb.v5i3.385.
- D. Ginting, “Policies on Prevention and Eradication of Land Mafia: Agrarian Reform in Indonesia,” Utopía y Praxis Latinoamericana, vol. 25, no. Extra2, pp. 255–263, 2020, doi: 10.5281/zenodo.3809387.
- I. M. P. Dharsana, I. N. P. Budiartha, and I. M. Setiasa, “Agrarian Reform and National Land Law Political Policy Provide Legal Assurance for Investment,” [Journal name missing], vol. 6, no. 1, pp. 11–21, 2023.
- A. Suntoro, N. A. Utomo, and M. A. Hermanto, “Reformulation of Agrarian Regulations within a Human Rights Framework,” Journal of Southeast Asian Human Rights, vol. 6, no. 2, pp. 131–152, 2022, doi: 10.19184/jseahr.v6i2.27776.
- D. E. Prasetio, “Bajo Tribal Marine Customary Rights Supervision: A Reform with Archipelagic Characteristics,” Jurnal Kajian Pembaruan Hukum, vol. 2, no. 2, p. 235, 2022.
- D. E. Prasetio, “Perlindungan dan Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Adat Biak Papua,” Realis Law Review, vol. 2, no. 1, pp. 54–82, 2024.
- D. Cahyaningrum, “Hak Pengelolaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk Kepentingan Investasi,” Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, vol. 12, no. 1, pp. 21–39, 2022.
- K. Von Benda-Beckmann, “Relational Social Theories and Legal Pluralism,” Indonesian Journal of Socio-Legal Studies, vol. 1, no. 1, p. 4, 2021, doi: 10.54828/ijsls.2021v1n1.2.
- D. E. Prasetio, “Inventarisasi Putusan Peradilan Adat Sendi sebagai Upaya Memperkuat Constitutional Culture dalam Negara Hukum Pancasila,” Jurnal Hukum Lex Generalis, vol. 2, no. 3, pp. 249–273, 2021.
- F. P. Disantara, “Konsep Pluralisme Hukum Khas Indonesia sebagai Strategi Menghadapi Era Modernisasi Hukum,” Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, vol. 6, no. 1, pp. 1–36, 2021, doi: 10.35673/ajmpi.v6i1.1129.
- S. Salam, “Legal Protection of Indigenous Institutions in the Frame of the Rule of Law (Perspective of Legal Protection Theory),” Cepalo, vol. 7, no. 1, pp. 65–76, 2023, doi: 10.25041/cepalo.v7no1.2898.
- R. P. P. Karo Karo, V. C. Kwang, A. Ethan, and 1, “Covid-19 Ditinjau dari Perspektif Teori Keadilan Bermartabat,” Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, vol. 8, no. 3, pp. 377–390, 2020.
- I. M. W. Darma, “The Development of Health Criminal Law in the Perspective of Dignified Justice: What and How?,” Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, vol. 12, no. 1, pp. 208–223, Apr. 2024, doi: 10.29303/ius.v12i1.1486.
- M. R. Bima, “The Age Threshold for Presidential Nominations in the Perspective of Dignified Justice Theory: Why is There a Mahkamah Keluarga Issue?,” IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, vol. 11, no. 3, pp. 403–422, 2023.
- C. M. I. S. and T. Prasetyo, “Initiating Law Reform in Indonesia (From the Dignified Justice Perspective),” Southeast Asia Journal of Law Reform, vol. 3, no. 1, pp. 14–25, 2020.
- K. P. Aji, M. A. Syahrin, A. R. Wiraputra, and T. Prasetyo, “Dual Citizenship in Indonesia from the Perspective of Dignified Justice and Sovereignty,” Law and Humanities Quarterly Review, vol. 3, no. 1, pp. 27–38, 2024, doi: 10.31014/aior.1996.03.01.100.
- T. Prasetyo, Hukum dan Teori Hukum: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, 1st ed. Bandung: Nusamedia, 2020.
- D. E. Prasetio, M. A. Masnun, and N. Noviyanti, “Post-Election Reconciliation in 2024 as a Constitutional Convention in Indonesia: A Progressive Legal Culture Perspective,” Jambura Law Review, vol. 7, no. 1, pp. 176–196, Jan. 2025, doi: 10.33756/jlr.v7i1.26999.
- D. E. Prasetio, “Ius Constituendum Legal Standing bagi WNA terkait Proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif HAM,” Hunila, vol. 2, no. 1, pp. 125–138, 2023.
- B. S. Prabowo and W. Wiryanto, “Konsistensi Pembuatan Norma Hukum dengan Doktrin Judicial Activism dalam Putusan Judicial Review,” Jurnal Konstitusi, vol. 19, no. 2, p. 359, Jun. 2022, doi: 10.31078/jk1925.
- W. Yunaldi, Nagari dan Negara: Perspektif Otentik Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia, 1st ed. Yogyakarta: Jual Buku Sastra, 2021.
- Lolita, S. Seko, C. Maharani, M. Tohir, and Herlina, “The Existence of Customary Law Community’s Rights (Hak Ulayat) over Land in Kalimantan,” Proceedings of the 3rd Borneo International Conference, vol. 1, no. 1, pp. 403–413, 2023.
- W. R. Hutama, “Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019,” Notaire, vol. 4, no. 3, p. 489, 2021, doi: 10.20473/ntr.v4i3.28036.
- A. H. Rachman, “Ketidakpastian Status Lahan dan Potensi Deforestasi dalam Wacana Pembangunan Bandar Antariksa Biak,” Jentera: Jurnal Hukum, vol. 4, no. 1, p. 395, 2021.