Education
DOI: 10.21070/acopen.10.2025.10457

Revitalizing Holistic Education Through Ki Hajar Dewantoro’s Garden Philosophy


Revitalisasi Pendidikan Holistik Melalui Filosofi Taman Ki Hajar Dewantoro

S3 Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia
S3 Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia
S3 Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Garden Philosophy Holistic Education Merdeka Curriculum Joyful Learning Sustainable Education

Abstract

Background: Ki Hajar Dewantoro's "garden" philosophy integrates intellectual, moral, social, and spiritual dimensions for holistic education, as reflected in the Taman Siswa model. Knowledge Gap: Modern education often neglects these principles, resulting in fragmented learning. Aim: This study examines the relevance of the "garden" philosophy in modern education, aligning it with the Merdeka Curriculum. Results: A semiotic analysis reveals the philosophy’s enduring relevance, particularly in promoting joyful, student-centered, and sustainable learning. Novelty: It bridges historical educational ideals with contemporary practices. Implications: The "garden" philosophy offers a foundation for holistic, inclusive education systems that address current challenges effectively.

Highlights:

  • Ki Hajar Dewantoro's "garden" philosophy emphasizes holistic, inclusive education integrating intellectual, moral, and social dimensions.
  • The Merdeka Curriculum aligns with the philosophy, focusing on student-centered and joyful learning approaches.
  • Revitalizing this philosophy can address modern educational challenges and foster sustainable, meaningful learning systems.

Keywords: Garden Philosophy, Holistic Education, Merdeka Curriculum, Joyful Learning, Sustainable Education

Pendahuluan

Pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk karakter suatu bangsa. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro telah meletakkan dasar-dasar penting bagi sistem pendidikan nasional. Salah satunya dengan memperkenalkan falsafah taman yang diimplementasikan melalui ide pendirian Taman Siswa pada masa pergerakan nasional. Taman sebagai sebuah falsafah berupaya menggambarkan sebuah lingkungan pendidikan yang holistik, mendukung pertumbuhan, dan berpusat pada siswa. Sayangnya dengan adanya perkembangan zaman dan perubahan kebijakan pendidikan, prinsip-prinsip pendidikan holistik ala taman ini sering kali terabaikan. Mengembalikan konsep pendidikan Indonesia ke falsafah taman ala Ki Hajar Dewantoro menjadi urgensi dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, bermakna, dan berkelanjutan. Paradigma kurikulum yang dikenal saat ini mencerminkan semangat Ki Hadjar Dewantara untuk secara berkesinambungan memberikan peluang kepada peserta didik guna mengembangkan keterampilan, mengekspresikan diri, dan meningkatkan kemampuan mereka. Kurikulum dipahami sebagai tujuan, konteks, dan strategi dalam proses pembelajaran, melalui pengembangan instrumen atau materi belajar, interaksi sosial, dan teknik pembelajaran yang disusun secara sistematis di lingkungan lembaga pendidikan [1].

Pendidikan dimata Ki Hajar Dewantoro harus mencakup pengembangan seluruh aspek individu, baik intelektual, moral, sosial, maupun spiritual. Ki Hajar Dewantoro dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha kebudayaan yang menuju ke arah kemajuan hidup, kesempurnaan hidup, dan keharmonisan hidup [2]. Taman sebagai filosofi dasar mencerminkan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan siswa secara holistik. Model ini memberikan kebebasan bagi siswa mengeksplorasi minat dan bakat mereka, serta mendorong interaksi yang aktif antara siswa, guru, dan lingkungan. Sejalan dengan perspektif semboyan pendidikan "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" dalam Kurikulum Merdeka mencerminkan suatu filosofi pendidikan yang holistik dan berorientasi pada nilai. "Ing Ngarsa Sung Tuladha" menegaskan pentingnya teladan luhur dalam membentuk karakter siswa dan mempromosikan nilai-nilai moral dalam kurikulum. "Ing Madya Mangun Karsa" menyoroti kebutuhan untuk mengembangkan potensi siswa secara holistik, mengakomodasi keberagaman bakat dan minat mereka. "Tut Wuri Handayani" menekankan peran guru sebagai pembimbing yang memberikan petunjuk dan dukungan dalam proses pembelajaran. Dalam upaya implementasi Kurikulum Merdeka, yang mencoba membuat pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, di mana setiap siswa dihargai sebagai individu dengan potensi uniknya [3].

Sebagaimana diketahui bahwa tantangan sistem pendidikan Indonesia semakin kompleks di era globalisasi dan digitalisasi. Kurikulum yang terlalu padat, pendekatan pengajaran yang konvensional, serta kurangnya keterlibatan orang tua menjadi beberapa permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan pendidikan yang holistik. Tantangan bukan datang dari materi atau kurikulum pendidikan kewarganegaraan itu sendiri, melainkan dari kualitas sumber daya manusia yang kompeten, yaitu institusi yang mecetak tenaga pendidik dan guru sebagai tenaga pendidik. Salah satu misalnya peran pendidikan kewarganegaraan disebutkan bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”[4]. Materi ini tentu sangat penting dalam membentuk karakter anak, tapi tetap harus disampaikan dengan cara menyenangkan. Menurut penelitian pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna dapat meningkatkan motivasi siswa dan hasil belajar yang lebih baik [5]. Oleh karena itu, dengan mengadopsi kembali falsafah taman Ki Hajar Dewantoro diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam sistem pendidikan kita.

Konsep taman dalam model pendidikan ala Taman Siswa menekankan pentingnya pendidikan karakter. Dewantoro mengajarkan bahwa pendidikan karakter harus dimulai dari rumah dan diperkuat di sekolah. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, dan gotong royong merupakan bagian integral dari pendidikan karakter yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro di sekolah. Dalam konteks ini, kerjasama antara keluarga dan sekolah menjadi sangat penting. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak memiliki dampak positif terhadap perkembangan akademik dan sosial anak [6]. Dengan demikian, kesesuaian konsep pendidikan Indonesia dengan falsafah taman ala Ki Hajar Dewantoro tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak. Melalui pendekatan pendidikan yang holistik, berpusat pada siswa, dan berbasis pada nilai-nilai moral yang kuat, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang baik dan berkelanjutan.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode literatur review dengan pendekatan semiotik, dimana peneliti memberi gambaran tentang penelitian yang dilakukannya pada topik tertentu. Peneliti memberi informasi apa yang sudah dan belum dipelajari, serta bisa melanjutkan penelitian lebih lanjut tentang topik tersebut. Dengan pendekatan semiotik peneliti mencoba memahami bagaimana makna dan pesan disampaikan melalui tanda-tanda dan simbol-simbol dalam berbagai bentuk komunikasi, seperti teks, gambar, dan media. Pendekatan semiotik ini fokus pada pembacaan tanda-tanda (sign) yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified), serta hubungan antara keduanya [7]. Peneliti menganalisis bagaimana tanda-tanda tersebut bekerja dalam konteks budaya, sosial, dan historis untuk mengungkap makna yang terkandung di dalamnya. Peneliti menjadikan kata “taman” sebagai penanda (signifier), dan taman siswa atau dunia pendidikan sebagai petanda (signified) serta menjelaskan hubungan keduanya yang tidak terkait secara langsung (arbitrer) tetapi menjadi hubungan yang bersifat filosofi semata.

Hasil dan Pembahasan

A. Konteks Kelahiran Taman Siswa

Berbicara tentang Taman Siswa, kita tidak bisa melepaskan diri dari perjalanan hidup pendirinya, Ki Hajar Dewantara. Selain menjadi pejuang untuk kemerdekaan negerinya melalui bidang politik dan jurnalistik, terlibat aktif dalam pergerakan Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Indische Partij, Ki Hajar Dewantoro secara sadar memutuskan untuk mengambil basis perjuangan utamanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Hal ini tentu tidak lepas dari konteks sejarah dimana pada masa itu, sebagai bangsa yang belum merdeka, kita belum memiliki sebuah sistem pendidikan nasional. Karenanya Ki Hajar Dewantoro mengambil inisiatif mengisi ruang kosong perjuangan tersebut. Pendidikan merupakan upaya memerdekakan bangsanya, dengan cara memerdekaan jiwa anak-anak didiknya terlebih dahulu. Semangat tersebut dapat diaplikasikan melalui beberapa prinsip dasar yang relevan dalam kurikulum pendidikan saat ini, seperti: pendidikan sebagai sarana untuk menciptakan manusia Indonesia yang merdeka, berjiwa nasionalis, dan memiliki karakter yang kuat [8]. Filosofi tersebut sangat erat kaitannya dengan lahirnya Perguruan Taman Siswa pada masa perjuangan rakyat Indonesia, karenanya beliau menekankan pentingnya pendidikan yang bersifat merdeka, demokratis, dan berlandaskan pada nilai-nilai budaya bangsa. Dalam konteks tersebut, Taman Siswa didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme yang menghalangi akses pendidikan bagi rakyat Indonesia, dengan mengutamakan pendidikan yang menghargai hak-hak individual dan mengembangkan potensi anak-anak bangsa untuk mencapai kemerdekaan sejati, baik secara fisik maupun mental.

Perguruan Taman Siswa lahir pada masa rakyat Indonesia bergerak menuju Indonesia merdeka. Saat itu pergerakan rakyat sedang memasuki masa peralihan, dari masa perjuangan secara kooperatif dengan pemerintah kolonial menuju masa perjuangan non-kooperatif. Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional; suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya. Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan generasi yang intelek, tetapi juga pendidikan yang mengenalkan adab dan susila. Tujuan Perguruan Taman Siswa yaitu: (1). Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai; (2). Membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.

Saat Taman Siswa berdiri banyak menemui hambatan, terutama reaksi pemerintah kolonial yang menginginkan agar Taman Siswa ditutup. Aksi-aksi penghambatan yang dilancarkan pemerintah kolonial tidak lantas mengendorkan aktivitas Taman Siswa. Bahkan dengan adanya perjuangan Ki Hajar Dewantara memiliki banyak dampak posistif yang dihasilkan baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya semua pegawai negeri yang menyekolahkan anaknya, baik di sekolah negeri bersubsidi, maupun di sekolah partikelir, pada akhirnya mempunyai hak yang sama atas tunjangan anak [9].

Hubungan Perguruan Taman Siswa dengan seorang guru sangat penting, karena guru di Taman Siswa tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga berperan sebagai pembimbing yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan, adab, dan susila kepada siswa. Guru di Taman Siswa diharapkan untuk menjadi teladan yang mengedepankan pendidikan yang berjiwa nasional dan mendidik anak menjadi pribadi yang merdeka, berpikiran terbuka, serta bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan negara. Dalam konteks ini, seorang guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik yang membentuk karakter agar mampu meraih kemerdekaan sejati, baik secara intelektual maupun moral.

Seorang guru atau pamong, kata Ki Hajar Dewantoro bukan hanya berkewajiban mengajar tapi juga mendidik. Mengajar artinya memberi ilmu pengetahuan, menuntun gerak-pikiran serta melatih kecakapan anak kita, agar mereka kelak menjadi orang yang pandai, berpengetahuan dan cerdas. Sedangkan mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti anak supaya kelak mereka memiliki kepribadian yang beradab dan susila [10]. Jika beradab merujuk kepada sifat batin manusia yang penuh dengan kesadaran akan kesucian, kemerdekaan, keadilan, ketuhanan, cinta kasih, kesetiaan, kesenian, ketertiban, kedamaian, kesosialan dan lain sebagainya, maka susila merujuk kepada sifat lahir manusia yang menyukai kehalusan dan keindahan. Manusia yang beradab dan susila artinya manusia yang mengenal dimensi etis dan estetis dalam menjalani hidupnya. Dengan demikian jika pengajaran lebih menekankan kepada penguatan logika, maka pendidikan mengutamakan kedalaman etika dan estetika.

B. Memahami Falsafah Taman

Kata taman pada nama Perguruan Taman Siswa mengandung makna dan spirit yang mendalam sehingga menjiwai berbagai aktivitas dalam pengajaran dan pendidikan di lembaga tersebut. Selain digunakan sebagai nama lembaga Taman Siswa, kata taman secara konsisten digunakan sebagai penamaan jenjang pendidikan yang ada, misal Taman Indria (balita), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP dan SMA), dan seterusnya. Tentu saja penggunaan kata taman selain merupakan upaya agar brand sebuah produk mudah dikenali bagi, juga menjadi pemandu gagasan dalam implementasi manajemen di sekolah tersebut. Taman juga merupakan refleksi semangat kebatinan pencetusnya. Dengan demikian taman merupakan sumber nilai kebijaksanaan (filosofi) pada gerakan pendidikan yang diinisiasi oleh Ki Hajar Dewantoro. Dengan falsafah tersebut Taman Siswa memberikan dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu: kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kebudayaan merupakan dasar praksis pendidikan. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional, melainkan unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan [11].

Sebagai penanda (signifier) kata “taman” dapat kita lihat dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI menjelaskan bahwa kata "taman" memiliki arti: Kebun yang ditanami dengan bunga-bunga dan sebagainya; tempat yang menyenangkan; dan merujuk kepada tempat duduk bagi pengantin perempuan [12]. Dari makna leksikal tersebut kita dapat mengembangkan imajinasi kata “taman” menjadi (1) area tumbuhnya tanaman, (2) tempat yang indah, (3) tempat yang nyaman, dan (4) ruang yang rekreatif. Melalui tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana falsafah kata “taman” tersebut diimplementasikan pada perjalanan Taman Siswa sehingga menjadi petanda (signified). Kita juga akan membahas bagaimana relevansinya falsafah taman dengan dunia pendidikan masa kini.

1. Sebagai Area Tumbuhnya Tanaman

Taman sebagai area tumbuhnya tanaman dapat dimaknai bahwa Taman Siswa memperlakukan para siswanya sebagai bibit-bibit tanaman yang warna-warni dan akan terus tumbuh. Setiap siswa harus dihargai sebagai ragam jenis tanaman yang punya potensi setara dalam memperindah taman. Karenanya Taman Siswa sangat menghargai perbedaan tersebut. Sekolah menjamin kemerdekaan setiap siswanya. Siswa memiliki hak untuk tumbuh dan menentukan masa depannya. Siswa diajarkan melawan segala macam penghalang dan penindasan. Murid-murid ibarat berada di taman yang luas. Mereka merdeka dalam berekspresi. Mereka bisa bermain apa saja, belajar apa saja, berperan menjadi siapa saja sesuai dengan imajinasinya. Mereka memiliki otonomi dalam belajar secara inventif dan mandiri, sampai-sampai mengerahkan terwujudnya karakter jiwa merdeka [13].

Pada jenjang Taman Indria (balita), secara khas Taman Siswa menerapkan metode belajar yang diberi nama Trino (tiga “no” atau tiga N): yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton sebagai fase koqnitif dimaknai siswa belajar secara pasif dengan segenap panca indera. Sedangkan niteni merupakan fase afektif dimana siswa belajar menandai, mempelajari, mencermati apa yang ditangkap panca Indera. Adapun nirokke merupakan fase psikomotorik, dimana siswa menirukan hal yang positif untuk bekal menghadapi perkembangan di masa depan. Sedangkan pada saat siswa belajar pada tingkatan Taman Muda atau Sekolah Dasar, kemudian Taman Dewasa atau SMP/SMA dan seterusnya maka konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara menggunakan model Tringo (tiga ngo atau tiga Ng), yaitu: ngerti, ngroso lan nglakoni. Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak selain dididik secara koqnitif agar bisa ngerti atau memahami, secara afektif agar bisa ngroso atau turut merasakan, serta secara psikomotorik dengan cara nglakoni atau menjalankan [14].

Anak didik diberikan kebebasan atau kemerdekaan sesuai kodratnya untuk mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapi. Jadi pendidik cenderung melakukan laku Tut Wuri Handayani, kecuali pada masalah yang hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri, baru pendidik mengambil tindakan. Konsep belajar yang memberikan kebebasan kepada anak tersebut dalam pandangan filsafat disebut progesivisme. Aliran progresivisme mempunyai konsep yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam manusia itu sendiri [14]. Imajinasi pendidikan sebagai tanaman yang tumbuh begitu kuat pada diri Ki Hajar Dewantoro. Hal ini tampak saat Ki Hajar mengilustrasikan hubungan Taman Siswa dengan dunia politik saat itu. Ki Hajar mengumpamakan pamong Taman Siswa sebagai bapak tani yang bekerja di sawah, menanam benih-benih yang perlu ditanam supaya tumbuh. Sedangkan partai-partai politik diumpamakan sebagai pagar sawah itu. Jika pagar itu kuat, maka amanlah sawah itu. Sebaliknya jika pagar itu rusak, hal ini akan membawa bahaya bagi bapak tani dan tanamannya.

Karenanya Taman Siswa pada masa itu tidak melarang anggotanya memasuki partai. Meskipun sebagai konsekuensinya ketika Pemerintah Belanda melakukan tindakan keras terhadap partai-partai tertentu, beberapa pamong Taman Siswa terkena pula dampaknya. Ki Hajar Dewantoro berpendapat bahwa harus ada pembagian tugas antara partai politik dan lembaga pendidikan nasional dalam ranah perjuangan. Pergerakan politik harus memperjuangkan hak-hak yang memagar lingkungan pendidikan tersebut [10].

Taman juga bisa diterjemahkan sebagai ruang tumbuhnya aspirasi publik dan demokrasi. Sejalan dengan pandangan Jurgen Hubermas bahwasanya ruang publik sebagaimana taman dapat memainkan peran penting dalam demokrasi. Ruang publik semacam ini menyediakan tempat di mana masyarakat dapat berkumpul, berdiskusi, dan menyuarakan pendapat mereka. Bahkan berinteraksi untuk turut membantu memperkuat partisipasi dan keterlibatan warga dalam kehidupan sosial dan politik [15]. Karenanya ketika undang-undang pengajaran kolonial yang diumumkan mulai berlaku pada 1 Oktober 1932, yang dikenal sebagai Ordonansi Sekolah Liar yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai Onderwijs Ordonnantie (OO) maka Taman Siswa berkembang menjadi gerakan resistensi. Begitu menyadari OO berdampak negatif kepada sekolah-sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, bahkan bisa membuat mereka menderita dan gulung tikar, maka Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Harian yang berkedudukan di Yogyakarta, dalam sidangnya pada 29 September 1932, memutuskan memberi kekuasaan yang luas kepada Ki Hajar Dewantoro untuk menyikapi. Kekuasaan yang luas tersebut nantinya dipertanggungjawabkan pada konferensi atau kongres yang diadakan Taman Siswa di kemudian hari.

Gerakan perlawanan tersebut mendapat sambutan yang amat besar dari masyarakat. Seluruh elemen pergerakan rakyat baik yang bersifat politik, agama, maupun sosial secara serentak mendukungnya, sehingga berkembang menjadi suatu aksi massa yang diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Karenanya pada tanggal 19, 20, dan 21 Oktober 1932 Kuasa Pemerintah Untuk Urusan Umum di dalam Volksraad. Mr. Ir. Kiewiet de Jonge datang berunding dengan Ki Hajar Dewantoro di kediamannya. Selain membicarakan ihwal Taman Siswa, mereka membahas masa depan OO tersebut. Setelah berdiskusi selama tiga hari, akhirnya mereka memahami tuntutan Ki Hajar Dewantoro. Proses politik terus bergulir, masalah OO dibawa ke Volksraad, lembaga resmi penampung aspirasi rakyat pada masa itu. Namun ketika pemerintah Belanda tidak memberikan respon yang memuaskan, maka pada 10 Januari 1933 Wiranatakusumah dan kawan-kawan di Volkskraad yang sejalan dengan gerakan Ki Hajar Dewantoro mengajukan usul untuk membuat undang-undang baru. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk: 1) Menarik kembali ordonansi pengajaran tersebut satu tahun lamanya. 2) Mengesahkan kembali ordonansi yang lama untuk satu tahun. 3) mengangkat suatu komisi untuk merencanakan perubahan yang tetap untuk dimajukan kepada Pemerintah dalam waktu satu tahun [10].

Taman Siswa yang awalnya hanya sebuah lembaga pendidikan berhasil tumbuh menjadi ruang sosial yang lebih luas, mampu membangun jaringan sosial, dan mengelola tekanan sosial politik yang mengancam eksistensinya. Interaksi sosial di Taman Siswa terbukti mampu meningkatkan rasa kebersamaan dan menciptakan solidaritas. Ruang publik seperti Taman Siwa adalah tempat di mana interaksi sosial berlangsung dalam bentuk yang sederhana dan kompleks, sehingga memungkinkan terwujudnya hubungan sosial dan memperkuat jaringan sosial mereka [16].

2. Sebagai Tempat yang Indah

Keindahan taman yang biasanya dinikmati secara fisik, dapat pula didapatkan pada keindahan budi pekerti manusia sebagai produk pendidikan. Menurut Ki Hajar, keluhuran dan kehalusan budi adalah dua sifat yang nampak dalam hidup manusia. Manusia adalah makhluk terpilih dan berbudi, yang memiliki kekuatan-kekuatan serta sifat-sifat yang membedakan dirinya dari hewan. Karenanya menurut Ki Hajar Dewantoro, sejak kecil anak-anak harus diperkenalkan pada keluhuran budi dan kehalusan budi. Salah satu metode yang diterapkan taman siswa adalah dengan memberikan penghormatan kepada para pahlawan. Menurutnya, pahlawan adalah contoh praktek keluhuran budi yang terbaik. Anak-anak perlu diperkenalkan pada watak dan perbuatan baik para tokoh yang senatiasa memberi teladan dan kepeloporan. Selain untuk memupuk keteladanan, penghormatan kepada pahlawan adalah satu cara untuk memupuk perasaan nasionalisme. Pada masa penjajahan Belanda, hampir di tiap Perguruan Taman Siswa terdapat gambar Pangeran Diponegoro yang dipasang di kelas-kelas. Bahkan hari lahir Pangeran Diponegoro yang jatuh pada hari rebo wage selalu dirayakan sebagai hari pendidikan. Kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan rebo wagen [10].

Menurut Ki Hajar Dewantoro, sumber lain yang bisa digunakan sebagai bahan pengajaran keluhuran budi dan kesusilaan terdapat dalam agama, dunia pewayangan, babad, cerita (legenda atau mite), biografi pahlawan dan sebagainya. Jika Mahatma Gandhi, tokoh terkemuka dari India, menyebut Bagawatgita sebagai karya sastra yang berisi ajaran moral yang tinggi, Ki Hajar banyak mengutip buku Sastra Gending, yang disebutnya berasal dari Sultan Agung Mataram. Menurut Ki Hajar, pelajaran moral dan kesusilaan itu akan berharga apabila dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Menurutnya, asas-asas kesusilaan yang dipelajari namun tidak dipratekkan tidak berguna sama sekali. Barang siapa yang tidak menjalankan hidup menurut hukum-hukum susila, ia tidak dapat dianggap manusia dalam arti yang sebenarnya, kata Ki Hajar [10].

Taman Siswa memberikan perhatian khusus pada pendidikan kesenian. Pendidikakn kesenian diyakini dapat memperhalus budi anak. Kesenian daerah digali, kemudian dikembangkan. Salah satunya diwujudkan pada usaha pelestarian tembang dan dolanan (permainan) anak-anak. Taman Siswa Yogyakarta menyebarluaskan kesenian tersebut melalui cabang-cabang Taman Siswa lainnya. Bagi mereka, dolanan anak-anak merupakan sesuatu yang khas dan spesial. Guru-guru dari sekolah lain, seperti sekolah "Mardigarini'' dari "Institut Sigit" tercatat pernah datang ke Taman Siswa Cabang Semarang untuk belajar dolanan anak tersebut. Bahkan, pada Kongres Perempuan I yang digelar di Yogyakarta (22-25 Desember 1928), Taman Siswa Yogyakarta menampilkan seni dolanan anak dalam acara pembukaannya.

Ki Hajar Dewantoro dibantu tokoh-tokoh kesenian Yogyakarta, seperti Pangeran Surya Diningrat dan Pangeran Tejakusuma dalam mengajar dan menyebarluaskan tarian. Diantaranya terdapat tarian yang semula hanya boleh diajarkan di kalangan istana dan bangsawan. Setiap hari rabu Ki dan Nyi Hajar bersama kedua pangeran tersebut menghadiri latihan tari Jawa bersama anak-anak di Pendopo Taman Siswa. Selain tarian Jawa, Taman Siswa juga mengajarkan tarian lain seperti tari Bali dan tarian daerah lainnya. Bahkan tari Hindu juga tercatat pernah diajarkan di Taman Siswa. Peristiwa tersebut terjadi saat ada tamu istimewa dari India yang ingin mempelajari tari Jawa. Mereka tinggal selama beberapa bulan di tengah-tengah keluarga Taman Siswa. Sehingga mereka saling bertukar pengetahuannya tentang tari. Dengan menjadi ruang pendidikan tari, maka Taman Siswa menjelma menjadi ruang pergaulan sosial yang membentuk interaksi simbolik. Menurut Goffman, ruang seperti itu merupakan tempat di mana individu dapat mempresentasikan diri mereka dan berinteraksi dengan orang lain secara simbol dan isyarat. Interaksi tersebut memungkinkan setiap individu memainkan peran dan membangun identitas sosialnya [17].

3. Sebagai Tempat yang Nyaman

Kenyamanan situasi pada Taman Siswa dapat dilihat pada penerapan prinsip kekeluargaan dan sistem among. Taman Siswa menerapkan nilai-nilai kekeluargaan dalam kesehariannya, hal ini bertujuan membangun hubungan yang erat antara guru atau pamong dengan muridnya. Seorang pamong Taman Siswa yang semula menuntut pelajaran di Sekolah Gubernemen memberikan sebuah kesaksian bahwa terdapat perbedaan yang besar antara sekolah tersebut dengan Taman Siswa. Jika di HBS guru diperlakukan seperti ambtenaar atau pegawai yang berdiri di depan kelas, dimana mereka tidak menaruh perhatiannya kepada murid-murid secara sungguh-sungguh, dan tujuan pembelajarannya dipusatkan untuk mengembangkan intelektualitas semata, serta mereka tidak berupaya memahami kesulitan anak didiknya, maka di Taman Siswa, para murid merasa bahwa perguruan merupakan rumah keduanya. Mereka ibarat menemukan Kembali makna "bapak" atau "ibu" yang dapat diminta nasihat atau pertimbangan saat mereka menghadapi kesulitan. Sebutan “bapak atau ibu” kepada para guru di sekolah, tentu sangat berbeda dengan sebutan: meneer, mevrouw dan juffrouw (tuan, nyonya, nona) atau di daerah Jawa dengan sebutan: mas behi, den behi, bahkan ada yang menyebut gurunya dengan ndoro yang popular pada masa itu [10].

Taman Siswa menerapkan model rumah perguruan. Perguruan sekaligus merupakan tempat tinggal bagi para pamongnya. Hal ini membuat anak didik merasa seperti berada dalam lingkungan keluarga. Taman Siswa tidak hanya mengadakan kegiatan pada jam sekolah. Kapan saja anak didik boleh datang untuk melakukan kegiatan olah raga, pramuka, kesenian dan sebagainya. Setiap saat mereka punya akses untuk menemui bapak atau ibu pamongnya. Dengan demikian, secara psikologis siswa tidak takut menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya kepada bapak atau ibu pamong. Kedua belah pihak memiliki ikatan batin yang dekat dan kuat, sebuah ikatan yang biasa terdapat dalam hubungan keluarga.

Selain menerapkan prinsip kekeluargaan, Taman Siswa menerapkan sistem among dalam pengajarannya. Sistem among artinya sebuah sistem yang akan membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak. Guru atau pamong diharapkan dapat memberi tuntunan dan sokongan kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan sendiri. Taman Siswa meyakini cara lama mengajar dan mendidik yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman tidak relevan lagi. Semboyan sistem among yang popular adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Artinya seorang pendidik atau pamong harus bisa menjadi teladan, motivator, dan pendukung dalam segala situasi. Tut Wuri Handayani adalah tahap puncak dari sistem among. Sebab dengan pendekatan Tut Wuri Handayani berarti guru mengedepankan kemampuan siswa atau kemandirian siswa. Konsep ini mendorong anak didik terbiasa mengejar pengetahuan dan belajar dengan kekuatan sendiri. Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamat-amati dengan segala perhatian, dan memberi pertolongan apabila diperlukan. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Dengan sistem among, diharapkan anak dapat berkembang sesuai kodratnya [10].

4. Sebagai Tempat Rekreatif

Pengertian rekreasi ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Latin “creature” yang berarti mencipta. Dengan penambahan awalan “re”, menjadi rekreasi dapat diartikan sebagai “upaya pemulihan daya cipta” atau juga sebagai “upaya penyelenggara daya cipta”. Taman siswa memberi bekal para siswanya untuk memiliki kemampuan pemulihan daya cipta. Sehingga mereka diharapkan bisa mendaur ulang berbagai persoalan yang ada menjadi hal baru yang solutif. Rekreatif dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang membuat kreasi baru atau tafsir kontekstual atas situasi tertentu. Kemampuan ini sangat penting agar pendidikan selain menyenangkan juga memberikan bekal anak untuk dapat hidup secara fleksibel, memiliki kemampuan beradaptasi, bisa berinteraksi dalam berbagai tantangan dan situasi. Sebab kenyataannya Lembaga Pendidikan, seperti Taman Siswa tidak bisa lepas dari sebuah proses sosial dan ekonomi. Sekolah merupakan tempat di mana berbagai aktivitas manusia berlangsung dan menciptakan makna sosial beserta dinamikanya. Sehingga interaksi di sekolah seringkali tidak terlepas juga dari dinamika kekuasaan dan kepentingan sosial yang ada di masyarakat [18].

Kisah anak-anak Taman Siswa ketika berlangsungnya aksi militer Belanda I dapat menjadi ilustrasinya. Aksi militer tersebut merupakan tekanan yang berat bagi masyarakat Indonesia. Di sisi lain, peristiwa tersebut merupakan pemantik kesadaran nasionalisme bagi anak-anak Taman Siswa. Pemerintah Belanda saat itu melarang publik menggunakan lencana merah-putih. Bahkan bendera merah putih yang berkibar di lapangan olah raga juga harus diturunkan. Dengan peristiwa itu, anak-anak Taman Siswa berkreasi ulang dengan mengenakan pakaian merah putih setiap tanggal 17 sebagai pengganti. Anak-anak perempuan memakai rok bawah putih dengan blus merah dan anak laki laki mengenakan stelan putih-putih. Anak-anak Taman Siswa melawan dengan caranya.

Dalam peristiwa lain, saat Belanda memberlakukan uang NICA dan melarang penggunaan mata uang ORI (Republik), anak-anak Taman Siswa berkreasi dengan tetap membayar uang sekolah dengan ORI, sehingga guru-guru tetap menerima nafkah dalam wujud ORI. Saat harga ORI terus merosot dan uang ORI tidak mumpuni lagi memenuhi kebutuhan guru, muncul pula kreasi baru para siswa yang didukung oleh orang tuanya dengan tetap membayar sekolah dengan ORI dan menambahkan dengan beras. Dengan demikian para guru bisa mencukupi kebutuhan hidupnya selama sebulan, dan proses belajar mengajar tetap bisa berjalan [10]. Tindakan ini menunjukkan betapa kreatifnya anak-anak Taman Siswa pada masa itu. Mereka tetap mempertahankan ke-Indonesiaannya dengan berbagai cara.

C. Falsafah Taman dan Kebijakan Pendidikan Berkelanjutan

Taman siswa menerapkan sebuah sistem pendidikan yang terpusat pada siswanya. Ki Hajar Dewantoro menekankan pentingnya memberikan kebebasan kepada siswa dalam proses belajar. Kebebasan ini mencakup eksplorasi minat dan bakat siswa serta dorongan untuk berpikir kritis dan mandiri. Ki Hajar Dewantoro percaya bahwa setiap siswa memiliki potensi unik yang harus dikembangkan tanpa paksaan. Dalam konsep pendidikan yang berpusat pada siswa, peran guru bukan sebagai otoritas utama, melainkan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan cara belajar mereka sendiri. Guru diharapkan memberikan bimbingan dan dukungan, serta menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Sementara itu pendidikan harus mencakup pengembangan semua aspek individu, baik intelektual, moral, sosial, maupun emosional.

Ki Hajar Dewantoro menekankan pendidikan tidak hanya bicara tentang transfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai moral yang kuat berupa adab dan susila (etik dan estetik). Karenanya falsafah taman dalam model pendidikan Taman Siswa sekuran-kurangnya menggambarkan sebuah sistem pendidikan yang holistik, yang mampu memberikan dukungan, keamanan, kenyamanan, dan suasana yang menyenangkan bagi tumbuh kembangnya potensi anak. Dengan situasi tersebut siswa diharapkan termotivasi untuk belajar. Lingkungan yang nyaman dianggap dapat membantu mengembangkan potensi mereka secara maksimal [2]. Selain itu, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan yang menekankan pada kebutuhan keseimbangan emosional dan intelektual sehingga siswa tidak hanya cakap secara akademis tetapi juga memiliki keterampilan sosial dan spiritual.

Falsafah taman tersebut dianggap masih relevan dengan situasi saat ini. Terbukti Nadiem Makarim, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu mengadopsi ide Ki Hajar Dewantoro tersebut dalam rancangan Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM). Bahkan MBKM diumpamakan satu divisi dari sebuah revolusi pendidikan. Kurikulum merdeka dianggap mampu membangun esensi manusia dan mendukung keunggulan sistem pendidikan di Indonesia. Jenjang pendidikan yang dijangkau kurikulum tersebut dimulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Kurikulum merdeka dirancang supaya guru dan peserta didik sanggup merasakan atmosfer belajar yang penuh harapan dan membahagiakan. Melalui kurikulum merdeka belajar misalnya, siswa diharapkan dapat berperan aktif dalam pembelajaran. Siswa mempunyai independensi memilih mata pelajaran, metode belajar, dan gaya belajar sesuai kesenangan dan kebutuhannya [13]. Selain itu, kurikulum ini menawarkan kesempatan untuk pengembangan karakter dan akademik yang relevan dengan tuntutan dunia kerja dan kehidupan sosial. Dengan memberikan rasa memiliki kepada para siswa, kurikulum ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja akademik mereka dan mendorong mereka untuk mewujudkan potensi penuh mereka. Hal ini sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantoro, yang menekankan pendidikan yang holistik, merdeka, dan berbasis kemanusiaan.

Pandangan serupa disampaikan Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) RI pengganti Nadiem saat ini. Mu’ti akan mengaku akan menerapkan pendekatan deep learning dengan model pembelajaran yang mindful, joyful, dan meaningful di sekolah [19]. Menurut penelitian, pendekatan joyfull learning dengan strategi everyone is a teacher terbukti membuat pembelajaran di sekolah lebih terarah dan terkonsep, ringan, menyenangkan, dan tidak menyebabkan stress. Penelitian pernah dilaksanakan secara pre-experimental design dengan menggunakan one group pretest and posttest design di SMAN 26 Bone pada kelas XI MIPA 3 yang berjumlah 28 siswa [20]. Temuan penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam pemahaman siswa dan materi. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan model pendidikan tersebut dianggap efektif dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif. Dengan mengedepankan kerja sama dan kreativitas dalam proses pembelajaran, strategi ini tidak hanya meningkatkan kualitas akademis, tetapi juga kesejahteraan emosional siswa. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan joyfull learning di sekolah-sekolah diyakini dapat membantu menciptakan generasi yang lebih percaya diri, kreatif, dan stabil secara emosional.

Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata taman sebagai penanda (signifier) berkembang maknanya secara semiotik ketika digunakan sebagai nama Taman Siswa. Keduanya tidak tidak terkait secara alamiah (arbitrer). Pilihan kata "taman" untuk nama "Taman Siswa" adalah hasil dari sebuah situasi sosial dan budaya. Adapun makna yang terhubung diantara keduanya bersifat filosofis semata, diantaranya: (1) Sekolah sebagai tempat persemaian beraneka karakter anak yang akan tumbuh menghadapai berbagai tantangan; (2) Sekolah sebagai tempat menyemai keindahan budi pekerti bukan semata ruang transfer pengetahuan; (3) Sekolah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi semua; dan (4) Sekolah adalah ruang yang yang dinamis, menyenangkan, kontemplatif, dan membantu memecahkan persoalan sosial kekinian.

Falsafah taman sebagaimana diatas tentu masih relevan dengan situasi dunia pendidikan kita saat ini, Karenanya pemerintah senantiasa membangun narasi keterkaitan dunia pendidikan saat ini dengan berbagai gagasan Ki Hajar Dewantoro yang bertumpu pada falsafah taman. Jika pemerintahan sebelumnya menekankan falsafah “taman” dengan kata kunci “merdeka”, maka pemerintah saat ini menyederhanakan dengan konsep “joyfull learning”.

Sebagai penutup, saya menyarankan: 1) Dialektika tafsir terhadap pemikiran Ki Hajar Dewantoro yang seringkali bernuansa politik hendaknya tetap mengacu kepada falsafah taman sebagai ruang merdeka anak yang menyenangkan; 2) Pembuatan kebijakan pemerintah antar periode hendaknya bisa saling menguatkan bukan saling menegasikan. Sebuah kebijakan yang menegasikan kebijakan lama biasanya akan dibayar mahal dengan kebingungan dan kegalauan yang memancing ruang manipulasi baru. Tentu saja hal ini membuat dunia pendidikan tidak lagi menyenangkan. Sebab dengan kecerobohan kebijakan pendidikan yang egois bisa berdampak kepada rusaknya taman indah warisan Ki Hajar Dewantoro.

References

  1. N. M. Lasterman and H. Sihotang, "Konsep Pendidikan Alamiah Dalam Kurikulum Merdeka Menurut Pandangan Jean–Jacques Rousseau," Jurnal Pendidikan Tambusai, vol. 8, no. 1, pp. 1533–1544, 2024.
  2. K. H. Dewantoro, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Press, 2013.
  3. B. Ruth, R. Novia, and H. Surhayati, "Perspektif Semboyan Pendidikan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani Dalam Kurikulum Merdeka," Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, vol. 6, no. 4, pp. 3673–3678, 2023.
  4. I. Djumat, D. Agustina, and F. H. Lumeling, "Menata Mindset Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (The New Innovation Berorientasi Merdeka Belajar Menuju Masyarakat Era Society 5.0)," Jurnal Innovation Research and Knowledge, vol. 4, no. 5, pp. 2659–2672, 2024.
  5. A. Supriyadi, "Joyful Learning: Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa," Jurnal Pendidikan, 2020.
  6. D. Setiawan, "Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Anak," Jurnal Pendidikan Karakter, 2019.
  7. F. de Saussure, Course in General Linguistics, W. Baskin, Trans. McGraw-Hill, 1966.
  8. H. Yulianto, "Disiplin Positif Pada Kurikulum Merdeka: Tinjauan Filosofi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara," JICN Jurnal Intelek dan Cendekiawan Nusantara, vol. 1, no. 1, pp. 626–637, 2024.
  9. I. Fitroh and M. I. Rosidi, "Taman Siswa: Pemikiran Ki Hajar Dewantara Dalam Tinjauan Historis," Jurnal Education, vol. 5, no. 2, pp. 2677–2688, 2023.
  10. D. Soeratman, Ki Hajar Dewantara. Vol. II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.
  11. R. Trianingsih, "Pendidikan Dalam Proses Kebudayaan yang Multikultural di Indonesia," Tarbiyatuna, vol. 1, no. 1, pp. 1–12, 2017.
  12. "Kamus Besar Bahasa Indonesia," Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Pusat Bahasa). [Online]. Available: https://kbbi.web.id/.
  13. R. D. H. Worang, T. Jesy, and Pangkey, "Merdeka Belajar Dalam Pandangan Pendidikan Humanisme: Analisis Konsep," Jurnal Education, vol. 8, no. 3, pp. 2324–2330, 2024.
  14. H. Suparlan, "Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia," Jurnal Filsafat, vol. 25, no. 1, pp. 1–19, 2014.
  15. J. Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. MIT Press, 1989.
  16. G. Simmel, The Sociology of Georg Simmel. Free Press, 1950.
  17. E. Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books, 1959.
  18. H. Lefebvre, The Production of Space. Blackwell, 1991.
  19. "Mendikdasmen: Deep Learning Bukan Teori Baru & Bisa Diterapkan di Semua Mapel," DetikEdu. [Online]. Available: https://www.detik.com/edu/sekolah/d-7652205/mendikdasmen-deep-learning-bukan-teori-baru-bisa-diterapkan-di-semua-mapel.
  20. A. Andriana, E. Erwing, and R. Adiansyah, "Pengaruh Model Pembelajaran Joyful Learning Dengan Strategi Everyone Is a Teacher Here Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Biologi SMAN 26 Bone," Biodik, vol. 9, no. 3, pp. 169–175, 2023, doi: 10.22437/biodik.v9i3.28524.