Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Business and Economics
DOI: 10.21070/acopen.10.2025.11287

Belanja Modal Daerah : Dinamika Ketergantungan Fiskal, PAD, dan SiLPA di Kabupaten Gresik


Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur
Indonesia
Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur
Indonesia

(*) Corresponding Author

Capital Expenditur Fiscal Dependence Local Revenue SiLPA Local Finance

Abstract

This study aims to analyze the effect of the regional financial dependency ratio, Regional Original Revenue (PAD), and Budget Surplus (SiLPA) on capital expenditure allocation in Gresik Regency. The data used are secondary data from 2009 to 2023 obtained from the Directorate General of Treasury (DJPK) of the Ministry of Finance and the Regional Asset and Finance Management Agency (BPKAD) of Gresik Regency. This study employs a quantitative approach using multiple linear regression analysis. The results indicate that PAD and SiLPA have a significant influence on capital expenditure allocation, while the regional financial dependency ratio does not show a significant influence. These findings suggest that fiscal autonomy and budget efficiency play a key role in driving regional infrastructure development.
Highlight :

  • PAD and fiscal dependence significantly influence capital expenditure allocation in Gresik Regency.

  • SiLPA does not significantly affect capital spending, indicating inefficiencies in budget absorption.

  • The study highlights the need for better fiscal planning to optimize infrastructure development.

Keywords : Capital Expenditur, Fiscal Dependence, Local Revenue, SiLPA, Local Finance

 

PENDAHULUAN

Pasca reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki era baru dalam tata kelola pemerintahan yang ditandai dengan penerapan sistem otonomi daerah. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat serta mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri berbagai urusan pemerintahan sesuai dengan potensi, karakteristik dan kebutuhan lokal masing-masing daerah . Salah satu pilar penting yang mendukung pelaksanaan otonomi ini adalah desentralisasi fiskal, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan secara mandiri . Dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskalnya sendiri, mengurangi ketergantungan terhadap dana transfer pusat, serta menyusun kebijakan anggaran yang lebih responsif dan tepat sasaran.

Sebagai perwujudan dari tanggung jawab fiskal, kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran secara efektif menjadi sangat krusial, khususnya untuk jenis belanja yang bersifat produktif dan berdampak jangka panjang terhadap pembangunan. Salah satu komponen penting dari belanja daerah yang mencerminkan orientasi pembangunan dan keberhasilan otonomi adalah belanja modal. Belanja modal merupakan komponen anggaran yang dialokasikan untuk pembentukan aset tetap yang dapat memberikan manfaat ekonomi maupun sosial secara berkelanjutan, seperti pembangunan infrastruktur fisik, pengadaan sarana dan prasarana publik, serta peningkatan layanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan transportasi . Oleh karena itu, belanja modal memiliki peran strategis tidak hanya dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, tetapi juga sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah.

Hubungan antara otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan belanja modal sangat erat dan saling mempengaruhi. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya dapat diukur dari sejauh mana pemerintah daerah mampu mengalokasikan belanja modal secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pembangunan wilayahnya . Namun, dalam pelaksanaannya, pengelolaan belanja modal masih dihadapkan pada berbagai tantangan, di mana tidak semua daerah mampu mengalokasikan anggaran belanja modal secara optimal karena keterbatasan fiskal, prioritas kebijakan, atau kendala dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, alokasi belanja modal dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari sisi kemampuan pendapatan maupun efisiensi dalam realisasi anggaran.

Kabupaten Gresik, sebagai salah satu daerah industri utama di Provinsi Jawa Timur, memiliki kapasitas fiskal sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2023, indeks kapasitas fiskal Kabupaten Gresik mencapai 2,293 di mana jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sebesar 1,0 . Namun, meskipun kapasitas fiskalnya tinggi, realisasi belanja modal di Kabupaten Gresik masih tergolong rendah. Fenomena kesenjangan tersebut dapat dilihat dari data rasio belanja modal terhadap total belanja selama lima tahun terakhir yang mengalami fluktuasi signifikan. Rasio belanja modal sempat mencapai 18,05% pada tahun 2019, namun menurun drastis menjadi 9,10% pada tahun 2020. Meskipun kemudian mengalami kenaikan pada 2023 menjadi 12,61%, angka ini tetap di bawah rekomendasi ideal Kementerian Keuangan, yaitu minimal 30%. Rendahnya rasio ini mencerminkan belum optimalnya kebijakan belanja daerah yang mendukung pembangunan jangka panjang.

Figure 1.Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2019-2023 (dalam persen)

Salah satu faktor yang diyakini mempengaruhi rendahnya alokasi belanja modal adalah tingginya ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan fiskal mengindikasikan sejauh mana suatu daerah bergantung pada dana transfer dari pusat untuk membiayai kegiatan operasional dan pembangunan . Data ketergantungan fiskal Kabupaten Gresik selama periode 2019-2023 menunjukkan kecenderungan yang cukup tinggi dan stabil di atas 60%. Nilai ketergantungan fiskal yang berkisar antara 63% hingga 66% menunjukkan bahwa lebih dari setengah pendapatan daerah masih berasal dari transfer pusat. Ketergantungan yang tinggi ini berpotensi membatasi fleksibilitas anggaran daerah dalam menetapkan prioritas pembangunan, termasuk belanja modal.

Figure 2. Ketergantungan Fiskal Kabupaten Gresik Tahun 2019-2023 (dalam Persen)

Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator utama kemandirian fiskal yang dapat memperluas ruang fiskal belanja modal. Peningkatan PAD menunjukkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi lokalnya dan mengurangi ketergantungan terhadap transfer pusat . Data menunjukkan, meskipun PAD Kabupaten Gresik dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 980,78 M menjadi Rp 1.171,02 M pada tahun 2023, tetapi kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah Kabupaten Gresik masih berada di kisaran 35%, yang menandakan bahwa peran PAD belum cukup dominan dalam menopang pembiayaan belanja modal.

Figure 3.Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2019-2023(dalam Miliar Rupiah)

Selain PAD dan ketergantungan fiskal, efisiensi pengelolaan anggaran juga menjadi aspek penting dalam optimalisasi belanja modal. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi penganggaran adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). SiLPA yang tinggi dapat mencerminkan ketidakefisienan dalam realisasi anggaran, termasuk untuk belanja modal . Di Kabupaten Gresik, pada tahun 2020 dan 2021 tercatat bahwa SiLPA memiliki nilai yang lebih besar dari realisasi belanja modal, di mana menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Fenomena ini menjadi ironis mengingat kebutuhan pembangunan infrastruktur yang masih tinggi, namun anggaran yang tersedia tidak dapat diserap dengan optimal.

Figure 4. Perbandingan SiLPA dan Belanja Modal Kabupaten Gresik Tahun 2019-2023

Fenomena-fenomena yang terjadi menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi fiskal dan pengalokasian anggaran pembangunan. Hal tersebut tidak hanya bersifat teknis fiskal, tetapi juga menyangkut aspek manajerial. Bagi pemerintah daerah, pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal sangat penting dalam merancang strategi pengalokasian anggaran yang tepat sasaran, meningkatkan efisiensi fiskal, dan mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya berkontribusi dalam literatur fiskal, tetapi juga memberikan implikasi praktis bagi pengambilan keputusan dan tata kelola keuangan daerah yang lebih responsif.

Berbagai studi sebelumnya telah meneliti pengaruh variabel fiskal terhadap belanja modal. Namun, sebagian besar fokus pada tingkat nasional atau provinsi, tanpa memperhatikan kontes daerah dengan kapasitas fiskal tinggi namun realisasi belanja modal rendah. Selain itu, belum banyak studi yang menggabungkan secara simultan tiga variabel penting seperti Ketergantungan Fiskal, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) dalam satu model analisis. Oleh karena itu, studi ini baru karena secara khusus mengkaji pengaruh ketiga variabel tersebut secara simultan di Kabupaten Gresik, sebuah daerah dengan kapasitas fiskal tinggi namun memiliki alokasi belanja modal yang belum optimal.

Peneliti Variabel Metode Temuan Utama
Hidayat et al. (2024) DAU, PAD, Kinerja Keuangan Regresi Linear Berganda - PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. - Ketergantungan fiskal berpengaruh negatif terhadap belanja modal kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Yuliantoni & Fefri (2021) DAU, PAD, DBH, SILPA Regresi Moderasi - PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal pemerintah provinsi se-Indonesia. - SILPA tidak memoderasi (memperlemah) pengaruh PAD terhadap belanja modal pemerintah provinsi se-Indonesia.
Arthadela & Titik (2023) PAD, DAU, SILPA Regresi Linear Berganda - PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. - SILPA tidak berpengaruh terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
Table 1.Penelitian Terdahulu

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Ketergantungan Fiskal, PAD, dan SiLPA terhadap Belanja Modal di Kabupaten Gresik periode 2009-2023. Fokus ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih mendalam tentang dinamika pengelolaan fiskal daerah, serta menawarkan kontribusi nyata dalam pembentukan strategi keuangan yang lebih efektif dan kontekstual di tingkat daerah.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis hubungan kausal antara variabel-variabel keuangan daerah di Kabupaten Gresik. Variabel yang diteliti meliputi Ketergantungan Fiskal, PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). Ketiga variabel independen ini dianalisis pengaruhnya terhadap Belanja Modal sebagai variabel dependen.

Variabel Definisi Operasional Indikator Satuan
Ketergantungan Fiskal Ketergantungan fiskal merupakan rasio yang mengukur tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Rasio Ketergantungan = Persen (%)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah Miliar Rupiah (Rp)
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) SiLPA merupakan selisih antara realisasi penerimaan dan pengeluaran dalam satu tahun anggaran. SiLPA = Total Realisasi Penerimaan – Total Realisasi Pengeluaran Miliar Rupiah (Rp)
Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya Miliar Rupiah (Rp)
Table 2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Subjek penelitian berupa laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, khususnya komponen pendapatan dan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersumber dari laporan resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan serta Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Gresik, di mana dikumpulkan secara timeseries selama periode 15 tahun (2009–2023). Pemilihan periode penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tahun 2009 merupakan dekade pertama pasca implementasi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, serta tersedianya sistem pelaporan keuangan daerah yang konsisten berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006. Periode 15 tahun ini juga strategis karena mencakup berbagai kondisi ekonomi mulai dari dampak krisis global (2008-2009), periode pertumbuhan stabil (2010-2019), hingga dampak pandemi COVID-19 (2020-2023), sehingga memungkinkan analisis perilaku fiskal daerah yang komprehensif. Selain itu, jumlah 15 observasi memenuhi syarat minimum untuk analisis regresi linear berganda dengan 3 variabel independen dan memberikan kekuatan statistik yang memadai untuk penelitian.

Teknik Pengumpulan data dilakukan melalui metode dokumentasi, meliputi tahapan pengumpulan, pencatatan, dan klasifikasi data dari laporan keuangan daerah dan sumber resmi pemerintah. Metode dokumentasi dipilih karena sifatnya yang objektif dan memungkinkan akses terhadap data historis yang lengkap dan akurat. Data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS versi 27. Software ini dipilih karena mempermudah dalam analisis regresi untuk mengidentifikasi tren, pola, dan hubungan antar variabel secara objektif. Penggunaan software ini juga dapat meningkatkan kecepatan dan akurasi penelitian, sehingga menghasilkan gambaran empiris yang jelas.

Pengujian dilakukan menggunakan analisis regresi linear berganda melalui tahapan sistematis yang dimulai dengan uji asumsi klasik sebagai prasyarat validitas modal. Uji asumsi klasik mencakup normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi, untuk memastikan model regresi memenuhi syarat statistik. Setelah asumsi terpenuhi, dilanjutkan dengan uji hipotesis yang terdiri dari uji koefisien determinasi, uji parsial (uji t), dan uji simultan (uji f). Rangkaian pengujian ini bertujuan mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen baik secara individual maupun bersama-sama .

Model persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

di mana :

Y= Variabel Independen

α= Nilai Konstanta

𝛽1, 𝛽2, 𝛽3= Koefisien Variabel Independen

X1, X2, X3= Variabel Independen

ε= Error

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Uji Asumsi Klasik

1.1 Uji Normalitas

Figure 5.Hasil Uji Normalitas

Uji Normalitas digunakan untuk memberikan penilaian apakah sebaran data di suatu kelompok variabel atau data telah berdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan gambar hasil uji normalitas yang telah dilakukan, dapat diamati bahwa titik-titik koordinat antara nilai observasi dengan data mengikuti garis diagonal dengan baik. Pola sebaran titik-titik tersebut menunjukkan kecenderungan yang konsisten untuk menyebar dan bergerak mengikuti arah garis diagonal dari kiri bawah ke kanan atas. Tidak terlihat adanya penyimpangan yang signifikan atau titik-titik yang menyebar jauh dari garis diagonal tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini berdistribusi normal.

1.2 Uji Multikolinearitas

Model Collinearity Statistic
Tolerance VIF
(Constant)
Ketergantungan Fiskal ,733 1,365
PAD ,586 1,707
SiLPA ,738 1,355
Table 3.Hasil Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah terjadi korelasi antar variabel bebas yang digunakan dalam model regresi. Model regresi dapat dikatakan baik ketika tidak terdapat korelasi di antara variabel bebasnya. Sebuah model regresi dinyatakan terbebas dari multikolinearitas ketika tolerance bernilai lebih besar dari 0,10 ataupun VIF bernilai kurang dari 10. Tabel hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa semua variabel independen memiliki nilai tolerance > 0,10 dan nilai VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan tidak mengalami masalah dan terbebas dari gejala multikolinearitas.

1.3 Uji Heterokedastisitas

Coefficientsa
Model Sig
Ketergantungan Fiskal ,327
PAD ,125
SiLPA ,698
Table 4.Hasil Uji Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas digunakan untuk melihat apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variabel dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Uji heterokedastisitas dilakukan menggunakan Uji Glejser, di mana nilai signifikansi harus lebih besar dari 0,05. Berdasarkan tabel hasil uji heterokedastisitas, terlihat bahwa semua variabel independen memiliki nilai signifikansi > 0,05 yang menunjukkan bahwa model regresi yang digunakan terbebas dari gejala heterokedastisitas.

1.4 Uji Autokorelasi

Runs Test
Asymp. Sig. (2-tailed) ,110
Table 5.Hasil Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan penganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Dalam uji run test suatu model regresi dikatakan tidak mengalami autokorelasi apabila nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > 0,05. Tabel hasil uji autokorelasi menunjukkan nilai Sig. yaitu 0,110 > 0,05 sehingga, dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan tidak mengalami gejala atau masalah autokorelasi.

Analisis Regresi Linear Berganda

Model Unstandardized Coefficients
B Std. Error
(Constant) 103,477 34,480
Ketergantungan Fiskal ,261 ,078
PAD ,280 ,052
SiLPA ,081 ,141
Table 6.Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis Regresi Linear Berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yaitu ketergantungan Fiskal, PAD dan SiLPA terhadap variabel terikat yaitu belanja modal. Berdasarkan tabel hasil analisis regresi linear berganda, persamaan model regresi dapat disusun sebagai berikut :

BM = 103,477 + 0,261KF + 0,280PAD + 0,081SiLPA + e

Persamaan model regresi tersebut memiliki arti :

  1. Dengan nilai konstanta sebesar 103,477 dapat diinterpretasikan bahwa ketika variabel independen bernilai 0, maka nilai variabel dependen akan menjadi 103,477 miliar rupiah.
  2. Dengan koefisien regresi variabel Ketergantungan Fiskal (X1) sebesar 0,261 yang positif (+), dapat diinterpretasikan bahwa jika nilai variabel X1 meningkat sebesar 1 persen, maka nilai variabel Y juga akan meningkat sebesar 261 juta rupiah, dan sebaliknya.
  3. Dengan koefisien regresi variabel PAD (X2) sebesar 0,280 yang positif (+), dapat disimpulkan bahwa jika variabel X2 meningkat sebesar 1 miliar rupiah, maka variabel Y juga akan meningkat sebesar 280 juta rupiah, dan sebaliknya.
  4. Dengan koefisien regresi variabel SiLPA (X3) sebesar 0,081 yang positif (+), dapat disimpulkan bahwa jika variabel X3 meningkat sebesar 1 miliar rupiah, maka variabel Y juga akan meningkat sebesar 81 juta rupiah, dan sebaliknya.

Uji Hipotesis

1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,947a ,896 ,868 57,91570
Table 7. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur sejauh mana kemampuan model dalam menerapkan variasi pada variabel dependen. Berdasarkan tabel hasil uji koefisien determinasi dapat dilihat bahwa nilai Adjusted R Square sebesar 0,868 yang memiliki arti bahwa, variabel dependen dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen sebesar 86,8%, sedangkan sisanya sebesar 13,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

2. Uji Parsial (Uji t)

Variabel t-hitung Sig.
Ketergantungan Fiskal 3,349 ,006
PAD 5,419 <,001
SiLPA ,572 ,579
Table 8.Hasil Uji Parsial (Uji t)

Uji t digunakan untuk mengetahui hubungan secara parsial antara variabel independen terhadap variabel dependen. Suatu model regresi dinyatakan cocok apabila t hitung > t tabel atau nilai signifikan < probabilitas (Sig < 0,05). Dengan n-k-1 = 11 dan α = 0,05 , maka diperoleh t tabel sebesar 2,201. Pada tabel hasil uji t diketahui X1 memiliki nilai t hitung > t tabel yaitu 3,349 > 2,201 dan Sig < 0,05 yaitu 0,006 < 0,05 yang memiliki arti bahwa Ketergantungan Fiskal (X1) memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Belanja Modal (Y) di Kabupaten Gresik. Sementara itu, X2 juga memiliki nilai t hitung > t tabel yaitu 3,349 > 2,201 dan Sig < 0,05 yaitu 0,001 > 0,05 di mana memiliki arti bahwa variabel PAD (X2) berpengaruh positif signifikan terhadap Belanja Modal (Y) di Kabupaten Gresik. Di sisi lain, X3 memiliki nilai t hitung < t tabel yaitu 0,572 < 2,201 dan Sig > 0,05 yaitu 0,579 > 0,05 yang memiliki arti bahwa variabel SiLPA (X3) tidak memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Belanja Modal (Y) di Kabupaten Gresik.

3. UJi Simultan (Uji F)

Keterangan F Sig.
Regresi 31,727 <,001b
Table 9.Hasil Uji Simultan (Uji F)

Uji F bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama – sama (simultan) mempengaruhi variabel dependen. Suatu model regresi dinyatakan cocok apabila F hitung > F tabel atau nilai signifikan < probabilitas (Sig < 0,05). Dengan n-k = 11 dan k-1 = 3 , maka diperoleh F tabel sebesar 3,587. Pada tabel hasil uji F diketahui nilai F hitung > F tabel yaitu 31,727 > 3,587 dan Sig < 0,05 yaitu 0,001 < 0,05. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa H0 ditolak atau Ha diterima yang berarti bahwa Ketergantungan Fiskal (X1), PAD (X2), dan SiLPA (X3) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal (Y) di Kabupaten Gresik.

PEMBAHASAN

A. Pengaruh Ketergantungan Fiskal terhadap Belanja Modal

Hasil uji t menunjukkan bahwa ketergantungan fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten Gresik dengan nilai t-hitung > t-tabel (3,349 > 2,201) dan signifikansi (0,006 < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan proporsi dana transfer dari pemerintah pusat di Kabupaten Gresik justru diikuti oleh peningkatan belanja modal. Misalnya, selama tahun 2019-2023 ketergantungan fiskal berada pada kisaran 63-66% dan alokasi belanja modal justru mengalami peningkatan pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini menunjukkan bahwa dana transfer dari pusat dimanfaatkan secara produktif oleh pemerintah daerah, terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan aset tetap.

Temuan ini berkaitan dengan Teori Keagenan (AgencyTheory), yang menggambarkan hubungan antara pemerintah pusat (principal) dan pemerintah daerah (agent) . Menurut teori ini, adanya ketergantungan fiskal tinggi bisa menciptakan konflik kepentingan atau asimetri informasi karena daerah tidak sepenuhnya bebas menentukan arah kebijakannya. Namun, dalam konteks Kabupaten Gresik, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah daerah berhasil menjalankan perannya secara efektif sebagai agent, di mana dana transfer tidak hanya digunakan untuk belanja rutin tetapi juga diarahkan untuk belanja modal yang bersifat produktif. Dengan demikian, meskipun secara teori ketergantungan fiskal dapat menjadi hambatan, pada praktiknya di Gresik justru memperkuat kapasitas fiskal daerah.

Mengingat ketergantungan fiskal yang masih tinggi namun menunjukkan korelasi positif dengan belanja modal, Pemerintah Kabupaten Gresik harus memastikan bahwa dana transfer dari pusat digunakan semaksimal mungkin untuk belanja produktif, bukan hanya untuk belanja rutin atau operasional. Pemerintah juga perlu menyusun rencana pembangunan yang selaras dengan skema pendanaan dari pusat, serta meningkatkan efektivitas serapan anggaran melalui sistem pengendalian internal yang ketat. Selain itu, mekanisme monitoring dan evaluasi program berbasis output harus diperkuat agar penggunaan dana transfer benar-benar mendukung capaian pembangunan jangka panjang.

Sementara itu, perlu diwaspadai juga bahwa hubungan positif antara ketergantungan fiskal dan belanja modal bisa dipengaruhi oleh faktor politik atau birokrasi. Misalnya kebijakan belanja modal yang tinggi bisa muncul karena insentif politik dari pemimpin daerah yang ingin menunjukkan kinerja pembangunan, bukan karena efisiensi fiskal yang sesungguhnya. Selain itu, birokrasi yang kurang responsif atau tumpang tindih antar lembaga bisa menyebabkan ketidakefektifan dalam pelaksanaan proyek, meski pendanaan dari pusat mencukupi. Dengan demikian, ketergantungan fiskal yang tinggi bukanlah penghalang mutlak bagi belanja modal, selama tata kelola anggaran difokuskan pada efisiensi dan hasil pembangunan yang berkelanjutan.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Anthony dan Rohman yang menunjukkan bahwa semakin besar transfer dana dari pusat, semakin tinggi pula belanja modal daerah . Hal yang sama disampaikan Wilujeng yang menemukan korelasi positif antara ketergantungan fiskal dan belanja modal . Namun, hasil ini bertentangan dengan Marlianita & Suji yang menemukan tidak ada pengaruh signifikan antara rasio ketergantungan fiskal dan belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat, menandakan bahwa dampak ketergantungan fiskal bisa bersifat kontekstual .

B. Pengaruh PAD terhadap Belanja Modal

Hasil uji t menunjukkan bahwa PAD memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal, dengan t-hitung > t-tabel (5,419 > 2,201) dan signifikansi (0,001 < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar PAD yang diperoleh, semakin besar pula alokasi yang diberikan untuk belanja modal. Hal ini dapat dilihat dari tren PAD Kabupaten Gresik yang meningkat dari Rp 924,66 miliar (2020) menjadi Rp 1.191,80 miliar (2022), dan belanja modal pun ikut naik dari Rp 281,70 miliar menjadi Rp 310,16 miliar pada periode yang sama. Ini menandakan bahwa daerah dengan kemampuan mengumpulkan PAD yang baik memiliki kontrol fiskal yang lebih kuat dan fleksibel dalam membiayai pembangunan infrastruktur.

Hasil ini sejalan dengan Teori Stewardship, yang menekankan bahwa pemerintah daerah bertindak sebagai pengelola (steward) atas mandat dan kepercayaan masyarakat untuk mengelola sumber daya lokal . Dalam kerangka ini, PAD adalah wujud dari kemandirian fiskal daerah. Ketika pemerintah daerah berhasil meningkatkan PAD dan mengalokasikannya ke belanja modal, ini menunjukkan bahwa pemerintah tersebut mengelola anggaran untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan jangka panjang. Hal ini juga mengonfirmasi prinsip dalam Teori Desentralisasi Fiskal, bahwa pemberdayaan fiskal daerah melalui PAD akan memperkuat kapasitas daerah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sesuai prioritas lokal.

Implikasi praktis dari hasil penelitian ini adalah bahwa Pemerintah Kabupaten Gresik perlu terus menggali potensi PAD melalui reformasi pajak daerah, optimalisasi retribusi, serta pengembangan aset daerah sebagai sumber pendapatan alternatif. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan PAD sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan publik dan partisipasi masyarakat. Dengan memperkuat basis pendapatan lokal, pemerintah daerah akan memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menyusun dan mengeksekusi program belanja modal tanpa bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.

Meskipun demikian, peningkatan PAD tidak selalu menjamin alokasi yang optimal untuk belanja modal. Perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya trade-offantara peningkatan PAD dan daya saing investasi. Peningkatan tarif pajak dan retribusi yang terlalu agresif dapat mengurangi daya tarik investasi di daerah. Selain itu, faktor politik lokal seperti resistensi masyarakat atau kelompok kepentingan tertentu dapat mempengaruhi implementasi kebijakan peningkatan PAD. PAD terbukti menjadi penggerak utama belanja modal di Kabupaten Gresik, sehingga strategi peningkatan pendapatan lokal harus menjadi prioritas dengan tetap memperhatikan keseimbangan daya saing daerah.

Temuan penelitian ini sejalan dengan Hidayat yang menyimpulkan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat . Arthadela & Titik juga menemukan hubungan serupa di Jawa Timur, di mana PAD menjadi instrumen utama pembiayaan pembangunan . Salsabila pun menegaskan bahwa PAD memperkuat kinerja keuangan pemerintah daerah, salah satunya melalui penguatan belanja modal . Dengan demikian, hasil ini menunjukkan konsistensi dengan literatur dan memperkuat posisi PAD sebagai indikator utama kemandirian dan pembangunan daerah.

C. Pengaruh SiLPA terhadap Belanja Modal

Berbeda dari dua variabel lainnya, SiLPA tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap belanja modal, dengan t-hitung < t-tabel (0,572 < 2,201) dan signifikansi (0,579 > 0,05). Artinya, meskipun SiLPA Kabupaten Gresik relatif besar (misalnya Rp 461,98 miliar pada tahun 2020), dana ini tidak serta merta meningkatkan belanja modal. Sebaliknya, realisasi belanja modal justru rendah pada tahun tersebut (Rp 281,70 miliar atau hanya 41,43% dari pagu anggaran). Hal ini menandakan bahwa tingginya SiLPA lebih mencerminkan rendahnya serapan anggaran atau lemahnya perencanaan, bukan sebagai sumber daya tambahan untuk belanja produktif.

Secara teori, FiscalFederalism menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki keunggulan dalam memahami kebutuhan masyarakat lokal dan mengelola sumber daya fiskal yang tersedia, termasuk SiLPA . Dalam pandangan ini, SiLPA seharusnya menjadi cadangan fiskal yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di masa depan. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa potensi tersebut belum terwujud secara optimal di Kabupaten Gresik. Kelebihan dana dari tahun sebelumnya (SiLPA) tampaknya lebih banyak disebabkan oleh inefisiensi pelaksanaan anggaran, proyek tertunda, atau belanja yang tidak terealisasi, bukan sebagai bagian dari strategi fiskal.

Implikasi praktis yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik untuk mengoptimalkan pemanfaatan SiLPA adalah dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan anggaran. SiLPA yang tidak produktif dapat diantisipasi dengan mengadopsi pendekatan penganggaran yang berbasis kinerja dan mempercepat proses lelang proyek sejak awal tahun anggaran. Selain itu, penguatan fungsi pengawasan internal akan membantu memastikan bahwa anggaran terserap sesuai target dan jadwal.

Namun, perlu diingat bahwa tingginya SiLPA tidak selalu menunjukkan inefisiensi. Dalam beberapa kasus, SiLPA dapat terjadi karena kehati-hatian fiskal atau penundaan proyek karena faktor eksternal seperti pandemi, perubahan regulasi, atau kondisi pasar. Selain itu, faktor birokrasi seperti kompleksitas prosedur pengadaan dan koordinasi antar-SKPD dapat menjadi hambatan struktural dalam penyerapan anggaran. SiLPA yang tinggi di Kabupaten Gresik mengindikasikan masalah perencanaan dan penyerapan anggaran yang perlu diperbaiki secara sistematik, bukan hanya sekedar ketersediaan dana untuk belanja modal

Temuan penelitian ini sejalan dengan Arthadela dan Titik serta Putri dan Dyah yang menyatakan bahwa SiLPA tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal maupun kinerja keuangan daerah . Namun bertolak belakang dengan Sanjaya & Herlina yang menemukan bahwa SiLPA memiliki pengaruh positif terhadap belanja modal di tingkat pemerintah provinsi . Perbedaan hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh SiLPA sangat bergantung pada konteks dan efektivitas perencanaan anggaran di masing-masing daerah.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh simpulan bahwa dua dari tiga variabel fiskal tersebut terbukti berpengaruh signifikan. Ketergantungan fiskal menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten Gresik (t-hitung 3,349 > t-tabel 2,201; sig. 0,006 < 0,05), yang mengindikasikan bahwa dana transfer dari pemerintah pusat berhasil dimanfaatkan secara produktif untuk pembangunan infrastruktur. PAD juga menunjukkan pengaruh positif dan signifikan yang lebih kuat (t-hitung 5,419 > t-tabel 2,201; sig. 0,001 < 0,05), di mana menegaskan peran kemandirian fiskal dalam memperkuat kapasitas belanja modal daerah. Sebaliknya, SiLPA tidak menunjukkan pengaruh signifikan (t-hitung 0,572 < t-tabel 2,201; sig. 0,579 > 0,05), hal ini mengindikasikan bahwa kelebihan anggaran tahun sebelumnya lebih mencerminkan inefisiensi penyerapan anggaran daripada sumber pembiayaan produktif. Dengan kata lain, efektivitas perencanaan dan penyerapan anggaran masih menjadi isu penting dalam pengelolaan fiskal daerah.

Temuan penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan praktis yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik maupun daerah dengan karakteristik serupa. Pertama, dalam konteks optimalisasi dana transfer, pemerintah daerah perlu memperkuat perencanaan anggaran dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk belanja modal yang berdampak langsung pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik. Kedua, strategi peningkatan PAD harus menjadi prioritas melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah, seperti optimalisasi pajak dan retribusi daerah, pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta peningkatan investasi daerah di sektor-sektor potensial mengingat Gresik memiliki basis industri yang kuat. Ketiga, untuk mengatasi permasalahan SiLPA yang tinggi diperlukan perbaikan sistem perencanaan dan penganggaran melalui penguatan kapasitas sumber daya manusia dalam penyusunan dokumen perencanaan, implementasi sistem monitoringdan evaluasi yang lebih ketat, serta penyederhanaan prosedur pengadaan barang dan jasa untuk mempercepat penyerapan anggaran. Keempat, perlu dikembangkan mekanisme relokasi anggaran yang lebih responsif untuk mengoptimalkan pemanfaatan SiLPA sebagai sumber pembiayaan belanja modal di tahun berikutnya.

Penelitian ini memiliki keterbatasan pada cakupan yang hanya fokus pada satu kabupaten sehingga generalisasi temuan perlu dilakukan dengan hati-hati, periode penelitian yang terbatas pada 2009-2023, serta penggunaan variabel kuantitatif keuangan tanpa memasukkan faktor-faktor kualitatif kelembagaan. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan melakukan studi komparatif antar daerah dengan karakteristik berbeda, memasukkan variabel kelembagaan seperti kualitas tata kelola pemerintahan dan kapasitas SDM aparatur, mengintegrasikan pendekatan kualitatif untuk memahami proses pengambilan keputusan alokasi anggaran, serta mengembangkan model prediktif yang dapat membantu pemerintah daerah dalam perencanaan belanja modal yang optimal berdasarkan proyeksi kemampuan fiskal daerah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan inspirasi dalam penyusunan artikel ini, khususnya kepada dosen pembimbing dan institusi akademik yang telah memberikan arahan selama proses penelitian.

References

  1. M. N. Arthadela and M. Titik, “PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN TERHADAP BELANJA MODAL PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR,” Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, vol. 12, no. 1, pp. 1–19, 2023.
  2. D. Puspita et al., Dua Dekade Implementasi Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Kebijakan Fiskal, 2022.
  3. T. Hidayat, D. P. Maulina, and A. Puspita, “PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN KINERJA KEUANGAN TERHADAP BELANJA MODAL JAWA BARAT,” AKUBIS: Jurnal Akuntansi Bisnis Pelita Bangsa, vol. 9, no. 1, pp. 105–115, 2024, doi: 10.37366/akubis.v9i01.1818.
  4. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2023 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. 2023.
  5. R. Saragih and Nurlinda, “Analisis Kemandirian Keuangan Daerah, Ketergantungan Fiskal dan Efektivitas Fiskal pada Kabupaten Tapanuli Utara dan Daerah Otonomi Barunya Periode Tahun 2018-2022,” Liabilities Jurnal Pendidikan Akuntansi , vol. 6, no. 2, pp. 1–11, Aug. 2023, doi: https://doi.org/10.30596/liabilities.v6i2.14810.
  6. I. P. A. Sudarmana and M. S. Gede, “PENGARUH RETRIBUSI DAERAH DAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENDAPATAN DAERAH,” E-Jurnal Manajemen Universitas Udayana, vol. 9, no. 4, p. 1338, Apr. 2020, doi: 10.24843/ejmunud.2020.v09.i04.p06.
  7. S. Wulandari and E. Fauzihardani, “Pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, Fiscal Stress dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Penyerapan Anggaran dengan Rebudgeting sebagai Variabel Moderasi,” Jurnal Eksplorasi Akuntansi (JEA), vol. 4, no. 1, pp. 93–110, 2022, doi: https://doi.org/10.24036/jea.v4i1.467.
  8. S. Yuliantoni and I. A. Fefri, “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Bagi Hasil (DBH) Terhadap Belanja Modal dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebagai Variabel Pemoderasi pada Pemerintah Provinsi se-Indonesia Periode 2015-2019,” JEA (Jurnal Eksplorasi Akuntansi), vol. 3, no. 1, pp. 170–187, 2021, doi: https://doi.org/10.24036/jea.v3i1.338.
  9. D. Sanjaya and H. Herlina, “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Kekayaan Daerah dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Variabel Moderasi pada Pemerintah Provinsi se-Indonesia Periode 2015-2019,” Jurnal Eksplorasi Akuntansi, vol. 3, no. 2, pp. 450–469, 2021, doi: https://doi.org/10.24036/jea.v3i2.369.
  10. V. W. Sujarweni, METODOLOGI PENELITIAN BISNIS & EKONOMI. Bantul: PUSTAKABARUPRESS, 2021.
  11. M. C. Jensen and W. H. Meckling, “Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure,” J financ econ, vol. 3, no. 4, pp. 305–360, Oct. 1976, doi: 10.1016/0304-405X(76)90026-X.
  12. A. R. Anthony and A. Rohman, “PENGARUH PENINGKATAN PAD DAN DANA TRANSFER TERHADAP BELANJA MODAL DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI VARIABEL MODERASI (Studi Empiris Pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2016-2021),” DIPONEGORO JOURNAL OF ACCOUNTING, vol. 13, no. 2, pp. 1–12, 2024, [Online]. Available: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/accounting
  13. I. W. Wilujeng, “PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE 2019-2021 ,” SKRIPSI, Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan , Pekalongan, 2023.
  14. Y. Marlianita and A. Suji, “Pengaruh Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah, Dan Rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA Terhadap Alokasi Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat,” Indonesian Accounting Research Journal, vol. 1, no. 1, pp. 25–35, 2020, doi: https://doi.org/10.35313/iarj.v1i1.2357.
  15. L. Donaldson and J. H. Davis, “Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns,” Australian Journal of Management, vol. 16, no. 1, pp. 49–64, Jun. 1991, doi: 10.1177/031289629101600103.
  16. A. S. Salsabila, “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal dan Sistem Pengendalian Internal terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dengan Dana Perimbangan dan Belanja Rutin sebagai Variabel Kontrol,” SKRIPSI, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 2023.
  17. W. E. Oates, Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972.
  18. S. P. Putri and R. Dyah, “Pengaruh PAD, Dana Perimbangan, dan SILPA terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah,” JESYA : Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah, vol. 6, no. 2, pp. 2068–2082, Jun. 2023, doi: 10.36778/jesya.v6i2.1230.