Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Agriculture
DOI: 10.21070/acopen.10.2025.10888

Economic Transformation through Agricultural Diversification to Improve Farmers' Welfare


Transformasi Ekonomi Melalui Diversifikasi Pertanian Guna Peningkatan Kesejahteraan Petani

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Badan Pusat Statistik
Indonesia

(*) Corresponding Author

Agricultural Diversification Rural Development Farmer Welfare Economic Transformation Indonesia

Abstract

General Background: Agricultural transformation plays a critical role in driving economic development, particularly in rural areas. Specific Background: In Indonesia, the agricultural sector remains dominated by monoculture practices, limiting income diversification and resilience among farmers. Knowledge Gap: However, limited studies have examined how agricultural diversification specifically contributes to farmers’ welfare within regional economic development frameworks. Aims: This study aims to analyze the role of agricultural diversification in transforming local economies and improving the welfare of farmers. Results: The findings show that diversification increases productivity, enhances household income stability, and fosters resilience against price and climate shocks. It also supports the growth of rural agro-industries and market accessibility. Novelty: This study uniquely integrates socio-economic indicators with regional development models to demonstrate how diversification directly contributes to sustainable livelihood strategies. Implications: The research implies that policy frameworks should prioritize diversification strategies to achieve inclusive rural development and long-term welfare improvements for agricultural communities.

Highlights :

  • Diversification boosts income stability and resilience.

  • It links agriculture with rural industrial growth.

  • Policy support is crucial for sustainable impact.

Keywords: Agricultural Diversification, Rural Development, Farmer Welfare, Economic Transformation, Indonesia 

Pendahuluan

Pengembangan produk pangan lokal menjadi perhatian khusus di Indonesia. Saat ini, isu kenaikan harga bahan pokok pangan termasuk dalam skala prioritas nasional karena berimbas pada ketahanan pangan secara nasional. Ketahanan pangan sendiri diatur melalui Undang-Undang No 18 tahun 2012 yang didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.

Figure 1.Inflasi Indonesia pada Sub Kelompok Makanan, 2022

Kenaikan harga bahan makanan pokok akan menjadi fase akhir imbas gagalnya ketahanan pangan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 sub kelompok makanan selalu mengalami inflasi. Puncak inflasi makanan pada periode tersebut terjadi di bulan Juli 2022 dengan nilai mencapai 8,39 persen dan pada penghujung tahun juga masih mengalami inflasi sebesar 5,67 persen. Terus terjadinya inflasi seperti yang tergambar dalam Gambar 1 ini dapat dijadikan sebagai tanda bahaya akan ketahanan pangan nasional. Walaupun Ningsih, D., & Andiny, P. (2018) menyatakan bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia namun secara tidak langsung kedua indikator ini menjadi indicator makro yang dipegang pemerintah dalam melihat tingkat kesejahteraan [1].

Kebutuhan pangan di Indonesia untuk saat ini masih dalam kondisi yang cukup aman. Namun lambat laun, pangan akan menjadi masalah yang besar akibat penurunan produksi pertanian, pertumbuhan penduduk, dan kurangnya lahan pertanian yang produktif. Hal ini dikarenakan konversi lahan tanam menjadi perluasan lahan pemukiman penduduk serta lahan industri. Oleh karena itu perlu ada langkah kongkrit dalam mitigasi risiko ambruknya ketahanan pangan nasional, salah satunya melalui diversifikasi pertanian.

Menurut Kasryno et al. (2004), diversifikasi diartikan sebagai alih sumber daya dari satu jenis tanaman menuju perpaduan antara tanaman dan ternak, dengan tujuan meminimalkan risiko kegagalan akibat faktor alam serta memperbesar hasil dari setiap komoditas. Pada akhirnya, upaya ini bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan dan pendapatan petani.Diversifikasi pertanian bertujuan menghindari ketergantungan pada salah satu sektor pertanian. Terbatasnya pemanfaatan lahan produktif untuk pertanian merupakan salah satu penyebab diberlakukannya diversifikasi pertanian [2].

Diversifikasi tanaman dilakukan agar pertanian tidak hanya menghasilkan satu jenis tanaman. Sebagai contoh bentuk diversifikasi ini adalah sistem tanam tumpang sari yaitu menanam beberapa jenis tanaman secara bersamaan pada lahan yang sama. Misalnya, menanam secara bersama-sama ubi kayu, kedelai, dan jagung.

Diversikasi pertanian membutuhkan pertimbangan yang matang. Banyak aspek yang harus diperhatikan diantaranya faktor geografis atau wilayah hingga nilai tukar subsektor pertanian yang akan dijadikan peralihan dari subsektor semula.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan, perlu didukung dengan program diversifikasi pertanian. Diversifikasi bukan hanya berkutat tentang produksi beras, tapi juga perikanan dan peternakan yang dikonversikan dalam satuan kalori. Subtitusi ini yang nantinya akan mendukung cita-cita ketahanan pangan nasional [3].

Kesejahteraan petani menjadi salah satu hal yang ingin diwujudkan Indonesia dan para pendiri bangsa. Hal ini sejalan dengan hakikat sosial dari pembangunan itu sendiri adalah upaya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh penduduk bukan hanya yang di kota melainkan juga di pedesaan. Sebagian penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan mengandalkan sektor pertanian untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan. Burhan, A. B. (2018) menyatakan bahwa faktor penggunaan teknologi informasi mampu memberdayakan petani dengan aset produktif dan pemasaran, meningkatkan kapasitas produktif mereka sehingga mengurangi status kemiskinan mereka [4].

Salah satu indikator makro yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja pembangunan adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Menurut Badan Pusat Statistik (2023), NTP merupakan rasio indeks harga yang diterima oleh petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib). Angka statistik ini memiliki satuan berupa persentase. It menggambarkan tingkat pendapatan produsen petani, sedangkan Ib dari sisi kebutuhan petani baik untuk produksi maupun konsumsi [5].

Jika harga produk pertanian yang dihasilkan petani meningkat dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga barang dan jasa yang harus dibeli petani, dengan asumsi volume produksi tetap, maka Nilai Tukar Petani (NTP) akan naik. Hal ini berarti pendapatan petani bertambah lebih besar dibandingkan peningkatan biaya yang dikeluarkan, sehingga terjadi surplus. Secara umum, ada beberapa indikator yang perlu dipahami untuk memahami makna NTP. Ketika NTP lebih dari 100, ini menunjukkan bahwa posisi perdagangan petani membaik, yaitu rata-rata harga yang diterima petani naik lebih cepat dibandingkan rata-rata harga yang dibayarkan, atau rata-rata harga yang diterima turun lebih lambat dibandingkan penurunan harga yang dibayarkan dibandingkan tahun dasar. Sebaliknya, jika NTP sama dengan 100, artinya tidak ada perubahan dalam posisi perdagangan petani karena rata-rata perubahan harga yang diterima sebanding dengan rata-rata perubahan harga yang dibayarkan dibandingkan tahun dasar.Yang perlu mendapat perhatian khusus apabila NTP kurang dari 100. Dalam kondisi seperti ini menandakan petani mengalami penurunan dalam hal jual beli. Ini terjadi karena harga yang dibayar petani naik lebih besar atau turun lebih lambat dibandingkan harga yang mereka terima dibandingkan tahun dasar [6].

Sektor pertanian yang dicakup dalam pengolahan NTP meliputi 5 (lima) subsektor yaitu subsektor Tanaman Pangan, Tanaman Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan dan Perikanan. Dalam memberikan gambaran yang lebih akurat perihal keunggulan relatif dari setiap subsektor maka disajikan tabel nilai maksimum dan minimum NTP pada tabel 1. Pada tabel tersebut dapat terlihat potensi masing-masing subsektor pertanian berdasarkan wilayah mulai dari yang paling terapresiasi nilai tukarnya hingga yang paling rendah. Secara keseluruhan NTP para petani di Riau menjadi yang paling tinggi dengan nilai mencapai 144,19. Ini artinya secara keseluruhan jenis subsektor, Riau menjadi daerah dengan nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksinya. Nilai ini mengindikasikan kesejahteraan yang lebih baik bagi para petani di Riau dibandingkan dengan daerah lainnya. Di lain sisi, potensi pertanian yang ada di NTT masih belum dikelola secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan pertanian. Hal ini terlihat dari nilai NTP pertanian yang jatuh di bawah angka 100. Ketidaksinkronan antara kebijakan dan kesejahteraan ini, membuat gap NTP antar petani Indonesia cukup lebar mencapai 48,78 persen.

Setiawan et al. (2019) mengungkapkan bahwa kualitas sumber daya petani di Indonesia masih tergolong rendah, terlebih karena sebagian besar petani sudah berusia lanjut, yang berdampak pada menurunnya kemampuan mereka dalam bekerja. Rendahnya kualitas petani ini menyebabkan pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian juga terbatas, yang akhirnya membuat kesejahteraan petani rendah. Parmadi, P., et al. (2018) menambahkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan berbagai indikator kinerja ekonomi di subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan [7]. Hubungan sebab akibat ini berkaitan erat dengan kualitas dan kesejahteraan petani. Ketika kesejahteraan petani rendah, mereka cenderung masuk dalam kelompok masyarakat miskin. Tidak mengherankan jika sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia berasal dari kalangan petani di wilayah pedesaan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah meluncurkan berbagai program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia.

Pengentasan kemiskinan jangka panjang di pedesaan membutuhkan roadmap yang jelas dengan tenggat waktu yang terperinci. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya banyak sekali faktor makro yang tanpa disadari berpengaruh besar terhadap pengentasan kemiskinan. Pynanjung et al., (2021) menyatakan bahwa kepadatan penduduk ternyata signifikan memengaruhi kemiskinan. Semakin naik tingkat kepadatan naik 1 orang/km2 di satu wilayah, turun persentase orang kemiskinan sebesar 0,149 persen di wilayah tersebut[8].

Indikator NTP Maksimum Minimum Rentang
Provinsi Nilai Provinsi Nilai
Petani Riau 144,19 Nusa Tenggara Timur 95,41 48,78
Tanaman Pangan Papua Barat 104,44 Sumatera Selatan 87,47 16,97
Hortikultura DI Yogyakarta 123,13 Sumatera Utara 93,16 29,97
Perkebunan Kalimantan Barat 167,77 Nusa Tenggara Timur 92,09 75,68
Peternakan Kep. Babel 110,71 Aceh 95,33 15,38
Nelayan dan Pembudidayaan ikan Maluku 114,62 DI Yogyakarta 92,81 21,81
Table 1.Nilai Maksimum dan Minimum NTP Berdasarkan Subsektor, 2022

A. Setiawan (2019) juga mengungkapkan bahwa meskipun ada kontraksi kesenjangan di pedesaan, tingkat kemiskinan tidak mengalami kontraksi yang signifikan. Terdapat hubungan positif yang kuat dan linier antara tingkat kemiskinan dan kesenjangan setelah adanya dana desa. Sebelum dana desa digelontorkan, tidak terlihat hubungan linier yang jelas antara tingkat kemiskinan dan kesenjangan [9].

BPS mengukur kemiskinan memakai standar dan konsep yang berlaku di banyak negara, yakni pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam pendekatan ini, kebutuhan makanan minimum rumah tangga adalah 2.100 kilokalori per orang, ditambah kebutuhan dasar kelompok bukan makanan. Pendekatan moneter (monetary approach) mengukur ketidakmampuan dari sisi pendapatan atau pengeluaran untuk hidup layak minimum dalam bentuk rupiah. Dengan demikian, penduduk miskin adalah mereka yang pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan (GK). Murdiyana dan Mulyana (2017) menyimpulkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia sudah berjalan cukup baik, terbukti dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan program-program pengentasan kemiskinan [10]. Namun, garis kemiskinan, baik di perkotaan maupun pedesaan, terus meningkat setiap tahunnya, seperti yang terlihat pada gambar 2.

Figure 2.Perbandingan Garis Kemiskinan Perkotaan dan Pedesaan, 2013-2022

Garis kemiskinan pada grafik di pada gambar 2 menunjukkan bahwa garis kemiskinan perkotaan lebih tinggi daripada garis kemiskinan pedesaan. Semenjak tahun 2013, garis kemiskinan perkotaan selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan pedesaan [11]. Ada gejolak kenaikan garis kemiskinan yang cukup tinggi di garis kemiskinan perkotaan pada semester II 2016. Anomali ini terus meningkat dengan gap yang cukup jauh dibandingkan semester II 2018. Tren kembali normal pada Semester II 2019 dengan gap yang konstan hingga penghitungan terakhir yakni Semester II 2022.

Gap antara perkotaan dan pedesaan ini juga terjadi sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang tidak tepat dan tidak berkelanjutan. Dalam dunia ekonomi ini sering disebut sebagai buble economic. Mengurangi ketimpangan pendapatan antara perkotaan dan pedesaan bukanlah tugas yang mudah karena sangat memakan waktu, mahal, dan kontradiktif. Pemerintah selalu ingin mengalami pertumbuhan yang tinggi tetapi justru akan menyebabkan inflasi. Untuk mengurangi inflasi, kebijakan konkret / moneter digunakan.

Dalam cakupan yang kecil, ekonomi dari sektor pertanian sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Tumewu et al., (2022) menemukan bahwa secara parsial pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berpengaruh signifikan terhadap jumlah kemiskinan di Kabupaten Minahasa. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi nasional terutama sebagai penyedia pangan rakyat [12].

Chancel et al., (2022) dalam World Inequality Report, menemukan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia semakin melebar, terlebih jika dikelompokkan berdasarkan perkotaan dan pedesaan. Dari data tersebut, sepanjang 2021, terdapat 10 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi teratas yang memiliki kontribusi terhadap kue ekonomi yakni 46,86 persen. Sementara di lain sisi, terdapat 50 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi terbawah memberikan kontribusi terhadap PDB hanya sebesar 12,45 persen sejak 2018-2021 [13]. Pendapatan kelompok 50 persen terbawah hanya Rp 22,6 juta per tahun. Nilai yang telah disampaikan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok 10 persen teratas yang memiliki pendapatan mencapai Rp 285,07 juta per tahun. Maka, apabila dicermati ketimpangan pendapatan ini masih cukup kuat bertahan di Indonesia.

Ketimpangan semacam ini yang akan mengkhawatirkan kondisi ketahanan pangan nasional. Ketika kondisi ekonomi para petani terlantar, maka semangat bekerja mereka untuk memberikan nilai tambah akan berkurang. Oleh karena itu, diversifikasi bisa jadi solusi bagi para petani untuk memanfaatkan setiap waktu masa panen hingga di sela-sela perubahan iklim.

Belum ada penelitian atau tulisan dengan cakupan Indonesia yang mempertimbangkan nilai tukar petani sebagai mitigasi layak atau tidaknya diversifikasi pertanian harus dilakukan di wilayah tersebut. Oleh karena itu penelitian ini akan menitik beratkan bagaimana nilai tukar petani dapat dijadikan indikator mitigasi dalam diversifikasi pertanian di Indonesia. Pembahasan mengenai keadaan sosial dan ekonomi juga dibahas dalam penelitian ini guna menambah pertimbangan dalam melihat peran diversifikasi pertanian di dalamnya. Akhirnya, penelitian ini akan melihat bagaimana diversifikasi pertanian akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi petani di regional masing-masing.

Metode

Dalam memberikan rekomendasi yang lebih efektif, penelitian ini melakukan pengelompokan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan karakteristik NTP setiap subsektornya. Proses pengelompokan ini menggunakan metode Hierarcical Analysis Cluster. Analisis cluster merupakan teknik multivariat yang bertujuan utama untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Teknik ini mengklasifikasikan objek sehingga objek-objek dengan sifat yang serupa (yang paling dekat kesamaannya) akan dikelompokkan dalam satu cluster yang sama. Wicaksana et al. (2018) menyatakan bahwa cluster yang terbentuk memiliki tingkat homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Secara umum, metode clustering dibagi menjadi dua jenis, yaitu: metode clustering hirarki dan metode clustering non-hirarki [14]. Berdasarkan referensi yang sama, pembahasan ini menggunakan metode hirarki karena jumlah kelompok yang diinginkan tidak diketahui, dan metode ini biasanya digunakan dalam objek dengan pengamatan yang tidak besar. Hal ini sesuai dengan objek dalam penelitian ini yakni 33 provinsi saja.

Komponen kunci dari analisis ini adalah penghitungan berulang ukuran jarak antar objek, dan antar cluster setelah objek mulai dikelompokkan ke dalam cluster, yang hasilnya digambarkan secara grafis sebagai dendrogram. Dua kategori utama metode untuk analisis cluster hirarki adalah metode divisif dan metode aglomerasi. Dalam praktiknya, metode aglomerasi lebih banyak digunakan. Pada setiap langkah, pasangan cluster dengan jarak cluster-to-cluster terkecil digabungkan menjadi satu cluster. Algoritma yang digunakan untuk pengelompokan ini adalah metode Single linkage karena merupakan algoritma yang paling umum digunakan. Single linkage, cluster dibentuk dari individu objek dengan jelas menggabungkan jarak terdekat. Pada setiap tahap, setelah terbentuk cluster baru (UV), maka jarak antara dan (UV) dan cluster lainnya yang persamaannya tergambar dalam formulasi berikut.

d_(uv)w=min⁡{d_uw,d_vw }

dimana

d_uw = jarak antara cluster U dan W

d_vw = jarak antara cluster V dan W

d_(uv)w = jarak antara cluster (UV) dan W

Melihat perbedaan ini maka dibutuhkan analisis inferensia lebih mendalam dalam melihat peran wilayah terhadap garis kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan. Ghozali (2009) menyatakan untuk kasus dengan variabel tak bebas (Y) lebih dari satu sementara variabel bebas dalam bentuk kategorik (wilayah) maka uji yang tepat adalah dengan menggunakan uji Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) [15]. Manova merupakan perluasan dari Analysis of Variance (ANOVA). Dalam ANOVA hanya terbatas pada penggunaan satu variabel tak bebas yang bersifat metrik (interval atau rasio), sedangkan pada MANOVA dapat melibatkan dua atau lebih variabel tak bebas yang bersifat metrik. Adapun langkah-langkah sebelum menjalankan operasi MANOVA dibutuhkan beberapa uji pendahuluan diantaranya Uji Signifikansi Multivariat, Uji Between-Subjects Effects, dan Uji Post Hoc.

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
Intercept Pillai's Trace .979 448.916b 3.000 29.000 .000
Wilks' Lambda .021 448.916b 3.000 29.000 .000
Hotelling's Trace 46.440 448.916b 3.000 29.000 .000
Roy's Largest Root 46.440 448.916b 3.000 29.000 .000
CLU2_1 Pillai's Trace .211 2.577b 3.000 29.000 .073
Wilks' Lambda .789 2.577b 3.000 29.000 .073
Hotelling's Trace .267 2.577b 3.000 29.000 .073
Roy's Largest Root .267 2.577b 3.000 29.000 .073
Table 2.Output SPPS26 dalam Multivariate Test

1. Uji Signifikansi Multivariat

Penelitian ini menggunakan uji MANOVA Wilk’s Lambda, untuk mengambil keputusan dalam melihat perbedaan antar kelompok. Levene’s Test dalam uji MANOVA akan menguji asumsi apakah variabel tak bebas memiliki varians yang sama (homogen). Jika hasilnya lebih dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tiap kategori variabel tak bebas memiliki varians yang sama, dan jika hasil kurang dari 0,05 bermakna bahwa tiap kategori variabel tak bebas memiliki varians yang berbeda (tidak sama). Output hasil SPSS26 disajikan sebagai berikut.

Hasil uji multivariate test pada tabel 2 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel bebas pada semua variabel tak bebas. Dengan kata lain, secara keseluruhan faktor kelompok NTP subsektor memiliki peran signifikan dalam kehidupan sosial dan ekonomi regional. Hal ini ditunjukkan dari 4 nilai p-value <0,05 dengan signifikan pada level kepercayaan 95 persen.

2. Uji Between-Subjects Effects

Ada atau tidaknya perbedaan pada tiap kategori variabel bebas dapat diukur dengan variabel tak bebas menggunakan uji Between-Subjects Effects. Jika hasil lebih dari 0,05, variabel tak bebas tersebut memiliki perbedaan pada tiap kategori variabel bebas. Sebaliknya jika hasil kurang dari 0,05, variabel tak bebas tidak memiliki perbedaan pada tiap kategori variabel bebas. Jika hasil dari uji Between-Subjects Effects menunjukkan terdapat perbedaan pada tiap kategori variabel bebas secara signifikan, maka tahapan berikutnya perlu dilakukan uji Post Hoc. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji Post-Hoc dikarenakan kategori provinsi berdasarkan nilai tukar petaninya hanya terdiri dari dua kelompok saja. Dengan kata lain, jika dalam uji sebelumnya telah signifikan maka peran diversifikasi pangan yang digambarkan melalui nilai tukar petani berpengaruh terhadap sosial ekonomi regional. metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka tahapan awal adalah mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan karakteristik nilai tukar petaninya [16]. Pengelompokan akan lebih mudah dibahas apabila ditampilkan dalam dendogram. Berikut output dendogram dari provinsi-provinsi tersebut.

Cluster Nilai Tukar Petani Kel
Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Nelayan
1 97,48 107,64 107,70 102,57 104,63 23
2 95,22 104,94 148,51 102,58 104,82 10
Table 3.Hasil Pengelompokan Provinsi Berdasarkan NTP Subsektor

Dari gambar 3 di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 kelompok besar yang terbentuk. Dari dua kelompok besar ini akan dilakukan identifikasi karakteristik masing-masing kelompok. Dasar dalam melakukan identifikasi adalah nilai NTP dari setiap subsektor. Secara detil dapat dilihat dalam tabel 3.

Source Dependent Variable df F Sig.
Corrected Model r_KonsRT 1 1.871 .181
GK_PerkotaanSM2 1 6.059 .020
GK_PedesaanSM2 1 6.365 .017
Intercept r_KonsRT 1 436.805 .000
GK_PerkotaanSM2 1 957.597 .000
GK_PedesaanSM2 1 880.470 .000
Kategori NTP r_KonsRT 1 1.871 .181
GK_PerkotaanSM2 1 6.059 .020
GK_PedesaanSM2 1 6.365 .017
Error r_KonsRT 31
GK_PerkotaanSM2 31
GK_PedesaanSM2 31
Table 4.Output SPPS26 dalam Tests of Between-Subjects Effects

Dalam mempermudah visualisasi tabel 3, pembahasan antar kelompok akan diilustrasikan lebih baik dengan spider chart atau diagram radar. Diagram radar sangat berguna untuk mengevaluasi pilihan dari 2 kelompok atau individu yang berbeda berdasarkan beberapa variabel. Dari gambar 4 dapat terlihat radar dari 2 kelompok yakni kelompok 1 dengan warna biru dan kelompok 2 dengan warna merah. Secara keseluruhan, rata-rata NTP petani untuk kelompok 2 jauh lebih tinggi yakni 127,67 dibandingkan dengan kelompok satu yakni 103,09. Kelompok 1 memiliki ciri-ciri provinsi dengan rata-rata nilai NTP untuk tanaman pangan dan hortkultura lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 2. Namun demikian untuk NTP Tanaman Pangan baik kelompok 1 maupun kelompok 2 nilainya jatuh di bawah level 100. Artinya tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan subsektor yang lain. Kelompok satu sebesar 97,49 dan kelompok 2 dengan 95,23. Kelompok 2 terdiri dari provinsi-provinsi dengan rata-rata nilai NTP untuk nelayan dan budidaya ikan, peternakan, dan perkebun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 1 memiliki rata- rata nilai NTP Tanaman Pangan . Terlebih untuk kelompok 2 memiliki rata-rata nilai NTP Perkebunan mencapai 148,51 yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 1 yakni 107,70. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok 2 memiliki tingkat kesejahteraan petani perkebunan yang jauh lebih baik. Jika dilihat dari provinsi yang berada di kelompok 2 yang terdiri dari Riau, Jambi, Bengkulu, dan mayoritas provinsi di Kalimantan memang terkenal dengan komoditas unggulan perkebun seperti kelapa sawit dan rempah-rempah. Oleh karena itu, kelompok 2 akan dikelompokkan dengan nama kelompok provinsi dengan orientasi perkebunan dan kelompok satu dengan nama kelompok provinsi dengan orientasi non-perkebunan.

Figure 3.Perbandingan Rata-Rata NTP Subsektor per Kelompok Provinsi

Penamaan ini didasarkan pada ketimpangan rata-rata nilai NTP Perkebunan yang jauh berbeda di antara kedua kelompok. Peran diversifikasi pertanian terhadap sosial ekonomi regional dapat dilihat berdasarkan Manova. Dengan bantuan SPSS26 maka diperolehlah hasil sebagai berikut.

Berdasarkan tabel 4 diketahui pada kategori NTP memiliki tingkat signifikansi yang berbeda antara aspek sosial dan ekonomi. Pada aspek sosial, kategori NTP signifikan terhadap GK Perkotaan dan Pedesaan, Hal ini ditunjukkan dengan nilai Sig. < 0,05 dimana masing-masing memiliki nilai untuk GK Perkotaan dan 0,017 untuk GK Pedesaan. Artinya ketegori NTP yang menggambarkan diversifikasi pertanian berpengaruh signifikan terhadap besar kecilnya garis kemiskinan di tingkat provinsi.

Namun demikian hasil yang berbeda terhadap aspek ekonomi. Dari temuan di atas diperoleh bahwa nilai Sig. pada laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,181 atau lebih dari alpha 0,05. Artinya ditarik kesimpulan bahwa diversifikasi pertanian tidak signifikan memengaruhi aspek ekonomi masyarakat.

Sejalan dengan temuan di atas. Saliem et al. (2016) juga menemukan bahwa diversifikasi usahatani melalui pengaturan pola tanam dan pergiliran tanaman padi dan palawija (dibanding pola tanam padi-padi-padi) tidak menjamin petani di daerah tersebut dapat meningkatkan pendapatan. Hal ini karena pengusahaan palawija tidak dilakukan secara intensif dan lebih bertujuan untuk pemanfaatan lahan karena keterbatasan sarana irigasi. Sementara itu pengusahaan tanaman padi menghasilkan pendapatan yang lebih baik dan usahatani palawija membutuhkan tenaga kerja yang lebih sedikit dibanding padi [17].

S impulan

Nilai Tukar Petani dapat dijadikan indikator mitigasi dalam penentuan keputusan dilakukannya diversifikasi pertanian regional. Hal ini dikarenakan NTP cukup peka dalam melihat apresiasi nilai tukar petani di mata pasar.

Provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan NTP subsektornya. Satu kelompok terdefinisikan sebagai provinsi non-orientasi perkebunan dan kelompok lainnya terdefinisikan sebagai provinsi berorientasi perkebunan.

Diversifikasi pertanian signifikan memengaruhi aspek sosial regional namun tidak serta merta memengaruhi aspek ekonomi masyarakat. Dibutuhkan ketelatenan dan intensitas yang terjaga untuk melakukan proses diversifikasi agar mendapatkan nilai tambah yang optimal. Islam et al (2017) menambahkan bahwa kebijakan pendidikan, bantuan keuangan dan bantuan dari pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meningkatkan standar dan kualitas hidup di kalangan masyarakat miskin dan berpendapatan rendah. Untuk dapat menyentuh aspek ekonomi, diversifikasi pertanian membutuhkan sentuhan fasilitas yang memadahi agar tidak hanya menjadi selingan belaka. Hal ini sesuai dengan temuan Harahap & Fatmawaty (2020) yang menyatakan bahwa Pertumbuhan pembangunan pertanian dapat terwujud dengan adanya kebijakan dari pemerintah atau pihak-pihak terkait lainnya yang berperan dalam membangun fasilitas sosial ekonomi, yang menjadi faktor pendukung utama dalam kelancaran pembangunan pertanian tersebut.

References

  1. Badan Pusat Statistik, Statistik Nilai Tukar Petani 2022, Badan Pusat Statistik Indonesia (ed.). Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik, 2023.
  2. Badan Pusat Statistik Indonesia, Profil Kemiskinan di Indonesia September 2023, Berita Resmi Statistik, vol. 01, no. 05, pp. 1–16, 2023.
  3. A. B. Burhan, "Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pengembangan Ekonomi Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan," Jurnal Komunikasi Pembangunan, vol. 16, no. 2, pp. 233–247, 2018, doi: 10.46937/16201826338.
  4. L. Chancel, T. Piketty, E. Saez, and G. Zucman, World Inequality Report 2022. Paris, France: World Inequality Lab, 2022.
  5. I. Ghozali, Analisis Multivariate Lanjutan dengan Program SPSS, Semarang, Indonesia: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009.
  6. G. Harahap and Fatmawaty, "Model Pembangunan Pertanian Pola Interaksi dan Interdependensi dalam Memanfaatkan Fasilitas Pelayanan Sosial Ekonomi di Kabupaten Serdang Bedagai," BEST Journal (Biology Education, Science and Technology), vol. 3, no. 2, pp. 141–147, 2020, doi: 10.30743/best.v3i2.3121.
  7. R. Islam, A. B. A. Ghani, I. Z. Abidin, and J. M. Rayaiappan, "Impact on Poverty and Income Inequality in Malaysia’s Economic Growth," Problems and Perspectives in Management, vol. 15, no. 1, pp. 55–62, 2017, doi: 10.21511/ppm.15(1).2017.05.
  8. F. Kasryno, A. Fagi, and E. Pasandaran, Kebijakan Produksi Padi dan Diversifikasi Pertanian, 2nd ed. Bogor, Indonesia: Badan Litbang Pertanian, 2004.
  9. Murdiyana and Mulyana, "Analisis Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia," Jurnal Politik Pemerintahan Dharma Praja, vol. 10, no. 1, pp. 73–96, 2017, doi: 10.33701/jppdp.v10i1.384.
  10. D. Ningsih and P. Andiny, "Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan di Indonesia," Jurnal Samudra Ekonomika, vol. 2, no. 1, pp. 53–61, 2018.
  11. P. Parmadi, E. Emilia, and Z. Zulgani, "Daya Saing Produk Unggulan Sektor Pertanian Indonesia dalam Hubungannya dengan Pertumbuhan Ekonomi," Jurnal Paradigma Ekonomika, vol. 13, no. 2, pp. 77–86, 2018, doi: 10.22437/paradigma.v13i2.6677.
  12. P. A. Pynanjung, E. Agustinus, J. Junaidi, R. Burhansyah, and S. Oktoriana, "Poverty in the Indonesia-Malaysia Border Province (Case Study in West Kalimantan Province)," Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah, vol. 9, no. 5, pp. 401–412, 2021, doi: 10.22437/ppd.v9i5.12760.
  13. H. P. Saliem, T. B. Purwantini, and Y. Marisa, "Prospek Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan," Forum Penelitian Agro Ekonomi, vol. 24, no. 1, pp. 1–13, 2016, doi: 10.21082/fae.v24n1.2006.1-13.
  14. A. Setiawan, "Analysis of Differences in Poverty Levels and Rural Inequality Before and After the Village Funds Are Revolved," Akuntabel, vol. 16, no. 1, pp. 31–35, 2019.
  15. R. A. P. Setiawan, T. I. Noor, L. Sulistyowati, and I. Setiawan, "Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani Kedelai dengan Menggunakan Pendekatan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (NTPRP)," Jurnal Agribisnis Terpadu, vol. 12, no. 2, pp. 178–188, 2019, doi: 10.33512/jat.v12i2.6779.
  16. C. D. Tumewu, M. V. A. J. and I. Masloman, "Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektor Pertanian dan Kapasitas Anggaran Pedesaan terhadap Jumlah Kemiskinan di Kabupaten Minahasa," Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, vol. 22, no. 4, pp. 47–61, 2022.
  17. D. A. Wicaksana, P. P. Adikara, and S. Adinugroho, "Clustering Dokumen Skripsi dengan Menggunakan Hierarchical Agglomerative Clustering," Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (J-PTIIK), vol. 2, no. 12, pp. 6227–6234, 2018. [Online]. Available: http://j-ptiik.ub.ac.id/index.php/j-ptiik/article/view/3558