Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Business and Economics
DOI: 10.21070/acopen.10.2025.11290

Domestic Investment as Key Driver of Employment in Jabodetabek


Investasi Domestik sebagai Pendorong Utama Penyerapan Tenaga Kerja di Jabodetabek

Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur
Indonesia
Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur
Indonesia

(*) Corresponding Author

Labor Absorption Minimum Wage Domestic Investment Micro and Small Industries Jabodetabek

Abstract

General Background: Urban agglomerations like Greater Jakarta face complex labor market challenges amidst rapid economic growth and demographic shifts. Specific Background: The region’s employment dynamics are shaped by policy instruments such as minimum wage regulations, domestic investment, and the proliferation of micro and small industries. Knowledge Gap: Prior research has rarely examined the simultaneous influence of these three variables within a unified analytical model specific to the Jabodetabek context. Aims: This study aims to analyze the effects of minimum wage, domestic investment, and the number of micro and small industries on labor absorption in the Greater Jakarta area from 2017 to 2023. Results: Using a panel data regression with the Fixed Effect Model (FEM), the findings reveal that only domestic investment significantly and positively affects labor absorption, while minimum wage and the number of micro and small industries do not show significant impacts. Novelty: The study offers a novel integrated model that captures the joint influence of three key economic variables across nine metropolitan areas. Implications: The results underscore the need for policy focus on stimulating domestic investment and enhancing the capacity of small enterprises to sustainably address urban employment challenges.
Highlight :

  • Only domestic investment has a statistically significant and positive influence on labor absorption in the Greater Jakarta (Jabodetabek) area.

  • Minimum wage and micro-small industries do not significantly affect labor absorption, highlighting structural limitations in informal sectors.

  • Policy recommendations emphasize boosting domestic investment and improving the quality and innovation of micro-small enterprises.

Keywords : Labor Absorption, Minimum Wage, Domestic Investment, Micro and Small Industries, Jabodetabek

 

Pendahuluan

Pembangunan ekonomi merupakan proses jangka panjang yang memerlukan tahapan bertahap dan terstruktur. Ia tidak hanya ditandai oleh pertumbuhan angka-angka makroekonomi, tetapi juga melalui transformasi struktural dan penguatan kelembagaan yang mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, penyediaan lapangan kerja yang memadai menjadi salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan, terutama di wilayah-wilayah dengan konsentrasi aktivitas ekonomi tinggi.

Di tengah perubahan ekonomi global dan nasional, penciptaan lapangan kerja yang inklusif dan produktif menjadi tantangan sekaligus tujuan utama bagi pemerintah. Ketersediaan lapangan kerja bukan hanya menyangkut jumlahnya, tetapi juga berkaitan dengan kualitas pekerjaan, kepastian hukum, upah yang layak, dan akses yang merata di seluruh kelompok masyarakat. Di wilayah dengan tingkat urbanisasi tinggi, seperti kawasan metropolitan, tekanan terhadap pasar kerja semakin kuat akibat meningkatnya arus migrasi, kompetisi tenaga kerja, serta kebutuhan akan keterampilan yang terus berkembang. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berhasil tidak cukup hanya diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan juga dari sejauh mana pembangunan tersebut mampu menyerap tenaga kerja secara optimal, merata, dan berkeadilan di seluruh sektor dan wilayah.

Indonesia sebagai negara berkembang mengalami dinamika ekonomi yang kompleks. Pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, serta perubahan struktur industri turut memengaruhi pasar tenaga kerja. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah menciptakan kesempatan kerja yang sebanding dengan pertambahan jumlah angkatan kerja tiap tahunnya. Kawasan Jabodetabek, yang mencakup DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, menjadi pusat aglomerasi ekonomi yang memainkan peran penting dalam menampung arus urbanisasi dan tenaga kerja dari berbagai daerah.

Kota besar dan wilayah sekitarnya memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui proses aglomerasi dan distribusi tenaga kerja. Harahap [1] menunjukkan bahwa kota besar seperti Jakarta menjadi pusat ekonomi yang menarik migrasi dan aktivitas ekonomi. Adisasmita [2] menjelaskan bahwa wilayah metropolitan, termasuk Jabodetabek, memiliki peran vital dalam perekonomian Indonesia karena merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan industri. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Jabodetabek terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 30%, dengan DKI Jakarta sendiri menyumbang 16,6%. Wilayah penyangga seperti Kabupaten/Kota Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan turut mendukung peran Jakarta sebagai pusat pertumbuhan melalui fungsi pemukiman, industri, dan jasa yang saling terintegrasi.

Tingginya kontribusi ekonomi kawasan Jabodetabek tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan fungsional antarwilayah yang membentuk suatu sistem aglomerasi perkotaan. Mobilitas tenaga kerja, arus komuter harian, serta penyebaran kegiatan ekonomi lintas batas administratif menunjukkan bahwa pembangunan di Jakarta sangat bergantung pada peran daerah penyangga, begitu pula sebaliknya. Kota-kota satelit seperti Bekasi dan Tangerang berkembang pesat sebagai kawasan industri dan hunian, sementara Depok dan Bogor tumbuh menjadi pusat pendidikan dan jasa. Fenomena ini mempertegas bahwa pengelolaan pembangunan dan ketenagakerjaan di Jabodetabek harus dilakukan secara holistik dan terkoordinasi, bukan hanya berdasarkan batas wilayah administratif, tetapi juga berdasarkan logika spasial dan fungsional yang mencerminkan keterkaitan ekonomi riil antarwilayah. Dalam konteks ini, strategi penguatan penyerapan tenaga kerja perlu mempertimbangkan integrasi wilayah serta perbedaan karakteristik dan potensi ekonomi lokal masing-masing daerah di dalam kawasan tersebut.

Figure 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Kawasan Jabodetabek

Namun demikian, di balik geliat ekonomi kawasan ini, terdapat tantangan serius dalam aspek ketenagakerjaan. Gambar 1 memperlihatkan fluktuasi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kawasan Jabodetabek selama 2021–2023. Meski mencerminkan tren pemulihan pascapandemi, pertumbuhan lapangan kerja belum sepenuhnya mampu mengimbangi laju pertambahan angkatan kerja. Isu penyerapan tenaga kerja pun kian kompleks akibat ketimpangan ekonomi, urbanisasi terbalik, dan dominasi sektor informal.

Peneliti Variabel Wilayah Hasil Temuan
Hasna Noor Alifa, Enggar Bayu Kusumaningrum, Dhiya Putri Maharani [3] Variabel X : Jumlah unit usaha industri mikro dan kecil, Nilai keluaran industri mikro dan kecil Variabel Y : Y1 : Perekonomian Daerah Y2 : Penyerapan Tenaga Kerja Provinsi di Indonesia Jumlah unit industri dan nilai output tidak berpengaruh terhadap variabel dependen perekonomian daerah. Jumlah unit industri dan nilai output berpengaruh berpengaruh positif terhadap variabel dependen penyerapan tenaga kerja.
Putri Kurniawati, Ririt Iriani Setiawati [4] Variabel X : Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, PMDN Variabel Y : Penyerapan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo Pertumbuhan ekonomi dan UMP berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sidoarjo, PMDN tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja.
Arif Kurniawan, Siti Aisyah [5] Variabel X : Upah Minimum, Tingkat Pendidikan, Investasi, PDRB Variabel Y : Penyerapan Tenaga Kerja Jawa Barat PDRB dan tingkat pendidikan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, Investasi dan upah minimum berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Table 1.Penelitian Terdahulu

Namun, studi yang ada belum secara eksplisit menelaah dinamika hubungan antara kebijakan upah minimum, realisasi penanaman modal dalam negeri, dan jumlah industri mikro-kecil terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek. Kebijakan upah minimum memiliki keterkaitan yang erat dengan masalah dalam penyerapan tenaga kerja. Kenaikan upah minimum dapat memberikan dampak ganda terhadap serapan tenaga kerja, tergantung pada kondisi pasar tenaga kerja dan struktur biaya perusahaan. Penelitian Ardiansyah dan Huda [6] menunjukkan ketika upah minimum dinaikkan, perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawan, sehingga penyerapan tenaga kerja menurun karena biaya produksi yang harus ditanggung perusahaan meningkat. Di sisi lain, penelitian Kurniawati dan Setiawati [4] menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum dapat menarik tenaga kerja terampil dan investor. Ketika pendapatan masyarakat meningkat, konsumsi pun cenderung naik, yang pada akhirnya mendorong peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa. Selain itu, upah yang lebih tinggi juga dapat menjadi insentif bagi tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas dan loyalitas terhadap perusahaan, yang secara tidak langsung akan meningkatkan efisiensi operasional.

Penanaman modal dalam negeri berperan dalam menyerap tenaga kerja karena mendorong penggunaan faktor produksi baru, yang pada akhirnya menciptakan aktivitas ekonomi produktif dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Penelitian Susanti dan Indra [7] menegaskan bahwa penanaman modal dalam negeri (PMDN) mendukung perluasan usaha dan serapan tenaga kerja, karena setiap modal yang dialokasikan dalam bentuk pengembangan industri memerlukan tenaga kerja untuk mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia. Namun penelitian Widya Putra et al. [8] menunjukkan bahwa PMDN tidak selalu berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, tergantung pada sektor dan alokasi modal.

Selain upah minimum dan investasi dalam negeri, usaha mikro dan kecil turut berkontribusi pada tenaga kerja yang terserap. Meskipun dihadapkan pada berbagai kendala, seperti keterbatasan modal, akses pasar yang sempit, dan tantangan regulasi, peran industri mikro dan kecil (IMK) dalam menciptakan lapangan kerja baru tetap sangat penting. Sektor ini tidak hanya mampu menyerap tenaga kerja terutama di tingkat masyarakat menengah ke bawah, tetapi juga berperan sebagai tulang punggung perekonomian lokal. Sejalan dengan penelitian Alifia et al. [3] menyatakan bahwa jumlah industri mikro dan kecil (IMK) turut berkontribusi dalam menyerap tenaga kerja terutama di sektor informal.

Namun, studi-studi tersebut umumnya membahas masing-masing variabel secara terpisah. Belum banyak penelitian yang secara simultan menelaah bagaimana upah minimum, PMDN, dan jumlah IMK secara kolektif memengaruhi penyerapan tenaga kerja dalam satu model, terlebih dalam konteks kawasan aglomerasi seperti Jabodetabek yang memiliki karakteristik unik dalam hal arus komuter, urbanisasi, dan distribusi aktivitas ekonomi.

Penelitian ini memiliki kebaruan karena memadukan tiga variabel utama, upah minimum, PMDN, dan jumlah industri mikro-kecil dalam satu model analisis panel data pada level kota/kabupaten di kawasan Jabodetabek selama periode 2017–2023. Dengan menggunakan pendekatan Fixed Effect Model (FEM), penelitian ini berupaya mengidentifikasi pengaruh simultan ketiga variabel tersebut terhadap penyerapan tenaga kerja di wilayah aglomerasi perkotaan yang memiliki dinamika ekonomi dan sosial yang kompleks.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh upah minimum, penanaman modal dalam negeri, dan jumlah industri mikro-kecil terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek selama periode 2017–2023. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengestimasi kontribusi masing-masing variabel dalam memengaruhi penyerapan tenaga kerja, guna memberikan dasar empiris bagi perumusan kebijakan ketenagakerjaan di wilayah metropolitan Indonesia.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu metode yang berlandaskan pada pengumpulan data berbasis angka dari populasi atau sampel, kemudian dianalisis secara statistik guna menguji keterkaitan antarvariabel dan membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya [9]. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel, yang menggabungkan data runtut waktu (time series) dan lintas wilayah (cross section), sehingga mampu menangkap dinamika hubungan antarvariabel baik antarwaktu maupun antarwilayah secara simultan.

Penelitian ini mencakup 9 wilayah administratif di kawasan Jabodetabek, yakni: DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi, dengan periode pengamatan tahun 2017–2023.

a. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari:

  1. Badan Pusat Statistik (BPS)
  2. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)
  3. Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota terkait upah minimum

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi publikasi resmi dan time series statistik pemerintah.

b. Definisi Operasional Variabel

  1. Variabel dependen (Y): Penyerapan Tenaga Kerja (PTK), merupakan penduduk yang termasuk usia 15 tahun keatas yang sudah bekerja diukur berdasarkan jumlah penduduk usia kerja yang bekerja (dalam satuan jiwa).
  2. Variabel independen:
    1. X1: Upah Minimum (UM), merupakan upah bulanan terendah yang ditetapkan oleh gubernur dan berlaku bagi seluruh kabupaten/kota dalam satu provinsi dalam satuan ribu rupiah per tahun.
    2. X2: Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), mengacu pada investasi yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan dalam negeri pada sektor ekonomi dalam bentuk barang maupun jasa dalam satuan juta rupiah.
    3. X3: Jumlah Industri Mikro dan Kecil (IMK), merupakan total unit usaha industri yang sebagian besar termasuk usaha padat karya yang mempunyai peran dalam menciptakan lapangan kerja dalam satuan unit usaha.

Pemilihan model regresi panel terbaik dilakukan melalui Uji Chow (untuk memilih antara model Common Effect dan Fixed Effect), serta Uji Hausman (untuk menentukan model terbaik antara Fixed Effect Model dan Random Effect Model). Jika hasil uji Hausman signifikan, maka model Fixed Effect Model (FEM) dipilih. FEM dipandang tepat dalam penelitian ini karena mampu mengontrol heterogenitas spesifik antarwilayah yang tidak dapat diobservasi namun bersifat tetap (time-invariant), seperti kebijakan daerah, infrastruktur lokal, dan karakteristik sosial ekonomi yang khas. Penggunaan FEM memungkinkan estimasi yang tidak bias dari variabel-variabel yang dianalisis dalam konteks wilayah yang heterogen seperti Jabodetabek.

Dalam regresi linier, uji asumsi klasik yang diterapkan meliputi uji normalitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Namun, tidak semua model regresi linier memerlukan seluruh uji asumsi klasik tersebut. Karena model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM), maka uji asumsi klasik yang dilakukan hanya uji multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Uji normalitas tidak wajib karena bukan syarat BLUE, dan uji autokorelasi hanya relevan untuk data time series, sehingga tidak diperlukan untuk cross-section atau panel [10]

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan perangkat lunak EViews, dengan pengujian hipotesis melalui Uji R² (koefisien determinasi), Uji F (simultan), Uji t (parsial). Adapun bentuk umum model regresi panel yang digunakan dirumuskan sebagai berikut:

Y_it= α + β1 〖X1〗_it + β2 〖X2〗_it + β3 〖X3〗_it + e_it

Keterangan :

Y : Variabel Dependen

α : Koefisien Konstanta

β1, β2, β3 : Koefisien regresi

X1, X2, X3 : Variabel Independen

e : Tingkat Kesalahan (error)

Hasil dan Pembahasan

A. Uji Pemilihan Model

1.1. Uji Chow

Effect Test Statistic d.f Prob.
Cross-section F 50.711109 (8,51) 0.0000
Cross-section Chi-square 138.107133 8 0.0000
Table 2.Hasil olah data Uji Chow, Eviews 2025

Uji Chow digunakan untuk menentukan model terbaik antara Common Effect Model (CEM) dan Fixed Effect Model (FEM) dalam estimasi data panel. Dasar kriteria uji chow jika P-value cross section F > 0,05, maka H0 diterima, sehingga model yang tepat adalah Common Effect Model (CEM). Jika P-value cross section F < 0,05, maka H0 ditolak, sehingga model yang lebih sesuai adalah Fixed Effect Model (FEM). Pada hasil uji chow diperoleh hasil probabilitas sebesar 0.0000 < 0.05, maka Fixed Effect Model (FEM) terpilih, dan dilanjut dengan uji hausman.

1.2 Uji Hausman

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 100.364397 3 0.0000
Table 3.Hasil olah data Uji Hausman, Eviews 2025

Uji Hausman digunakan untuk menentukan apakah Fixed Effect Model atau Random Effect Model lebih tepat dalam estimasi data panel. Dasar kriteria uji hausman jika P value cross section random > 0,05, maka H0 diterima, sehingga model yang tepat adalah Random Effect Model (REM). Jika P-value cross section random < 0,05, maka H0 ditolak, sehingga model yang lebih sesuai adalah Fixed Effect Model (FEM). Berdasarkan hasil uji hausman diperoleh hasil probabilitasnya sebesar 0.0000 < 0.05, sehingga model terbaik yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM) sehingga uji Lagrange Multiplier (LM) tidak perlu dilakukan.

B. Uji Asumsi Klasik

2.1 Uji Multikolinieritas

Variable Coefficient Variance Uncentered VIF Centered VIF
C 2.95E+10 86.13374 NA
X1_UM 0.001791 90.45672 1.227250
X2_PMDN 8.63E-06 5.021321 1.266106
X3_IMK 9.577407 14.29066 1.054935
Table 4.Hasil olah data Uji Multikolinieritas, Eviews 2025

Berdasarkan hasil Uji Multikolinieritas pada tabel tersebut menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas, yaitu X1 (Upah Minimum), X2 (PMDN), X3 (Jumlah IMK) memiliki nilai Centered VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi gejala multikolinieritas.

2.2 Uji Heteroskedastisitas

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 50650.22 113207.0 0.447412 0.6565
X1_UM -0.012640 0.027902 -0.453026 0.6525
X2_PMDN 3.09E-05 0.001937 0.015972 0.9873
X3_IMK 3.479832 2.040554 1.705337 0.0942
Table 5. Hasil olah data Uji Heteroskedastisitas, Eviews 2025

Berdasarkan tabel tersebut, nilai probabilitas dari masing-masing variabel independen > 0.05 maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat gejala heterokedastisitas.

C. Analisis Model Regresi

Model regresi linier digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil pemilihan model, Fixed Effect Model (FEM) dipilih sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1506356. 171691.7 8.773607 0.0000
X1_UM 0.021 0.042 0.489 0.627
X2_PMDN 0.008 0.003 2.585 0.013
X3_IMK 0.025 3.095 0.008 0.994
Table 6.Hasil olah data Uji FEM, Eviews 2025

Y_PTK = 1506355,646 + 0,02 1 X1_UM + 0,00 8 X2_PMDN + 0,025 X3_IMK + e

Hasil persamaan regresi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

  1. Konstanta sebesar 1.506.355,646 menunjukkan nilai penyerapan tenaga kerja pada saat upah minimum dan penanaman modal dalam negeri bernilai konstan.
  2. Koefisien Upah Minimum (X1) sebesar 0,021 menunjukkan Upah Minimum (X1) berpengaruh positif, setiap kenaikan upah minimum sebesar 1 rupiah dengan asumsi variabel lainnya tetap, maka penyerapan tenaga kerja naik sebanyak 0,021 jiwa.
  3. Koefisien Penanaman Modal Dalam Negeri (X2) sebesar 0,008 menunjukkan Penanaman Modal Dalam Negeri (X2) berpengaruh positif, setiap kenaikan PMDN sebesar 1 juta rupiah dengan asumsi variabel lainnya tetap, maka penyerapan tenaga kerja naik sebanyak 0,008 jiwa.
  4. Koefisien Jumlah Industri Mikro dan Kecil (X3) sebesar 0,025 menunjukkan Jumlah Industri Mikro dan Kecil (X3) berpengaruh positif, setiap kenaikan Jumlah Industri Mikro dan Kecil sebesar 1 unit usaha dengan asumsi variabel lainnya tetap, maka penyerapan tenaga kerja naik sebanyak 0,025 jiwa.

D. Uji Hipotesis

4.1 Uji Koefisien Determinasi

R-squared 0.988507
Adjusted R-squared 0.986028
Table 7.Hasil olah data Uji Koefisien Determinasi, Eviews 2025

Koefisien determinasi (Adjusted R-squared) pada hasil model regresi variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 0.986028. Berdasarkan hasil tersebut, berarti variasi variabel penyerapan tenaga kerja mampu dijelaskan oleh variabel upah minimum, penanaman modal dalam negeri, dan jumlah industri mikro dan kecil sebesar 0.986028. Atau dalam pengertian lain, kontribusi seluruh variabel independen sebesar 98.6%, sedangkan sisanya sebesar 1.4% merupakan kontribusi dari faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

4.2 Uji F (Simultan)

F-statistic 398.7585
Prob(F-statistic) 0.000000
Table 8.Hasil olah data Uji F, Eviews 2025

Berdasarkan hasil uji simultan pengaruh variabel upah minimum, penanaman modal dalam negeri memperoleh statistik uji F sebesar 398.7585 dengan nilai probabilitas sebesar 0.0000. Nilai tersebut menunjukkan statistik probabilitas < 0.05 hal ini menunjukkan terdapat pengaruh signifikan secara simultan (bersama-sama) upah minimum, penanaman modal dalam negeri, dan jumlah industri mikro dan kecil terhadap penyerapan tenaga kerja.

4.3 Uji t (Parsial)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1506356. 171691.7 8.773607 0.0000
X1_UM 0.021 0.042 0.489 0.627
X2_PMDN 0.008 0.003 2.585 0.013
X3_IMK 0.025 3.095 0.008 0.994
Table 9. Hasil olah data Uji t, Eviews 2025
  1. Uji Parsial antara Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Nilai t-Statistic = 0.488789 dan p-value = 0.6271 (> 0.05), artinya pengaruh Upah Minimum positif dan tidak signifikan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja.
  2. Uji Parsial antara Penanaman Modal Dalam Negeri Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Nilai t-Statistic = 2.585443 dan p-value = 0.0126 (< 0.05), artinya pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
  3. Uji Parsial Jumlah Industri Mikro dan Kecil terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Nilai t-Statistic = 0.007942 dan p-value = 0.9937 (> 0.05), artinya pengaruh jumlah industri mikro dan kecil positif dan tidak signifikan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja.

Pembahasan

A. Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah minimum tidak berpengaruh signifikan secara positif terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek, dengan nilai probabilitas sebesar 0,6271 (>0,05). Temuan ini mengindikasikan bahwa kenaikan upah minimum tidak secara langsung meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terserap di wilayah tersebut.

Secara ilmiah, fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme dasar. Pertama, peningkatan upah minimum umumnya diasosiasikan dengan teori efisiensi upah yang dikemukakan oleh Mankiw [11], yang menyatakan bahwa kenaikan upah dapat meningkatkan produktivitas pekerja dan daya beli, sehingga mendorong permintaan agregat dan penyerapan tenaga kerja. Namun di kawasan Jabodetabek, pengaruh tersebut terkendali oleh karakteristik struktur ekonomi lokal yang didominasi oleh sektor informal dan usaha mikro-kecil yang tidak sepenuhnya patuh pada kebijakan upah minimum. Proporsi pekerja informal yang tinggi. Data BPS 2022 menunjukkan proporsi pekerja informal di Banten 58,99%, Jawa Barat 59,91%, dan DKI Jakarta 36,88%, dengan sektor-sektor seperti perdagangan, transportasi, dan akomodasi didominasi pekerja informal di atas 50% menyebabkan sebagian besar tenaga kerja menerima upah berdasarkan kesepakatan atau produktivitas harian, bukan upah minimum resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Kondisi ini menjelaskan mengapa kenaikan upah minimum tidak berimplikasi besar terhadap penurunan atau peningkatan penyerapan tenaga kerja secara keseluruhan. Selain itu, skala ekonomi yang dinikmati oleh perusahaan di wilayah ini, seperti akses pasar luas, infrastruktur memadai, tenaga kerja beragam, dan jaringan bisnis kuat yang memberikan fleksibilitas untuk mengelola biaya tenaga kerja tanpa mengurangi jumlah pekerja secara signifikan.

Temuan ini selaras dengan penelitian Rizma dan Muchtolifah [12], serta Agung Pratama et al. [13], yang menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada wilayah dengan sistem ekonomi fleksibel. Hal ini juga mencerminkan fenomena pertumbuhan usaha mandiri yang lebih cepat daripada penyerapan tenaga kerja formal, serta ketidakkonsistenan penerapan upah minimum oleh perusahaan yang menyebabkan ketimpangan upah.

Namun, hasil ini berbeda dengan studi Putri et al. [4], yang menemukan bahwa upah minimum secara signifikan memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik wilayah dan dominasi sektor formal dalam wilayah penelitian tersebut, sehingga dampak kenaikan upah minimum lebih terasa.

Implikasi kebijakan dari temuan ini adalah perlunya segmentasi kebijakan upah minimum yang mempertimbangkan karakteristik wilayah. Untuk wilayah dengan dominasi sektor informal seperti Jabodetabek, kebijakan pendukung lain seperti sertifikasi keterampilan informal, penguatan pengawasan upah, dan pelatihan produktivitas berbasis komunitas dapat lebih efektif meningkatkan kesejahteraan pekerja daripada sekadar menaikkan upah minimum secara makro.

B. Pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Penelitian ini menemukan bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai probabilitas 0,0126 (< 0,05). Temuan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan PMDN dapat secara langsung mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap.

Secara ilmiah, hubungan ini dapat dijelaskan melalui teori investasi Keynes yang menyatakan bahwa peningkatan investasi akan meningkatkan pendapatan masyarakat, konsumsi, dan secara simultan mendorong penciptaan lapangan kerja. Dalam konteks Jakarta dan sekitarnya, peningkatan PMDN mendorong aktivitas ekonomi karena kawasan ini didukung oleh infrastruktur industri dan logistik yang baik, seperti kawasan industri MM2100 di Bekasi dan pusat distribusi di Jakarta Utara sehingga menarik investor domestik untuk menanamkan modalnya.

Teori Harrod-Domar juga mendukung temuan ini dengan menekankan peran penting investasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ketika PMDN meningkat, modal yang tersedia bagi perusahaan untuk ekspansi dan peningkatan produksi juga bertambah, yang secara langsung menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja baru, terutama di sektor-sektor padat karya. Hal ini juga dipermudah oleh ketersediaan tenaga kerja terdidik dan terampil di wilayah metropolitan Jabodetabek yang sesuai dengan kebutuhan sektor industri, jasa, dan teknologi.

Peningkatan PMDN yang disertai dengan pertumbuhan lapangan kerja ini menunjukkan adanya efek pengganda (multiplier effect), di mana modal tidak hanya mendorong produktivitas, tetapi juga memperluas basis tenaga kerja secara efisien. Temuan ini diperkuat oleh penelitian Widiawati dan Mafruhat [14], serta Rachman et al. [15], yang menunjukkan bahwa peningkatan modal domestik mampu meningkatkan produktivitas dan memicu permintaan tenaga kerja tambahan.

Namun demikian, hasil ini tidak sepenuhnya seragam jika dibandingkan dengan studi Kurniawati dan Setiawati [4], yang menemukan bahwa PMDN tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh kecenderungan investasi pada aset fisik dan otomatisasi proses produksi, yang berpotensi mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja manusia dalam jangka pendek, terutama di sektor yang berorientasi pada efisiensi mesin. penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah Jabodetabek masih memanfaatkan tenaga kerja manusia secara intensif dalam operasional bisnisnya.

Kebijakan yang dapat diambil untuk memaksimalkan efek PMDN antara lain adalah pemberian tax holiday sektoral untuk industri padat karya, penyederhanaan perizinan investasi, dan insentif lokasi untuk investor yang menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar, terutama di sektor makanan-minuman, tekstil, dan logistik.

C. Pengaruh Jumlah Industri Mikro dan Kecil terhadap Penyerapan Tenga Kerja

Penelitian ini menemukan bahwa jumlah industri mikro dan kecil (IMK) memiliki hubungan positif namun tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,9937 (> 0,05). Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun jumlah IMK meningkat, peningkatan tersebut tidak secara statistik berdampak nyata terhadap pertumbuhan penyerapan tenaga kerja.

Fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah melalui beberapa faktor struktural dan konseptual. Industri mikro dan kecil di Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan padat seperti Jabodetabek, umumnya berskala sangat kecil dengan keterbatasan modal, tenaga kerja, dan teknologi. Sebagian besar IMK dikelola secara informal dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga atau lingkungan sekitar. Merujuk data BPS, usaha mikro hanya mempekerjakan 1–5 orang dan usaha kecil 6–20 orang, sehingga meskipun jumlah unit usaha bertambah, skala penyerapan tenaga kerja per unit tetap rendah.

Berdasarkan teori Schumpeter, yang menekankan pentingnya inovasi dalam kewirausahaan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sebagian besar IMK masih belum menunjukkan kapasitas inovatif yang memadai. IMK di wilayah ini cenderung homogen dalam produk dan pasar, sehingga persaingan terjadi pada level yang sama tanpa penciptaan nilai tambah. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat kegagalan usaha, umur usaha yang pendek, serta rendahnya kontribusi terhadap pasar tenaga kerja formal.

Tren ini diperkuat oleh temuan Artamevia dan Huda [16], serta Pramono dan Firdayetti [17], yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah IMK tidak sebanding dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja karena efisiensi skala, penggunaan teknologi substitutif, dan rendahnya daya serap pasar terhadap output mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua pertumbuhan unit usaha berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja, terutama jika orientasi bisnisnya tidak padat karya atau hanya bersifat subsisten.

Namun demikian, hasil ini bertolak belakang dengan studi Alifia et al. [3] yang menunjukkan bahwa IMK, terutama yang padat karya, justru mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dibanding industri besar yang cenderung lebih padat modal dan berteknologi tinggi. Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh variasi jenis industri, lokasi geografis, dan sektor yang diteliti. Dalam konteks wilayah Jabodetabek, dominasi sektor jasa dan perdagangan informal dalam IMK memperkuat temuan bahwa kontribusi mereka terhadap penyerapan tenaga kerja tetap terbatas dalam jangka panjang.

Dari sisi kebijakan, diperlukan program inkubasi bisnis dan akses permodalan khusus bagi IMK padat karya yang memiliki potensi ekspansi tenaga kerja. Pemerintah daerah dapat menerapkan subsidi bunga kredit usaha mikro, pelatihan keterampilan produksi, serta kemitraan pasar antara IMK dengan perusahaan besar atau platform digital, guna memperluas kapasitas produksi dan jangkauan pasar mereka secara berkelanjutan.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

a. Upah minimum tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di kawasan Jabodetabek.

b. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.

c. Jumlah Industri Mikro dan Kecil (IMK) tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja

Temuan ini menunjukkan pentingnya mendorong peningkatan investasi domestik sebagai strategi utama dalam menciptakan lapangan kerja, khususnya di sektor-sektor padat karya. Di samping itu, pemberdayaan IMK perlu difokuskan pada peningkatan kapasitas, inovasi, dan formalitas usaha agar kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dapat lebih optimal.

Studi berikutnya dapat memasukkan variabel seperti kualitas pendidikan tenaga kerja atau keberadaan tenaga kerja asing sebagai faktor tambahan yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja, sehingga analisis menjadi lebih komprehensif.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam proses penyusunan artikel ini. Secara khusus, apresiasi disampaikan kepada dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya, serta kepada instansi terkait yang telah menyediakan data dan informasi yang diperlukan. Terima kasih juga kepada keluarga dan rekan-rekan yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan moral selama proses penelitian ini berlangsung.

References

  1. F. R. Harahap, “Impact of Urbanization for City Developments in Indonesia,” Journal of Society, vol. 1, no. 1, pp. 35–45, 2013.
  2. H. R. Adisasmita, Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
  3. H. Alifia, E. Kusumaningrum, and D. Maharani, “Industri Mikro dan Kecil: Peran terhadap Perekonomian Daerah dan Penyerapan Tenaga Kerja,” Journal of Regional Economics and Employment, vol. 1, no. 1, pp. 25–38, 2021.
  4. P. Kurniawati and R. I. S. Setiawati, “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penanaman Modal Dalam Negeri, dan Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sidoarjo,” UPN “Veteran” Jawa Timur, 2024. [Online]. Available: [https://repository.upnjatim.ac.id/id/eprint/24267]
  5. A. Kurniawan and S. Aisyah, “Determinan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017–2021,” SEIKO: Jurnal Manajemen dan Bisnis, vol. 6, no. 1, pp. 198–207, 2023, doi: 10.37531/sejaman.v6i1.3839.
  6. V. Ardiansyah and S. Huda, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Mojokerto,” Jurnal Ekonomi Pembangunan STIE Muhammadiyah Palopo, vol. 9, no. 1, p. 185, 2023, doi: 10.35906/jep.v9i1.1489.
  7. E. Susanti and Indra, “Pengaruh Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Berau 2005–2019,” Eco-Build: Journal of Economic Development, vol. 6, no. 1, p. 31, 2022.
  8. F. W. Putra, N. Ariani, and F. Nofrian, “Analisis Relevansi Penanaman Modal Asing, Modal Dalam Negeri dan Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia 1990–2019,” Jurnal Indonesian Social Science, vol. 3, no. 4, pp. 708–719, 2022, doi: 10.36418/jiss.v3i4.571.
  9. Muhajirin, Risnita, and Asrulla, “Pendekatan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Tahapan Penelitian,” Jurnal Genta Mulia, vol. 15, no. 1, pp. 82–92, 2024.
  10. D. N. Gujarati, Basic Econometrics, 4th ed. New York: McGraw-Hill, 2003.
  11. N. G. Mankiw, Makroekonomi, 6th ed. Jakarta: Erlangga, 2007.
  12. Z. O. Rizma, “Pengaruh Upah Minimum Regional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Jumlah Angkatan Kerja terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Nganjuk,” UPN “Veteran” Jawa Timur, 2023.
  13. B. A. Pratama, S. Muljaningsih, and K. Asmara, “Pengaruh PDRB, Tingkat Upah Minimum dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sidoarjo,” Jurnal Syntax Admiration, vol. 2, no. 8, pp. 1395–1406, 2021, doi: 10.46799/jsa.v2i8.293.
  14. L. Widiawati and A. Y. Mafruhat, “Pengaruh Penanaman Modal, Penanaman Modal Asing dan Upah Minimum Provinsi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Banten Periode 2010–2020,” Jurnal Riset Ilmu Ekonomi dan Bisnis, pp. 79–86, 2022. [Online]. Available: [https://repository.uinbanten.ac.id/8892/]
  15. A. Rachman, A. A. Muthalib, R. Rosnawintang, and L. Harafah, “Pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral di Provinsi Sulawesi Tenggara,” Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan, vol. 7, no. 2, p. 156, 2022, doi: 10.33772/jpep.v7i2.22541.
  16. S. Y. Artamevia and S. Huda, “Analisis Pengaruh Jumlah Industri Kecil, Jumlah Penduduk dan Nilai Produksi Industri Kecil terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Sektor Industri Kecil di Wilayah Kabupaten Magetan,” JEMSI: Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi, vol. 9, no. 6, pp. 2343–2350, 2023.
  17. K. D. Pramono and Firdayetti, “Determinasi Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Tengah Periode 2015–2020,” Jurnal Ekonomi Trisakti, vol. 2, no. 2, pp. 819–832, 2020, doi: 10.25105/jet.v2i2.14436.